"Kak Tata, Nek, calon istrinya kak Zayyan." Sayangnya, Tasya justru tidak mengerti akan kode kedipan mata dari sang ibu yang menyuruhnya untuk diam. Anita, sang ibu pun melototinya.
"Apa?! Calon istri Zayyan berkhianat? Berkhianat bagaimana maksudnya?" Asih--sang nenek pun cukup syok mendengar kabar ini. Wanita berumur tujuh puluhan itu adalah ibu dari Rafi.Anita gelagapan. Ibu mertuanya sudah terlanjur mendengar kabar tidak menyenangkan ini, dan sekarang ia bingung bagaimana menjelaskannya. "Anu, Bu, bukan begitu maksudnya Tasya.""Jelaskan bagaimana kejadian sebenarnya, Anita. Jangan sembunyikan apapun dari ibu!" tuntut Asih. Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.Melihat sang ibu mertua yang seperti menahan sakit, Anita pun sontak memegangi lengan tangan mertuanya itu. "Kita bicara di dalam ya, Bu. Ayo masuk, dan tenangkan diri dulu."Wanita lanjut usia itu pun menurut. Ia masuk ke rumah dengan dituntut oleh Anita di sebelah kanan, dan Tasya di sebelah kiri.Anita, dan Tasya mendudukkan Asih di sofa panjang. Asih menghela napas, lalu menatap satu persatu ke arah menantu, dan cucu perempuannya itu."Aku masih sehat, jangan perlakukan aku seperti orang pesakitan saja!" ujar Asih."Maaf, Bu," ucap Anita yang kini memilih duduk di sofa yang berseberangan dengan sang mertua."Sudahlah, sekarang ceritakan yang sebenar-benarnya. Jangan sembunyikan apa pun, apalagi ini menyangkut cucuku Zayyan," tuntut Asih, kemudian menoleh ke sebelah kirinya di mana Tasya duduk. "Kalau mamamu tidak mau cerita, kamu saja yang menjelaskan, Tasya.""Eh?" Tasya gelagapan. "Aku, Nek?" Ia menunjuk dirinya sendiri."Iya," balas Asih."Mamah ajalah." Tasya berkedip pada sang ibu.Anita pun menghela napas. Sebenarnya ia ingin menyembunyikan dulu kabar tidak mengenakkan ini dari ibu mertuanya, tapi karena sudah terlanjur ketahuan seperti ini, mau tidak mau ia harus memberi tahu.====="Kamu ini sungguh tidak kompeten memilih calon menantu yang baik untuk Zayyan, Rafi!" omel Asih.Malam hari seusai makan malam, keluarga Rafi berkumpul bersama, minus Zayyan yang kini sedang berada di luar kota karena mengikuti program penyuluhan kesehatan.Asih sudah mendengar dengan detail apa yang sedang terjadi. Tadi pagi Anita sudah menceritakan semuanya. Maka dari itu, kini ia melampiaskan rasa marahnya pada Rafi, karena berawal dari Rafi lah rencana pernikahan Zayyan berasal."Kalau sudah begini, kasihan Zayyan," lanjut Asih."Maaf, Bu. Tadinya saya pikir, Tata adalah wanita yang baik untuk menjadi pendamping Zayyan. Tapi, ternyata saya salah," ucap Rafi. Ia sungguh merasa menyesal."Ya kamu itu terlalu gegabah sih. Zayyan itu masih muda, masih asik-asiknya menikmati karirnya jadi dokter. Kamu malah nyuruh dia menikah." Asih mencibir."Zayyan sudah berumur 32 tahun, Bu, sudah saatnya untuk menikah. Dulu waktu saya umur 30 tahun saja Ibu sudah berisik menyuruh saya untuk cepat-cepat menikah," kata Rafi."Tapi kan dulu ibu tidak menjodoh-jodohkan kamu. Ibu menyerahkan sepenuhnya sama siapa kamu akan menikah, hingga akhirnya kamu menikah sama Anita. Harusnya kamu juga seperti itu. Serahkan sepenuhnya kepada Zayyan untuk memilih siapa calon istrinya," tutur Asih.Rafi menghela napas. "Sudah dari dua tahun yang lalu saya menyuruh Zayyan untuk menikah, Bu. Saya pada awalnya juga membebaskan Zayyan untuk mencari sendiri calon istrinya. Tapi nyatanya Zayyan justru santai-santai saja. Ya sudah, terpaksa saya memilihkan Zayyan calon istri yang berasal dari keluarga rekan bisnis saya.""Harusnya kamu sabar dulu, mungkin Zayyan sedang menunggu seorang gadis. Kita mana tahu kan?" ucap Asih. "Anita, apakah selama ini Zayyan pernah cerita padamu tentang gadis yang disukainya?"Anita yang tiba-tiba ditanyai oleh ibu mertuanya pun sontak menggeleng. "Tidak pernah, Bu.""Kak