Pukul tiga dini hari Zayyan terjaga. Tak butuh alarm untuk membangunkannya, karena memang sudah biasa bangun di jam-jam seperti ini. Seperti biasa, ia akan melaksanakan sholat malam guna mendekatkan diri kepada sang pemilik alam. Selanjutnya ia akan berdzikir, dilanjut membaca Al Qur'an sampai subuh tiba. Melirik ke ranjang, Zayyan melihat Hilya di sana. Merasa penasaran seperti apa Hilya saat tidur jika dilihat dari dekat, Zayyan pun beranjak mendekati ranjang itu. Hilya tidur terlentang dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke bagian dada. Setelah dilihat dari dekat, Zayyan bisa melihat rambut Hilya yang hitam panjang, dan lurus. Tadi sebelum ia tidur, Hilya belum membuka jilbabnya, karena mungkin masih canggung. Dulu sewaktu Hilya kecil, dan belum berjilbab, Zayyan tahu rambut gadis itu memang sudah bagus. Setelah beranjak remaja, Hilya sudah mulai memakai jilbab, sehingga Zayyan tidak pernah lagi melihat rambut Hilya. Baru sekarang Zayyan bisa melihat lagi mahkota Hily
"Jangan! Kalau aku nggak kerja di sana lagi, terus gimana aku bisa lihat pa--"Ucapan Hilya yang menggantung itu membuat Zayyan penasaran. Zayyan mengerutkan alisnya, karena Hilya tak kunjung lanjut berbicara. Istrinya itu sekarang justru kembali melahap makanannya. "Lihat apa, Hil? Apa yang bisa kamu lihat, kalau kamu kerja di tempat fotokopi?" "Ooh itu, maksudnya aku nggak bisa lihat Fera lagi. Dia teman kerjaku." Hilya merutuk dirinya sendiri dalam hati, karena sudah berani berbohong. Terlebih pada Zayyan yang kini berstatus sebagai suaminya. "Ya nanti setelah tokonya jadi, kamu bisa ajak Fera kerja di toko fotokopi kamu." Zayyan masih belum menyerah. Membuatkan Hilya sebuah usaha bukanlah hal yang sulit bagi Zayyan, apalagi hanya usaha fotokopi. Bahkan jika Hilya minta dibangunkan perusahaan, Zayyan yakin, uang tabungannya sudah sangat-sangat cukup. Hilya sendiri memilih tak membalas ucapan Zayyan. Pikirannya terus tertuju tentang bagaimana agar ia bisa bebas menjalani kehidu
Dari dekat dapur, Zayyan melihat Hilya yang tengah memasak bersama Ratih, dan Anita. Mereka juga sembari berbincang-bincang, dan sesekali bercanda tawa. Ada rasa tenang di hati Zayyan, karena setidaknya Hilya masih baik-baik saja. Ia sempat khawatir bahwa Hilya akan murung, dan bersedih setelah pernikahan mereka. "Ngapain di sini, Kak? Hayo, lagi ngintipin Hilya masak ya?" Tasya tiba-tiba datang menghampiri, dan berdiri di dekat Zayyan. "Siapa yang ngintip? Kakak cuma kebetulan lagi di sini," elak Zayyan, meski sebenarnya tujuannya di sini memang untuk melihat Hilya. Tapi, jika Zayyan berkata yang sebenarnya, bisa-bisa nanti Tasya menggodanya, dan melapor pada Hilya. Tentu Zayyan harus menghindari hal itu. "Ya deh, terserah Kakak aja," kata Tasya. "Kamu kenapa tidak bantuin masak?" Zayyan memandang heran sang adik. "Sana ikut bantu!" "Yaelah, Kak, lagian udah banyak yang masak. Aku juga tadi habis pijitin nenek di kamar, makanya nggak ikut masak," ujar Tasya. Mereka saat ini mem
"Ekhem! Kalau mau mesra-mesraan, jangan di dapur. Aku bisa lihat lho." Hamam tiba-tiba datang, karena mau ke kamar mandi yang ada di dapur. Zayyan sontak menjauhkan tubuhnya dari Hilya, lalu menyugar rambutnya ke belakang. Hampir saja ia kelepasan, jika saja adik Hilya itu tidak memergoki. "Siapa yang mesra-mesraan!" elak Hilya. Ia keberatan jika dituduh seperti itu. Mana mau ia mesra-mesraan dengan laki-laki menyebalkan seperti Zayyan. "Dikira aku nggak bisa lihat apa, Mbak? Jelas-jelas tadi Mbak sama mas Zayyan lagi--" "Lagi apa? Jangan sok tau kamu, Mam! Mas Zayyan tadi cuma mau niupin mata mbak yang kelilipan," alibi Hilya, meski sebenarnya ia tidak tahu juga apa yang akan Zayyan lakukan padanya tadi. Yang mengelak dulu, daripada dituduh sedang mesra-mesraan. Hamam menggaruk kepalanya. Menurut penglihatannya tadi, tangan Zayyan memegangi lengan tangan Hilya, sementara satu tangannya yang lain melingkari pinggang Hilya. Adakah orang yang akan meniup mata orang yang kelilipan
