"Syaratnya, kamu pijitin aku, Hil. Badanku sakit semua," bisik Zayyan di dekat telinga Hilya. Posisi yang terlalu dekat itu membuat Hilya tak nyaman, hingga ia menepis tangan Zayyan yang melingkar di pinggangnya. Hilya juga seketika bernapas lega karena Zayyan tidak menuntut syarat yang aneh-aneh. Meminta haknya sebagai suami misalnya. Hilya tidak akan mampu menuruti yang satu itu, karena prinsipnya adalah memberikan mahkota kehormatan hanya pada suami yang dicintainya. "Oke, mana yang mau dipijitin?" tanya Hilya, setelah berhasil meredakan rasa panas yang tadi menjalari pipinya, dan mungkin saja tadi pipinya sudah terlihat seperti tomat, andai Hilya bisa melihatnya sendiri. "Punggungku, Hil." Zayyan kemudian mengubah posisi tubuhnya menjadi tengkurap. "Sebenarnya pengen diinjak-injak kamu, Hil, punggungnya, seperti waktu kamu kecil dulu yang sering nginjak-nginjak punggung papa kalau disuruh. Tapi, aku takut tidak kuat, karena kamu kan sekarang sudah besar." Hilya tak membalas,
Menuruti permintaan sang nenek, malam ini Hilya, dan Zayyan menginap. Alhasil Hilya terpaksa harus tidur seranjang dengan Zayyan, karena di kamarnya tidak ada sofa. Mau menyuruh tidur di lantai, Hilya tidak tega, dan takut kalau Zayyan masuk angin. Nanti ia sendiri yang repot, belum lagi pasti ada pertanyaan dari orang tua. Sekarang Hilya tengah meletakkan sebuah bantal guling di tengah-tengah ranjang, sebagai batas wilayah tidurnya dan Zayyan. Ia tidak mau dekat-dekat, meski Zayyan adalah suaminya. Zayyan masuk ke kamar, dan melihat apa yang sedang Hilya lakukan itu. Ia tidak perlu bertanya, karena sudah paham maksudnya. Zayyan kemudian naik ke ranjang, dan duduk di sana sambil menatap Hilya yang mulai berbaring. Sekarang Hilya tidak malu lagi untuk memperlihatkan rambut panjangnya di depan Zayyan. Lagi pula menurutnya percuma, karena Zayyan sudah pernah melihat. "Mengenai bulan madu, kamu beneran tidak mau pergi, Hil? Setidaknya sebelum kamu nanti sibuk kuliah." "Pengen sih, ta
Zayyan tersenyum kecut mendengar perkataan istri dari pamannya. "Hilya sudah lebih dari cukup untuk saya, Bude. Lagi pula, bukannya mbak Rita sudah punya pacar ya?" Istri Rusdi mencebikkan bibir, mendengar Zayyan yang sepertinya membela Hilya. Terlebih saat melihat tangan Zayyan yang menggenggam tangan Hilya, seolah-olah memberikan kekuatan. "Aku belum punya pacar kok, Mas Zayyan," celetuk Rita yang baru keluar dari kamarnya. Ia langsung mendudukkan diri di samping sang ibu, menatap sengit ke arah Hilya. Berhadapan dengan istri dari Rusdi saja sudah membuat Hilya merasa muak, kini ditambah lagi adanya Rita. Pasangan ibu, dan anak tersebut kerapkali merendahkan Hilya. Makanya, jika sedang ada acara keluarga besar, Hilya sangat menghindari dua orang ini. Keluarga Rusdi cukup berkecukupan, tidak jauh berbeda seperti keluarga Rusli, meskipun jika dibandingkan dengan Rafi, jelas cukup jauh perbandingannya. Namun, entah kenapa, dari dulu istri, dan anak-anak Rusdi seringkali mengejek Hi
"Apa sih, tidak penting sekali!" elak Zayyan. "Ngaku aja sih, nggak usah malu begitu, Zayyan." Hilya membalik badan, dan melihat adanya Inka yang kini berdiri di dekat Zayyan. Tidak menyangka juga jika ada wanita itu di sini.Melihat Zayyan yang tampak risih dengan adanya Inka, membuat Hilya merasa kasihan. Ia pun mengurungkan niatnya untuk naik kereta gantung, dan kembali menghampiri Zayyan. Hilya akan membantu Zayyan untuk bisa melepaskan diri dari wanita yang berpakaian kurang bahan itu. Bahkan ke tempat wisata seperti ini pun, wanita itu juga menggunakan pakaian terbuka. Hilya heran, apakah Inka tidak punya rasa malu? Padahal Inka adalah dokter. Setahu Hilya, biasanya dokter akan lebih menjaga cara berpakaiannya. "Eh, ada dokter Inka juga di sini. Kok bisa kebetulan ya? Dokter Inka nggak lagi ada praktik hari ini di rumah sakit?" ujar Hilya yang kini sudah menghampiri Zayyan, dan Inka. Melihat kedatangan Hilya, Inka pun mendengkus tidak suka. Padahal tadi ia sudah mencoba men
