"Apa sih, tidak penting sekali!" elak Zayyan. "Ngaku aja sih, nggak usah malu begitu, Zayyan." Hilya membalik badan, dan melihat adanya Inka yang kini berdiri di dekat Zayyan. Tidak menyangka juga jika ada wanita itu di sini.Melihat Zayyan yang tampak risih dengan adanya Inka, membuat Hilya merasa kasihan. Ia pun mengurungkan niatnya untuk naik kereta gantung, dan kembali menghampiri Zayyan. Hilya akan membantu Zayyan untuk bisa melepaskan diri dari wanita yang berpakaian kurang bahan itu. Bahkan ke tempat wisata seperti ini pun, wanita itu juga menggunakan pakaian terbuka. Hilya heran, apakah Inka tidak punya rasa malu? Padahal Inka adalah dokter. Setahu Hilya, biasanya dokter akan lebih menjaga cara berpakaiannya. "Eh, ada dokter Inka juga di sini. Kok bisa kebetulan ya? Dokter Inka nggak lagi ada praktik hari ini di rumah sakit?" ujar Hilya yang kini sudah menghampiri Zayyan, dan Inka. Melihat kedatangan Hilya, Inka pun mendengkus tidak suka. Padahal tadi ia sudah mencoba men
Perjalanan silaturahim ke kerabat tidak hanya sampai ke kerabat dari ibunya Zayyan, tetapi langsung dilanjutkan ke kerabat dari sebelah ayah Hilya, alias paman, dan bibi Hilya. Ini sekalian dilakukan mumpung Zayyan masih cuti kerja. Kebanyakan pengantin baru akan menggunakan waktu cutinya untuk pergi bulan madu, tapi Zayyan, dan Hilya justru menghabiskan waktu untuk ke sana ke mari ke rumah saudara. Meskipun begitu, Zayyan legowo saja, selama Hilya tidak marah, dan tidak mendiamkannya. Kerabat dari ayah Hilya hanya Aryo saja, yaitu paman Hilya yang waktu itu menjadi wali nikah Hilya. Aryo adalah satu-satunya saudara kandung ayah Hilya yang masih tersisa. "Duduklah, paman senang kalian berkunjung ke mari. Terutama kamu, Zayyan. Paman tidak menyangka, kamu mau mampir ke gubug reot paman ini." Rumah Aryo memang terbilang sederhana karena dindingnya terbuat dari kayu, dan lantainya yang masih tanah. Namun, di dalam rumah terasa cukup sejuk tanpa adanya kipas angin atau AC. "Tentu kam
Nanti sore di rumah sang mertua akan kebagian giliran penempatan acara rutinan ibu-ibu komplek. Rutinan itu adalah pembacaan surat Yasin, lalu dilanjutkan dengan pembacaan maulid Al barzanji. Oleh karena itu, sekarang Hilya sedang ikut membantu Anita, dan Ijah memasak. Hilya sih senang-senang saja disuruh membantu memasak, karena memasak adalah salah satu hobinya. Dulu waktu kecil ia sempat punya cita-cita ingin menjadi chef. Tapi, setelah besar, dan sering menonton acara perlombaan memasak di televisi, Hilya jadi tidak mau jadi chef lagi. "Hil, nanti kamu juga ikut di acara ya. Ikut baca Yasin, sama maulid. Biar bisa berbaur sama ibu-ibu komplek sini," ujar Anita. "Iya, Ma." "Nanti nih, semisal kamu, sama Zayyan mau hidup mandiri, tinggal di rumah sendiri, kamu harus pinter-pinter berbaur sama ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal kalian nanti. Ya, bukan berbaur yang ikut gosip-gosip, bukan. Maksudnya ya, kalau ada kegiatan yang positif, kamu ikut serta. Contohnya ya seperti ikut
Zayyan senyum-senyum sendiri mengingat kegiatan tadi malam yang sangat indah. Ia seperti dibuat jatuh cinta berkali-kali oleh Hilya. "Mas, kamu masih waras kan?" tanya Hilya yang sedari tadi heran melihat Zayyan yang terus tersenyum. Seperti orang gila saja menurut Hilya. "Hil, apa aku ambil cuti lagi ya?" Nah, kan, ditanya apa jawabnya apa. Hilya jadi semakin yakin bahwa otak suaminya sedang tidak baik-baik saja. Haruskah Hilya menelpon rumah sakit jiwa? "Ngapain ambil cuti lagi, Mas? Kebanyakan cuti, potongan gaji semakin banyak," kata Hilya. "Ya tidak apa-apa. Potongan gaji yang tidak seberapa itu tidak seketika membuatku jatuh miskin." 'Sombong' Hilya mencibir dalam hati. "Bagaimana kalau kita ulangi yang tadi malam lagi, Hil?" bisik Zayyan di dekat telinga Hilya. Hilya yang sedang membuka tirai jendela kamar, dipeluk Zayyan dari belakang. "Enggak!" tolak Hilya dengan tegas. "Masih sakit tau!" Ia juga melepaskan pelukan Zayyan darinya. "Nanti aku akan pelan-pelan kok." Za