Zayyan tuh tipe orang yang menjaga rahasianya, Nek. Entah karena malu mau cerita siapa cewek yang ditaksirnya, atau mungkin karena emang belum ada yang bisa nyuri hatinya," celetuk Tasya. "Tapi, mengingat umur kak Zayyan sekarang sih, sudah sewajarnya punya cewek yang dicintai. Kecuali ...."Ucapan Tasya yang menggantung itu pun sontak membuat semua orang penasaran, hingga memusatkan perhatian padanya. Tak terkecuali sang nenek yang duduk di sampingnya."Kecuali apa, Sya?" tanya Asih."Kecuali kak Zayyan nggak normal, Nek, alias ... ah, kalian pasti paham maksud aku, hehe," jawab Tasya."Kakakmu itu pasti normal, Sya, jangan menduga-duga sembarangan gitu," tegur Anita.Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba seorang asisten rumah tangga menghampiri. "Maaf mengganggu. Pak, Bu, di depan ada pak Waluyo, beserta istrinya."Rafi, dan Anita sontak berpandangan sejenak, kemudian keduanya bangkit dari duduk."Bi, tolong siapkan minuman ya," perintah Anita pada seorang wanita paruh baya yang menjadi asisten rumah tangganya itu.Sementara itu, Rafi sudah beranjak ke ruang tamu untuk menemui pasangan suami istri yang entah masih akan menjadi calon besannya atau tidak."Ibu sama Tasya di sini dulu ya," ucap Anita pada ibu mertua, dan anak perempuannya.Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, Anita kemudian menyusul sang suami ke ruang tamu.Di ruang tamu, terdapat sepasang suami istri yang duduk di hadapan Rafi. Mereka berdua adalah Waluyo, dan istrinya, dan mereka berdua adalah orang tua dari Tata. Keduanya duduk tanpa berani mengangkat wajah. Apa yang dilakukan Tata sungguh sudah mencoreng nama baik keluarga."Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang terjadi pada Tata, Pak Rafi. Sebagai seorang ayah, saya merasa gagal karena telah lalai dalam mengawasi, dan menjaga anak," ucap Waluyo yang kemudian diangguki oleh istrinya."Apakah keamanan di keluarga kalian begitu lemahnya?" tanya Rafi dengan menahan rasa geram."A-anu, Pak, ini semua di luar kendali kami. Kami sudah sebisa mungkin untuk menjaga Tata, tapi tidak pernah terpikirkan bahwa Tata akan kabur dari rumah," jawab Waluyo. "Tapi Anda tenang saja, Pak, saya sudah mengerahkan orang-orang saya untuk segera menemukan Tata, dan membawanya pulang sebelum hari pernikahan.""Tidak perlu!" sahut Rafi. "Tidak akan ada pernikahan antara anak saya, dan Tata," putus Rafi, membuat semua yang ada di ruangan itu terkejut. Mereka tidak menyangka jika Rafi akan memutuskan sesuatu secepat ini.Bagi Rafi, kelakuan Tata sudah tidak bisa dimaklumi. Ia tidak mau jika nanti Zayyan, sang anak mempunyai istri seperti Tata. Sebelum pernikahan saja sudah berani kabur dengan pacarnya, bisa jadi nanti setelah menikah, tidak menutup kemungkinan hal itu akan terulang lagi."Apa tidak bisa dipertimbangkan lagi, Pak Rafi?" Istri Waluyo angkat bicara."Tidak bisa! Keputusan saya sudah bulat," tutur Rafi. "Tapi tenang saja, untuk urusan kerjasama bisnis, saya tetap akan bekerjasama dengan Anda, Pak Waluyo."Pada awalnya perjodohan antara Tata, dan Zayyan terjadi karena adanya kerjasama bisnis antara Rafi, dan Waluyo.Perusahaan Rafi yang jauh lebih besar daripada perusahaannya, membuat Waluyo tidak perlu berpikir panjang untuk menerima tawaran perjodohan itu, meski sudah tahu bahwa Tata sudah memiliki kekasih. Terlebih lagi, Zayyan adalah seorang dokter muda dengan karir yang cemerlang. Siapa yang tidak mau mempunyai menantu seperti Zayyan, serta besan yang kaya raya seperti Rafi? Maka dari itu, Waluyo memaksa Tata untuk mau dijodohkan dengan Zayyan.Meski pada awalnya Tata menolak, tetapi karena terus dipaksa oleh kedua orang tuanya, ia pun akhirnya menerima perjodohan itu dengan beberapa kali melakukan pertemuan dengan Zayyan, maupun dengan orang tua Zayyan. Namun, siapa sangka itu hanyalah taktik belaka yang dilakukan Tata sebelum akhirnya kabur dengan sang kekasih.