"Itulah yang namanya jodoh, Dokter Inka. Kalau memang jodoh saya adalah sepupu saya sendiri, memangnya kenapa?" ucap Zayyan, membalas perkataan Inka. Hilya tampak tak puas dengan perkataan Zayyan. Seharusnya suaminya ini membalas kata-kata yang menyakitkan, agar perempuan bernama Inka ini merasa sakit hati. "Tapi, kita kan bisa memilih jodoh kita sendiri, Zayyan. Kalau kamu mau menerimaku, sudah pasti yang menjadi jodohmu adalah aku. Aku jelas setara dengan kamu dari segi pendidikan, dan profesi." Sekali lagi Inka membicarakan tentang strata sosial, membuat Hilya merasa muak. Hilya tahu, wanita ini tengah menyindirnya. Menyebalkan memang, dan ingin rasanya Hilya merobek mulut wanita ini, jika tidak ingat sekarang ini adalah acara resepsi pernikahannya."Pendidikan, dan profesi yang setara, tidak menjamin seseorang bisa berjodoh, dan berhubungan dengan baik, dan nyaman," balas Zayyan. "Jika kamu sudah selesai, silakan turun dari panggung, sudah banyak yang mengantre." Inka tidak su
"Bilang saja kalau saya sedang istirahat, dan tidak mau diganggu. Suruh dia pulang," kata Zayyan. Sungguh saat ini ia sedang tidak mau menemui wanita lain selain istrinya sendiri. "Tapi, Bro ka--." Melihat tatapan tajam mata Zayyan, membuat sepupu Zayyan itu tak jadi meneruskan perkataannya. "Ya udah deh, aku pergi dulu. Sorry udah ganggu. Selamat beristirahat, Pengantin baru. Cepat kasih aku keponakan ya." Zayyan menghela napas setelah sepupunya menjauh dari pintu. Ia pun segera menutup, dan mengunci kamarnya, seraya berharap dalam hati, semoga setelah ini tidak ada lagi yang datang mengganggu. Selain karena ingin berduaan dengan Hilya, Zayyan juga sudah terlalu lelah menghadapi manusia. "Kenapa nggak ditemuin aja, Mas?" Hilya tiba-tiba bertanya, membuat Zayyan yang sedang tidak fokus pun terlonjak. "Siapa?" "Ya itu ... mbak-mbak yang namanya Inka tadi. Dia siapa sih? Mantan Mas ya? Eh, tapi, pas di panggung, dia bilang kalau Mas nolak cintanya. Jadi, sebenarnya dia siapa? Aku
"Oh, jadi dari tadi Mas Zayyan muji aku terus karena ada maunya gitu? Dasar modus!" cibir Hilya. Ia memandang sengit laki-laki di depannya. "Lho, masa ke istri sendiri modus sih, Hil? Lagi pula, wajar kan, kalau aku minta cium kamu? Itu juga cium kening saja, bukan cium yang lain," balas Zayyan. "Nggak wajar, karena kita nggak saling cinta, meskipun kita ini suami istri." Hilya bangun dari duduknya, lalu melipat mukenanya. Menghela napas, Zayyan menatap Hilya. Ini bukan saat yang tepat untuk mengakui perasaannya pada gadis itu. Bisa-bisa ia dituduh bohong oleh istrinya itu. "Wiridan dulu, Hil. Habis sholat itu bagusnya baca wirid dulu, jangan langsung pergi," ujar Zayyan. "Ayo duduk lagi." Hilya sih sebenernya sih mau-mau saja disuruh baca wirid setelah sholat fardhu, tapi ia enggan berlama-lama bersama dengan Zayyan. Entah, mungkin bagi Hilya, Zayyan seperti virus yang harus dihindari. Oke, Hilya memilih untuk duduk lagi, kali ini ia sudah tidak memakai mukena, hanya pakai keru
"Pak Dimas," gumam Hilya. Laki-laki itu mendekati Hilya yang masih berdiri kaku. Entah kebetulan macam apa ini, hingga membuat Hilya tidak tahu harus bagaimana. Jika biasanya Hilya akan sangat senang jika bertemu dengan laki-laki yang selama beberapa bulan ini mengisi hatinya, maka kali ini berbeda. Hilya merasa was-was, takut-takut kalau Dimas tahu akan status Hilya sekarang yang sudah menjadi seorang istri. Memang Hilya tak tahu bagaimana perasaan laki-laki itu padanya. Tapi, sedikit berharap tidak salah bukan? Dimas selalu bersikap baik kepadanya, dan sebelum menikah, Hilya sering bermimpi kalau laki-laki itu juga menyimpan rasa untuknya. "Kamu sedang apa di sini, Hil?" Dimas mengulangi pertanyaannya tadi. Kini ia sudah lebih dekat jaraknya dengan Hilya. Sebelum menjawab, Hilya menengok ke belakang. Tidak ada ibunya atau anggota keluarga yang lain di sana. Mungkin sudah ke mobil semua saat Hilya terdiam tadi. "A-anu, Pak Dimas, aku ... aku habis diajak nginep di sini sama tem