"Nggak usah sok peduli deh!" ketus Hilya. Ia bertambah sebal sekarang, pada laki-laki yang sayangnya sudah menikahinya itu. "Aku kan suamimu, Hil, peduli sama istri itu wajib," balas Zayyan. "Coba sekarang bilang, kenapa kamu nangis? Apa karena diare? Sakit ya perutnya? Sudah minum oralit belum? Atau mau aku pesankan obat?" "Kepo banget jadi orang! Nggak perlu tau aku nangis kenapa. Aku juga nggak butuh obat. Aku butuhnya Mas Zayyan menjauh lagi dari aku, seperti sebelum kita menikah. Udah gitu aja," ujar Hilya. Zayyan terdiam mendengar perkataan istri sirinya itu. Apakah kehadirannya mengganggu kehidupan Hilya? Tak bisakah hubungannya dengan gadis itu kembali membaik lagi seperti dulu, seperti saat Hilya masih kecil? Dada Zayyan rasanya sesak. Perkataan Hilya tadi seakan mengusirnya dari kehidupan gadis itu. "Ya sudah, maafkan aku, Hil, banyak salah sama kamu. Sekarang kamu tidur ya, sudah malam. Jangan nangis terus, nanti malah pusing." Tak ada jawaban dari Hilya, membuat Zayy
"Aku yang nyebelin ya, Hil, karena sering gangguin kamu? Kalau gitu, aku minta maaf deh. Tapi, kalau kamu suruh aku buat menjauh, aku nggak akan mau," ucap orang yang baru datang itu. Hilya mendengkus. Terlalu percaya diri sekali orang ini. "Bukan kamu, Toben." "Namaku Tobi, Hil, bukan Toben. Siapa sih Toben-Toben itu, sampai kamu sering ganti namaku jadi Toben?" "Anjing tetangga," kata Hilya, yang langsung disambut tawa oleh Fera. Sedangkan orang yang mengaku bernama Tobi itu mencebikkan bibirnya. Tobi adalah salah satu mahasiswa di kampus yang dekat dengan tempat kerja Hilya. Laki-laki itu sering berkunjung ke toko walau tidak membeli atau memfotokopi. Hobinya datang hanya untuk melihat Hilya. Dulunya Tobi adalah teman satu sekolah Hilya, dan Fera. Dan sejak dulu pula Tobi sudah jatuh hati pada Hilya. Tobi pernah menyatakan perasaannya pada Hilya, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Hilya, karena Hilya hanya menganggapnya sebagai teman. Namun, meski sudah ditolak, Tobi tak pantan
Setelah membaca pesan yang dikirim oleh Tata, Zayyan hanya mengabaikannya, karena ia yakin, sang ayah tidak akan mungkin menerima negoisasi dari ayahnya Tata agar ia jadi menikah dengan Tata. Toh sekarang Zayyan sendiri sudah menikah dengan Hilya meskipun baru menikah siri. Berkas-berkas untuk pendaftaran ke KUA yang tadinya pengantin wanitanya adalah Tata, kini diganti dengan berkas milik Hilya. Pun dengan undangan pernikahan yang nama pengantin wanitanya sudah diubah. Undangan pernikahan itu akan segera disebarkan ke keluarga besar, teman-teman Zayyan, serta relasi bisnis Rafi. "Sayang, bagaimana, apa Zayyan sudah membalas?" tanya seorang laki-laki yang sedang bersama dengan Tata. Ia adalah Arman--pacar Tata. "Belum, Sayang, mungkin dia sibuk, dia kan dokter," jawab Tata. Ia, dan pacarnya sekarang tengah berada di sebuah hotel. Tata tidak cukup berani untuk pulang ke rumah, karena takut diamuk oleh sang ayah. Arman mendengkus kasar. "Cepat kamu desak Zayyan, Sayang. Bilang saja
"Itulah yang namanya jodoh, Dokter Inka. Kalau memang jodoh saya adalah sepupu saya sendiri, memangnya kenapa?" ucap Zayyan, membalas perkataan Inka. Hilya tampak tak puas dengan perkataan Zayyan. Seharusnya suaminya ini membalas kata-kata yang menyakitkan, agar perempuan bernama Inka ini merasa sakit hati. "Tapi, kita kan bisa memilih jodoh kita sendiri, Zayyan. Kalau kamu mau menerimaku, sudah pasti yang menjadi jodohmu adalah aku. Aku jelas setara dengan kamu dari segi pendidikan, dan profesi." Sekali lagi Inka membicarakan tentang strata sosial, membuat Hilya merasa muak. Hilya tahu, wanita ini tengah menyindirnya. Menyebalkan memang, dan ingin rasanya Hilya merobek mulut wanita ini, jika tidak ingat sekarang ini adalah acara resepsi pernikahannya."Pendidikan, dan profesi yang setara, tidak menjamin seseorang bisa berjodoh, dan berhubungan dengan baik, dan nyaman," balas Zayyan. "Jika kamu sudah selesai, silakan turun dari panggung, sudah banyak yang mengantre." Inka tidak su