====Selepas kepulangan Waluyo, dan istrinya, keluarga Rafi kembali berkumpul di ruang keluarga."Papah yakin, pernikahan itu tidak akan dilanjut?" tanya Anita. "Undangan sudah terlanjur dicetak, dan sudah siap untuk dibagikan. Para rekan bisnis kita juga semuanya sudah tahu tentang rencana pernikahan Zayyan. Belum lagi, sewa gedung, dan catering, serta hal lainnya yang sudah dibayarkan."Rafi terdiam, begitu pun dengan Asih, dan Tasya yang juga berada di ruangan itu. Untuk masalah ini, Asih menyerahkan pada anak, dan menantunya untuk mengatasi."Jika pernikahan dibatalkan begitu saja, dan hal ini terdengar sampai ke telinga para rekan bisnis, dan pemegang saham, bisa jadi harga saham di perusahaan kita akan turun, Pah. Itu bisa saja mempengaruhi kepercayaan mereka kepada kita. Belum lagi bagaimana respon Zayyan nantinya," lanjut Anita."Solusinya, secepatnya cari gadis lain yang siap untuk menggantikan posisi Tata," ucap Rafi. "Lagi pula, sepertinya para rekan bisnis kita belum tahu siapa nama calon istri Zayyan. Masalah undangan, bisa dicetak ulang dengan nama pengantin wanita yang berbeda.""Menggantikan posisi Tata? Maksudnya menjadi pengantin pengganti begitu?" Anita memastikan.Rafi pun mengangguk. Hanya itu solusi yang kini terlintas di pikirannya."Kenapa terlalu gegabah gitu sih, Pah? Aku setuju kalau kak Zayyan nggak jadi menikah sama kak Tata, tapi ... haruskah mencari siapa yang mau jadi pengantin kak Zayyan?" celetuk Tasya. "Kalau pernikahan itu dilakukan karena agar saham perusahaan tidak turun, bukankah itu namanya pernikahan bisnis? Apa Papah nggak mikirin gimana perasaan kak Zayyan? Biarkan kak Zayyan memilih siapa calon istrinya, dan kapan dia mau menikah."Sebenarnya Tasya agak takut mengeluarkan pendapatnya pada sang ayah, tetapi karena sudah sangat geregetan, ia pun akhirnya memberanikan diri. Entah bagaimana nasibnya nanti, mungkin saja akan dimarahi habis-habisan."Tuh, Tasya saja yang masih bocah bisa berpikir jernih, masa kalian yang sudah dewasa tidak bisa," cibir Asih. "Benar apa kata Tasya, tunggu sampai Zayyan pulang, lalu kita tanya apa maunya."Wanita lanjut usia itu pun lekas bangkit dari duduknya, sembari memberi kode pada Tasya untuk menemaninya ke kamar. Itu juga bermaksud agar perkataannya tidak dibantah oleh anak, dan menantunya.Pagi harinya, sudah terlihat Zayyan yang sedang berkutat di dapur membantu sang asisten rumah tangga."Sudah, lebih baik Mas Zayyan istirahat saja. Mas Zayyan kan baru pulang dini hari tadi, pasti lelah, sama ngantuk toh? Urusan memasak, biar bibi saja," ucap sang asisten rumah tangga pada Zayyan, karena merasa sungkan, pekerjaannya dibantu oleh anak majikannya itu yang memang hobi memasak."Tidak apa-apa, Bi. Selama di luar kota saya tidak pernah masak, jadi sekarang gatal tangan saya kalau tidak membantu Bibi," balas Zayyan yang kemudian dibalas tawa ringan dengan gelengan kepala oleh asisten rumah tangganya itu."Zayyan, papah ingin bicara sama kamu sebentar." Anita tiba-tiba datang ke dapur."Sekarang, Mah?" tanya Zayyan. Dari raut wajah ibunya yang tampak serius, sepertinya apa yang akan dibicarakan ayahnya pun juga sesuatu yang serius.Anita mengangguk, lalu memberi kode pada Zayyan untuk segera menemui ayahnya. "Papah ada di ruang kerja."Tanpa membantah, Zayyan segera berlalu dapur. Sang ibu pun mengikutinya dari belakang.Melihat anaknya yang sudah sedewasa ini dengan karirnya sebagai dokter anak seperti cita-cita Zayyan, membuat Anita tiba-tiba merasa terharu. Namun, ada sedikit rasa khawatir apabila Zayyan mengetahui apa yang sudah terjadi.Sesampainya Zayyan di ruang kerja Rafi, Rafi pun lekas memberitahu tentang apa yang terjadi pada Tata, tentang perginya Tata