Hilya membantu Ijah--asisten rumah tangga di rumah orang tua Zayyan-- memasak untuk makan malam. Sebenarnya Ijah sudah melarang, tapi Hilya tetap ngotot untuk membantu. Meskipun mertuanya adalah kakak dari ibunya sendiri, tak lantas membuat Hilya bersikap santai di rumah mertua. Ia tetap merasa sungkan jika tidak berbuat apa-apa. Setidaknya ia harus berguna di rumah besar ini. "Mbak Hilya doyan sayur tauge tidak?" tanya Ijah. Hilya yang sedang memotong-motong kangkung di sebelah Ijah pun menoleh sebentar. "Doyan, Bik. Aku apa aja doyan sih, Bik, asal halal aja, hehe." "Bagus berarti itu, Mbak. Kalau doyan tauge, nanti bibi masakin ya, Mbak. Tauge bagus lho, untuk pengantin baru. Katanya sih bagus buat kesuburan, Mbak." Hilya tak menanggapi, karena memang ia tidak terlalu paham maksud perkataan wanita paruh baya itu. Apa kaitannya tauge dengan pengantin baru? Kesuburan apa juga yang dimaksud Ijah? Meski bingung, Hilya tak mau menanyakannya. Pandai memasak memang salah satu keahl
"Lho, kenapa? Katanya terserah aku mau ambil kuliah jurusan apa," kata Hilya. "Iya, tapi jangan di kampus itu. Di kampus yang lebih bagus kan banyak." Sebenarnya tidak ada alasan khusus kenapa Zayyan melarang Hilya kuliah di kampus yang letaknya dekat dengan tempat kerja Hilya dulu. Zayyan hanya ingin memberikan tempat pendidikan yang terbaik untuk istri barunya ini. "Kalau nggak boleh kuliah di sana, ya udah, aku nggak kuliah aja sekalian. Selain itu, aku juga nggak akan menuruti apa pun kata-kata Mas Zayyan," rajuk Hilya. Memijat pelipisnya, Zayyan sedikit merasa pusing. Ia kira sikap manja Hilya sudah hilang, seiring bertambahnya usia, pun karena mereka tidak dekat sebelumnya. Tapi ternyata, Hilya kembali bersikap seperti waktu masih kecil dulu, waktu Zayyan masih sering mengasuhnya. "Pusing ya, ngeladenin aku? Makanya, jangan iya-iya aja nurutin perintah nenek buat nikah sama aku," lanjut Hilya. Gadis dua puluh tahun tersebut bangun dari duduknya sembari membawa plastik beris
Hilya menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Mengada-ada saja perkataan Inka ini. Dikira ia akan percaya begitu saja. Sementara Inka sendiri mengernyitkan dahi, melihat Hilya yang terkekeh. Biasanya seorang istri jika diberi tahu hal menyakitkan tentang sang suami, pasti akan meledak kemarahannya, atau menangis tersedu-sedu. Tapi, ini Hilya justru malah santai saja. Inka jadi heran sendiri. "Nggak mungkin," sangkal Hilya, lalu kembali terkekeh. Merasa lucu saja dengan pengakuan Inka. Sebegitu frustasinya kah wanita itu ditinggal Zayyan menikah, sampai harus mengarang cerita seperti itu? Lagi pula, apa ia tidak malu? Meski tidak ada rasa cinta untuk Zayyan, tapi Hilya yakin seyakin-yakinnya, bahwa kakak sepupu yang sekarang jadi suaminya, tidak akan melakukan hal menjijikkan seperti yang dikatakan Inka. Zayyan adalah sosok yang cukup religius, dan sering mengikuti kajian keagamaan. Setidaknya seperti itu yang sering Hilya dengar dari cerita sang nenek. Dari tingkah lakunya pun,
"Syaratnya, kamu pijitin aku, Hil. Badanku sakit semua," bisik Zayyan di dekat telinga Hilya. Posisi yang terlalu dekat itu membuat Hilya tak nyaman, hingga ia menepis tangan Zayyan yang melingkar di pinggangnya. Hilya juga seketika bernapas lega karena Zayyan tidak menuntut syarat yang aneh-aneh. Meminta haknya sebagai suami misalnya. Hilya tidak akan mampu menuruti yang satu itu, karena prinsipnya adalah memberikan mahkota kehormatan hanya pada suami yang dicintainya. "Oke, mana yang mau dipijitin?" tanya Hilya, setelah berhasil meredakan rasa panas yang tadi menjalari pipinya, dan mungkin saja tadi pipinya sudah terlihat seperti tomat, andai Hilya bisa melihatnya sendiri. "Punggungku, Hil." Zayyan kemudian mengubah posisi tubuhnya menjadi tengkurap. "Sebenarnya pengen diinjak-injak kamu, Hil, punggungnya, seperti waktu kamu kecil dulu yang sering nginjak-nginjak punggung papa kalau disuruh. Tapi, aku takut tidak kuat, karena kamu kan sekarang sudah besar." Hilya tak membalas,