Perjalanan silaturahim ke kerabat tidak hanya sampai ke kerabat dari ibunya Zayyan, tetapi langsung dilanjutkan ke kerabat dari sebelah ayah Hilya, alias paman, dan bibi Hilya. Ini sekalian dilakukan mumpung Zayyan masih cuti kerja. Kebanyakan pengantin baru akan menggunakan waktu cutinya untuk pergi bulan madu, tapi Zayyan, dan Hilya justru menghabiskan waktu untuk ke sana ke mari ke rumah saudara. Meskipun begitu, Zayyan legowo saja, selama Hilya tidak marah, dan tidak mendiamkannya. Kerabat dari ayah Hilya hanya Aryo saja, yaitu paman Hilya yang waktu itu menjadi wali nikah Hilya. Aryo adalah satu-satunya saudara kandung ayah Hilya yang masih tersisa. "Duduklah, paman senang kalian berkunjung ke mari. Terutama kamu, Zayyan. Paman tidak menyangka, kamu mau mampir ke gubug reot paman ini." Rumah Aryo memang terbilang sederhana karena dindingnya terbuat dari kayu, dan lantainya yang masih tanah. Namun, di dalam rumah terasa cukup sejuk tanpa adanya kipas angin atau AC. "Tentu kam
Nanti sore di rumah sang mertua akan kebagian giliran penempatan acara rutinan ibu-ibu komplek. Rutinan itu adalah pembacaan surat Yasin, lalu dilanjutkan dengan pembacaan maulid Al barzanji. Oleh karena itu, sekarang Hilya sedang ikut membantu Anita, dan Ijah memasak. Hilya sih senang-senang saja disuruh membantu memasak, karena memasak adalah salah satu hobinya. Dulu waktu kecil ia sempat punya cita-cita ingin menjadi chef. Tapi, setelah besar, dan sering menonton acara perlombaan memasak di televisi, Hilya jadi tidak mau jadi chef lagi. "Hil, nanti kamu juga ikut di acara ya. Ikut baca Yasin, sama maulid. Biar bisa berbaur sama ibu-ibu komplek sini," ujar Anita. "Iya, Ma." "Nanti nih, semisal kamu, sama Zayyan mau hidup mandiri, tinggal di rumah sendiri, kamu harus pinter-pinter berbaur sama ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal kalian nanti. Ya, bukan berbaur yang ikut gosip-gosip, bukan. Maksudnya ya, kalau ada kegiatan yang positif, kamu ikut serta. Contohnya ya seperti ikut
Zayyan senyum-senyum sendiri mengingat kegiatan tadi malam yang sangat indah. Ia seperti dibuat jatuh cinta berkali-kali oleh Hilya. "Mas, kamu masih waras kan?" tanya Hilya yang sedari tadi heran melihat Zayyan yang terus tersenyum. Seperti orang gila saja menurut Hilya. "Hil, apa aku ambil cuti lagi ya?" Nah, kan, ditanya apa jawabnya apa. Hilya jadi semakin yakin bahwa otak suaminya sedang tidak baik-baik saja. Haruskah Hilya menelpon rumah sakit jiwa? "Ngapain ambil cuti lagi, Mas? Kebanyakan cuti, potongan gaji semakin banyak," kata Hilya. "Ya tidak apa-apa. Potongan gaji yang tidak seberapa itu tidak seketika membuatku jatuh miskin." 'Sombong' Hilya mencibir dalam hati. "Bagaimana kalau kita ulangi yang tadi malam lagi, Hil?" bisik Zayyan di dekat telinga Hilya. Hilya yang sedang membuka tirai jendela kamar, dipeluk Zayyan dari belakang. "Enggak!" tolak Hilya dengan tegas. "Masih sakit tau!" Ia juga melepaskan pelukan Zayyan darinya. "Nanti aku akan pelan-pelan kok." Za
Seketika Zayyan menjauhkan wajahnya dari wajah Inka, dan ia pun mendorong tubuh Inka dengan cukup keras, hingga Inka jatuh terduduk di lantai. Zayyan bangun dari duduknya, menatap tajam pada wanita yang tadi menggodanya. Napasnya begitu memburu karena menahan kemarahan. "Zayyan, kenapa kamu mendorongku?" Inka mencoba bangun. Ia pun menepuk-nepuk pantatnya, lalu berdiri berhadapan dengan Zayyan. "Kamu masih tanya kenapa?" tanya Zayyan dengan geram. "Kamu sudah keterlaluan, Inka! Kamu sudah melewati batas." Inka tersenyum miring sembari melipat kedua tangannya ke depan dada. "Kenapa reaksimu begitu berlebihan seperti itu, Zayyan? Kamu bisa menolakku baik-baik tadi. Atau, sebenarnya kamu mau, tapi pura-pura menolak, karena ingat ini masih di rumah sakit?" "Tutup mulutmu, Inka! Keluar sekarang dari ruangan ini. Saya haramkan kamu datang lagi ke sini!" tegas Zayyan. Kali ini Inka memang sudah kelewatan, dan Zayyan sudah tidak bisa mentolerir lagi. "Kamu mengusirku, dan melarangku un