dengan sang kekasih ke luar negeri. Menurut info yang Rafi dapatkan dari Andi, sekarang Tata tengah berada di Korea Selatan. Mungkin sedang bersenang-senang dengan kekasihnya itu."Dengan ini, papa sudah memutuskan kalau pernikahan kamu, dan Tata dibatalkan," ucap Rafi.Sementara itu, Zayyan yang kini duduk di samping ibunya, menampilkan wajah tanpa ekspresi, membuat Anita merasa khawatir.Apakah Zayyan bisa menerima keputusan pembatalan pernikahannya dengan Tata? Atau justru sebaliknya?Melihat Zayyan yang tanpa ekspresi itu, membuat Rafi tidak dapat menebak isi hati anak laki-lakinya itu. "Zayyan, bagaimana pendapatmu? Kamu tidak apa-apa kan, jika pernikahan dibatalkan?" Rafi bertanya dengan hati-hati, terlebih setelah melihat kode dari Anita yang duduk di samping Zayyan. Setelah beberapa saat menampilkan raut wajah tanpa ekspresi, kini Zayyan mengangkat salah satu sudut bibirnya. Bergantian melihat ke arah kedua orang tuanya yang sepertinya tengah mengkhawatirkannya. "Tidak apa-apa, Pah. Saya tidak masalah jika pernikahan dibatalkan," ucap Zayyan santai, lalu tersenyum, seakan-akan apa yang ia dengar tadi bukan hal yang menyakitkan. Mendengar jawaban Zayyan yang tidak terduga itu, membuat Anita merasa bingung. Bagaimana bisa Zayyan terlihat santai menanggapi hal ini? Bukankah beberapa hari yang lalu sebelum Zayyan ke luar kota, ia sempat bertemu dengan Tata? Anita pikir, saat itu Zayyan sudah mulai membuka hati untuk Tata, hingga mau menghabiskan waktu seharian
Mendengar teriakkan itu, Zayyan pun sontak bangun dari duduknya, untuk melihat suasana di luar rumah. Ketika berdiri di tengah pintu, Zayyan melihat seorang gadis berjilbab yang kini tengah memarahi anak-anak kecil yang bermain di teras rumah, sembari bertolak pinggang. "Udah dibilangin jangan bikin kotor teras rumah!" Gadis itu masih mengomel, karena melihat anak-anak kecil itu tidak hanya bermain dengan kerikil di teras, tetapi juga dengan tanah, dan daun-daunan yang sengaja dipetik untuk bermain masak-masakan. Bukannya takut dengan kegarangan gadis itu, anak-anak justru meledeknya. "Kak Hilya pelit amat sih, kita cuma mau main di sini. Lagian, nenek Asih juga bolehin kita main di sini kok," protes salah satu anak kecil perempuan yang rambutnya dikepang. "Bukannya pelit, tapi kalian tuh bisanya cuma bikin kotor aja, udah gitu habis main nggak pernah diberesin, lagi! Aku tau, yang selalu buang-buangin sisa mainan kalian itu. Dikira nggak capek apa? Pergi sana kalian!" "Huuu!" A
"Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi. "Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi "Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi." "Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusa
Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya. "Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal. "Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu. Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?" Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan. "Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya. "Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas
"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita. Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda. "Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--." "Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak." Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun,
Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu. "Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan. "Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih. Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek. Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih. "Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu. "Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?" "Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan,
Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap." Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka. Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?" "Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?" Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya. Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu. Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya. "Nek, Nenek sudah minum o
Mendengar Zayyan menyebut nama Tata pada seorang wanita di depannya, membuat Hilya, dan Tasya melebarkan mata mereka. Wanita itu adalah tunangan Zayyan yang dikabarkan kabur ke luar negeri bersama kekasihnya. Lantas, mengapa tiba-tiba ia ada di sini? Sudah pulang kah?Sebenarnya ini adalah kali pertama bagi Hilya bertemu Tata. Sebelumnya ia hanya pernah melihat Tata dari foto yang ada di ponsel Tasya. Hilya berpikir bahwa Tata lebih cantik dilihat secara langsung. Lumayan serasi jika Tata menjadi istri Zayyan, apalagi dengan status sosial keduanya. "Aku dengar, nenek kamu jatuh sakit, Zayyan," ucap Tata. "Makanya aku ke sini mau nemuin nenek kamu." Zayyan tampak gusar. Kenapa di saat ia sudah akan menikah dengan Hilya, Tata justru kembali secara tiba-tiba? Ia takut jika nanti sang ayah kembali menyuruhnya menikah dengan wanita itu. "Nenek sakit tuh gara-gara Kak Tata. Ngapain tiba-tiba ada di sini? Bukannya lagi ke luar negeri sama pacar Kak Tata?" sahut Tasya ketus. Ia yang dari
"Ooh, lagi liburan." Tata manggut-manggut. "Baru sampai di sini atau gimana?" "Nggak, Kak, kami udah mau pulang. Ini lagi nunggu pesawat." "Oh, kirain baru sampai." "Kak Tata juga lagi liburan ya?" Sebenarnya Hilya sedikit malas berbasa-basi dengan mantan calon istri Zayyan ini, tapi sudah terlanjur ketemu juga."Iya, aku baru sampai sih. Di sini sebenarnya aku mau tunangan sama pacarku. Tau kalau Zayyan di sini sama kamu, mau aku undang sekalian, eh ternyata kalian mau pulang." Tata menjelaskan dengan raut wajah cerianya. Tata sudah putus dari pacar toxic-nya itu, yang membuatnya tidak jadi menikah dengan Zayyan. Kini Tata akan bertunangan dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengannya, dan berharap tidak melalukan hal bodoh seperti dulu lagi. "Waah, mau tunangan ternyata. Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia. Maaf nggak bisa hadir." "Iya, makasih ya. Oh ya, kamu namanya siapa? Aku cuma paham kamu istrinya Zayyan, tapi nggak tau namanya, hehe." "Aku Hilya, Kak." "Ooh Hilya. Y
Meski keadaan sudah kembali seperti semula, tapi Zayyan yakin, Hilya masih belum sepenuhnya melupakan kejadian yang hampir menimpanya di apartemen Dimas. Oleh karena itu, kini Zayyan tengah mengajak Hilya liburan di Pulau Dewata. Hitung-hitung sebagai healing, agar bayangan-bayangan menakutkan itu tak lagi berputar di kepala Hilya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai momen untuk bulan madu mereka. Sudah lima hari ini mereka berada di Bali. Setiap harinya akan mereka lewati dengan mengunjungi berbagai tempat wisata yang ada di pulau ini. Hilya selalu antusias ketika sampai di setiap tempat wisata, apalagi jika itu pantai. Melihat Hilya yang sudah kembali ceria, dan cerewet, Zayyan pun bahagia. Kebahagiaan laki-laki itu adalah melihat Hilya tersenyum bahagia, seperti saat ini. "Mas, fotoin lagi dong," pinta Hilya yang entah sudah ke berapa kalinya. Meskipun begitu, Zayyan tak pernah sekali pun menolak. "Oke." Mereka menghabiskan waktu seharian ini di pantai yang dekat dengan