Seketika Zayyan menjauhkan wajahnya dari wajah Inka, dan ia pun mendorong tubuh Inka dengan cukup keras, hingga Inka jatuh terduduk di lantai. Zayyan bangun dari duduknya, menatap tajam pada wanita yang tadi menggodanya. Napasnya begitu memburu karena menahan kemarahan. "Zayyan, kenapa kamu mendorongku?" Inka mencoba bangun. Ia pun menepuk-nepuk pantatnya, lalu berdiri berhadapan dengan Zayyan. "Kamu masih tanya kenapa?" tanya Zayyan dengan geram. "Kamu sudah keterlaluan, Inka! Kamu sudah melewati batas." Inka tersenyum miring sembari melipat kedua tangannya ke depan dada. "Kenapa reaksimu begitu berlebihan seperti itu, Zayyan? Kamu bisa menolakku baik-baik tadi. Atau, sebenarnya kamu mau, tapi pura-pura menolak, karena ingat ini masih di rumah sakit?" "Tutup mulutmu, Inka! Keluar sekarang dari ruangan ini. Saya haramkan kamu datang lagi ke sini!" tegas Zayyan. Kali ini Inka memang sudah kelewatan, dan Zayyan sudah tidak bisa mentolerir lagi. "Kamu mengusirku, dan melarangku un
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Zayyan. Ia sekarang tengah merebahkan tubuhnya di samping Hilya, dengan lengannya yang dijadikan bantalan untuk sang istri. Sejak keduanya berhubungan intim waktu itu, posisi seperti ini memang sering mereka lakukan, dan Hilya pun merasa tidak masalah. Yang terpenting bagi Hilya saat ini adalah Zayyan tidak menyakitinya, tidak marah-marah atau berbicara ketus padanya, seperti dulu sebelum menikah. "Lumayan asik. Aku juga punya beberapa teman baru. Aku jadi nggak kesepian di kampus," jawab Hilya. "Syukurlah kalau begitu." Zayyan turut senang, karena itu artinya Hilya tak mendapat kesulitan yang berarti saat di kampus. "Kamu boleh punya teman banyak, Hil, tapi harus tetap disaring. Berteman dengan mereka yang baik, dan tidak suka buat onar di kampus." "Iya, aku tau kok. Aku juga bukan anak kecil lagi, pasti bisa pilih-pilih temen." "Hmm ... kamu ternyata memang sudah dewasa, Hil. Padahal, rasanya baru kemarin kamu masih sering kugendong karen
Karena besok akhir pekan, Zayyan tidak ada jadwal praktik di rumah sakit. Pun dengan Hilya yang tidak ada jadwal kuliah. Oleh karena itu, Hilya memanfaatkan kesempatan ini untuk menginap di rumah sang nenek. Hilya rindu dengan ibunya, kedua adiknya, juga neneknya. Bagaimana pun sikap ibunya selama ini padanya, tetap saja wanita itulah yang telah melahirkannya, dan Hilya tidak bisa membenci. "Kamu ngapain ikut masukin baju ke tas, Mas?" tanya Hilya heran, saat melihat Zayyan melakukan hal yang sama dengannya. "Aku mau ikut, Hil, nginep di rumah nenek," jawab Zayyan. Tadinya Hilya hanya meminta izin pada Zayyan untuk menginap di rumah sang nenek, tanpa mengajak suaminya itu. "Ngapain sih? Kalau nginep di rumah nenek, nanti Mas nggak bisa tidur lagi," kata Hilya. Masih teringat jelas di kepala Hilya, saat beberapa minggu yang lalu mereka menginap di rumah sang nenek. Waktu itu Hilya belum menganggap Zayyan sepenuhnya jadi suami, jadi Hilya tak mengizinkan Zayyan untuk tidur satu ran
"Lho, kamu tidak pulang bareng Hilya, Zayyan?" tanya Anita, yang melihat anak laki-lakinya tiba di rumah sendirian, tanpa adanya sang istri. "Saya sudah bilang ke Hilya bahwa hari ini tidak bisa jemput, Ma. Memangnya Hilya belum pulang?" Zayyan justru balik bertanya. Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun menggeleng. Seketika merasa cemas, takut terjadi sesuatu dengan menantu kesayangannya. "Ooh, mungkin mampir ke rumah nenek, Ma," kata Zayyan. Mungkin nanti ia bisa menjemputnya, jika Hilya benar-benar ada di sana. "Hilya ada bilang ke kamu, kalau mau mampir ke sana?" Anita bertanya lagi. "Tidak." Zayyan menggeleng. Anita menghela napas, lalu berbicara kembali pada sang anak. "Coba telfon Hilya. Pastikan dia ada di mana, Zayyan. Perasaan mama tiba-tiba jadi nggak enak ini." Suami Hilya itu pun mengangguk menuruti perintah sang ibu. Ia mendial nomor Hilya, tapi sayangnya sedang tidak aktif. Zayyan yang tadinya cukup tenang, kini berubah jadi gusar. "Tidak aktif, Ma. Apa mu