Membuka matanya yang terasa berat, Hilya menyingkirkan tangan Zayyan yang melingkari perutnya. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dan Hilya berniat untuk mandi. Ia turun dari ranjang dengan perlahan, agar Zayyan tidak terganggu. Sore kemarin setelah meminta maaf pada Zayyan, hubungan mereka sudah kembali membaik, pun dengan yang lainnya di rumah ini. Hilya sudah kembali seperti semula yang ceria, dan cerewet. Lalu, malam hari setelah makan malam, dan membantu beres-beres di dapur, Hilya diajak Zayyan ke kamar. Zayyan menginginkan Hilya, dan mau menyalurkan rasa rindunya. Tentu saja Hilya paham, dan tidak menolak. Ia sudah berjanji untuk menjadi istri yang baik bagi Zayyan. Hilya lantas ke kamar mandi untuk melakukan mandi wajib, sesuatu yang harus dilakukan setelah selesai melakukan hubungan suami istri. Biasanya Zayyan akan langsung mengajak mandi, tapi malam tadi justru langsung ketiduran. Hilya tebak, Zayyan terlalu lelah. Usai mandi, dan berwudhu, Hilya memakai mukena
"Kalau begitu, kamu juga harus siap kehilangan pekerjaan kamu. Kamu tidak bisa lagi praktik di rumah sakit saya." Bambang mengancam. Biar bagaimanapun, Dimas adalah anaknya. Sememalukan apa perbuatan anak itu, Bambang akan berusaha menyelamatkannya, meski harus menanggung malu di depan Rafi, dan Zayyan, yang selama ini bermitra bersamanya. Zayyan mengepalkan tangan sembari menatap tajam laki-laki paruh baya seumuran ayahnya tersebut. "Tidak masalah. Lebih baik saya tidak bekerja lagi di rumah sakit Om, daripada harus membebaskan Dimas. Semua ini demi kehormatan keluarga saya, terutama istri saya." Dipecat jadi dokter di rumah sakit yang selama ini menjadi tempat praktiknya? Itu tidak masalah bagi Zayyan. Masih banyak rumah sakit lain yang bisa ia datangi, lalu menjadi dokter di sana. Berbekal pengalaman, dan kemampuannya, Zayyan yakin, tidak sulit baginya untuk mendapatkan tempat praktik baru. Atau, jika seandainya Bambang melakukan blacklist agar Zayyan tidak bisa lagi praktik di
Zayyan memberitahu pada keluarganya bahwa Dimas sudah ditangkap polisi. Anita, dan Rafi cukup senang dengan kabar tersebut, akan tetapi, masih ada rasa sedih yang menyelimuti mereka, karena Hilya masih murung, dan belum mau keluar dari kamar. Mereka juga belum memberitahu Ratih, dan Asih tentang apa yang sudah menimpa Hilya. Jika memberitahu Ratih, mereka takut jika nantinya Ratih akan memarahi Hilya, dan justru akan semakin memperburuk keadaan Hilya. Sedangkan jika memberitahu Asih, mereka takut jika akan menjadi beban pikiran Asih, dan membuat keadaan Asih menjadi drop. Jadilah mereka masih menyembunyikan ini dari keluarga Hilya. Selain itu, juga agar berita itu tidak menyebar luas, dan malah membuat Hilya jadi malu. "Sekarang kamu tenang ya, Hil. Dosen kurang ajar itu sekarang sudah ditangkap polisi. Kamu tidak perlu takut lagi," kata Anita, saat mengunjungi Hilya di kamar. "Iya, Ma." Selama mengurung diri, dan saat dikunjungi oleh keluarganya, Hilya hanya akan menjawab singkat
"Kenapa kalian baru datang sekarang?! Dari tadi kalian ke mana saat istri saya hendak dilecehkan oleh manusia ib*is ini?!" hardik Zayyan pada beberapa security yang memisahkannya saat hendak kembali menghabisi Dimas. "Maaf atas kelalaian kami, Tuan," ucap seorang security bertubuh gempal. Zayyan berdecih. "Percuma gedung apartemen mewah ini, jika punya keamanan payah. Saya bisa laporkan kalian ke polisi atas kelalaian ini." "Sekali lagi kami minta maaf, Tuan. Kami akan mengurus tuan Dimas, dan membereskan kekacauan ini." Menatap tajam pada security itu, Zayyan hendak mengomel lagi, tapi tidak jadi karena Tobi segera menyela. "Pak, lebih baik urus Hilya dulu." Seketika Zayyan teringat tentang sang istri. Ia pun menghampiri Hilya yang saat ini tengah berjongkok, dan menenggelamkan wajahnya. Hilya tengah menangis. "Bangun, Hil. Kamu sudah aman sekarang. Ayo kita pulang," ucap Zayyan, sembari ikut jongkok, dan menyentuh lengan Hilya. Tangisan Hilya yang terdengar memilukan itu men
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen