Home / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 2. Kekuatan Baru

Share

2. Kekuatan Baru

last update Last Updated: 2025-02-03 12:39:09

Pagi hari di dalam hutan terasa dingin, dan ketika Kael membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tetapi setidaknya dia bisa bernapas dengan lebih tenang. Di sudut ruangan, seorang kakek tua dengan rambut putih panjang sedang duduk, menatapnya dengan mata penuh perhatian. 

"Kau sudah bangun," kata kakek itu dengan suara lembut. "Tenanglah, kau aman di sini."

Kael ingin berbicara, ingin bertanya siapa kakek ini dan bagaimana dia bisa berada di sini, tetapi mulutnya terasa kering. Kakek itu menyodorkan semangkuk air hangat. "Minumlah. Kau butuh istirahat."

Dengan lemah, Kael mengambil mangkuk itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa segar dari air tersebut memberi sedikit kekuatan bagi tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mencoba berbicara. "Siapa... siapa Anda?" suaranya serak dan lemah.

Kakek itu tersenyum tipis. "Namaku Ling. Aku menemukanku di tengah hutan, dalam keadaan sekarat. Untung saja aku tiba tepat waktu."

Kael mengangguk lemah. Dia tak tahu harus berkata apa. Rasa sakit dan kehilangan yang dirasakannya masih sangat nyata. Meskipun dia selamat, hatinya tetap hancur. Ingatan akan keluarganya terus menghantui pikirannya.

Setelah beberapa hari tinggal bersama Kakek Ling, Kael mulai pulih secara fisik. Namun, luka di hatinya tak kunjung sembuh. Setiap malam, dia terjaga, mengingat wajah orang-orang yang dia cintai, terutama tatapan kosong adik kecilnya, Lana, saat nyawanya direnggut dengan kejam.

Pada suatu malam, Kael memutuskan untuk menceritakan segalanya pada Kakek Ling—tentang bandit-bandit yang menyerang desanya, tentang tato kalajengking merah yang ada di tangan pemimpin mereka, dan tentang dendam yang kini membara di dalam dirinya. "Aku ingin membalas dendam," ucap Kael, suaranya penuh tekad.

Kakek Ling menghela napas panjang. "Dendam adalah pedang bermata dua, Kael. Jika kau tidak hati-hati, ia akan menghancurkanmu sebelum kau menghancurkan musuhmu."

Namun, Kael tak peduli. Baginya, tak ada lagi yang bisa dia pertahankan selain keinginannya untuk membalas dendam kepada para bandit yang telah merenggut segalanya darinya. Melihat keteguhan di mata Kael, Kakek Ling akhirnya setuju untuk membantunya. Dia tidak ingin pemuda ini tersesat dalam kemarahan tanpa arah.

"Aku akan melatihmu," kata Kakek Ling suatu hari. "Tapi ingat, kekuatan yang kau miliki bukan untuk merusak, tapi untuk melindungi."

Kael mengangguk, meskipun di dalam hatinya, hanya satu tujuan yang terus terbayang—membunuh pemimpin bandit bertato kalajengking merah.

Hari-hari berlalu, dan kehidupan Kael tak lagi sama seperti sebelumnya. Kehangatan keluarganya kini tinggal kenangan yang suram, tergantikan oleh tekad keras untuk membalaskan dendam. Setiap hari, Kakek Ling membimbingnya di bawah kanopi pohon-pohon tinggi di hutan, jauh dari peradaban yang kacau. Latihan-latihan itu bukan sekadar tentang mengayunkan pedang, tetapi juga soal kesabaran, ketekunan, dan pengendalian diri—semua hal yang sulit diterima Kael, yang hatinya masih terbakar dendam.

Pagi itu, seperti biasanya, Kael sudah bangun sebelum matahari muncul di langit. Ia keluar dari pondok, menghirup udara dingin pagi yang terasa segar. Di tangannya, sebilah pedang kayu yang sudah mulai terkikis di beberapa bagian. Kakek Ling sudah menunggunya di lapangan terbuka yang mereka gunakan sebagai tempat berlatih.

"Kau semakin cepat bangun, anak muda," ujar Kakek Ling sambil tersenyum. "Tapi ingat, keterampilan pedang bukanlah tentang kecepatan saja. Kau harus menguasai dirimu sebelum kau bisa menguasai senjatamu."

Kael mengangguk meski pikirannya masih dibayangi oleh bayangan keluarga dan desa yang hancur. Setiap kali ia memejamkan mata, ia bisa melihat darah yang mengalir, tawa kejam bandit-bandit itu, terutama pemimpin mereka yang bertato kalajengking merah. Bayangan itu selalu kembali menghantuinya, mendorongnya untuk berlatih lebih keras lagi.

"Hari ini, kita akan memulai dengan dasar-dasar keseimbangan," kata Kakek Ling, mengarahkan Kael ke sebuah batu besar yang datar. "Keseimbangan adalah kunci dari semua teknik pedang. Jika kau tidak seimbang, kau akan kalah bahkan sebelum pedangmu menyentuh musuh."

Kael menaiki batu tersebut dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya seperti yang diperintahkan. Namun, pikirannya yang terus-menerus dipenuhi oleh dendam membuatnya sulit fokus. Setiap kali ia mencoba untuk tenang, bayangan keluarga dan desanya yang hancur kembali menyeruak.

"Tenangkan pikiranmu, Kael," ujar Kakek Ling dari bawah. "Aku bisa melihat api di matamu, tetapi kau tidak bisa bertarung dengan hati yang penuh kemarahan. Kau harus belajar mengendalikan emosimu."

Kael mencoba, tetapi emosinya tetap liar. Ia merasa seolah-olah setiap latihan ini adalah buang-buang waktu. “Apa gunanya semua ini?” pikirnya, frustrasi. “Aku hanya ingin menjadi kuat, agar aku bisa membalas dendam!”

Akhirnya, amarahnya meluap. Kael melompat turun dari batu itu, mengayunkan pedang kayunya ke segala arah. Serangannya cepat dan kuat, tetapi tanpa arah yang jelas. Setiap pukulan penuh dengan kebencian yang tak terkendali. Ia mengayunkan pedang kayunya dengan liar, seolah-olah bayangan pria bertato kalajengking merah ada di hadapannya.

Kakek Ling menyaksikan dari kejauhan, tak berkata sepatah kata pun. Ia membiarkan Kael melampiaskan amarahnya, sampai akhirnya Kael kehabisan tenaga, terjatuh di tanah sambil terengah-engah. Tetesan keringat mengalir di wajahnya, sementara dadanya naik-turun dengan cepat.

"Kau sudah selesai?" tanya Kakek Ling dengan nada tenang.

Kael tak menjawab, hanya menunduk, menggenggam pedangnya dengan lemah. Ia merasa bodoh, merasa bahwa semua upayanya sia-sia. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi pendekar jika ia tak bisa mengendalikan emosinya sendiri?

Kakek Ling mendekatinya, berdiri di samping Kael yang masih terduduk di tanah. “Apa yang kau rasakan sekarang?” tanya Kakek Ling dengan lembut.

"Frustrasi," jawab Kael, suaranya parau. "Aku merasa tidak ada yang berubah. Aku tetap lemah. Aku hanya ingin balas dendam... tapi aku tak tahu caranya."

Kakek Ling tersenyum tipis, kemudian menepuk bahu Kael dengan lembut. “Kau tidak lemah, Kael. Tapi kau tidak akan pernah bisa menjadi kuat jika kau terus membiarkan amarah menguasaimu. Pedang, jika digunakan dalam kemarahan, hanya akan menghancurkanmu. Ia harus dipandu oleh ketenangan, oleh pikiran yang jernih.”

Kael terdiam, menyerap kata-kata itu. Di dalam hatinya, ia tahu Kakek Ling benar. Ia tak bisa terus-menerus dikuasai oleh amarah, meskipun amarah itulah yang selama ini memberinya kekuatan untuk bertahan.

***

Hari-hari berlalu, dan Kael mulai mengubah cara pandangnya. Meski dendamnya masih membara, ia berusaha untuk mengikuti ajaran Kakek Ling. Ia mulai memahami bahwa jalan pedang bukan hanya soal kekuatan, tapi juga soal pengendalian diri. Latihan keseimbangan, ketepatan, dan konsentrasi menjadi bagian dari rutinitasnya. Setiap hari, ia melatih tubuh dan pikirannya, mencoba mengusir amarah yang masih menghantui.

Kakek Ling bukan hanya pendekar pedang biasa. Kael segera menyadari bahwa kakek tua yang menolongnya itu memiliki keahlian luar biasa. Setiap gerakan yang diajarkannya penuh presisi, dan setiap kali Kael melakukan kesalahan kecil, Kakek Ling dengan tenang menunjukkan cara memperbaikinya. Kael tidak pernah menyangka bahwa seseorang seusia Kakek Ling bisa bergerak dengan begitu lincah dan kuat, seolah-olah usianya tidak mempengaruhi kemampuannya sedikit pun.

Selama bulan-bulan pelatihan, tubuh Kael mulai berubah. Rasa sakit yang dulu dia rasakan dari luka-lukanya kini tergantikan oleh kekuatan yang tumbuh seiring waktu. Kakek Ling melatihnya tidak hanya dalam hal kemampuan fisik, tetapi juga mental. Setiap hari, mereka melakukan meditasi, membangun keseimbangan antara jiwa dan tubuh. Meskipun di dalam hati Kael, dendamnya terus membara, dia merasa sedikit demi sedikit lebih tenang. Namun, tekadnya tidak pernah goyah.

Suatu hari, setelah sesi latihan yang melelahkan, Kael berjalan sendirian di hutan untuk mencari ketenangan. Tanpa sengaja, dia tersesat lebih dalam dari biasanya. Langkah-langkahnya membawanya ke sebuah tempat yang asing—sebuah gua tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Kael merasa ada sesuatu yang aneh dengan gua itu, seolah ada aura misterius yang memanggilnya masuk.

Dengan rasa ingin tahu yang tak tertahankan, Kael memasuki gua tersebut. Di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang tak pernah dia duga: sebuah pedang tua berkarat tergeletak di atas altar batu, seolah telah menunggu seseorang untuk menemukannya. Pedang itu tampak kuno, dengan ukiran naga di gagangnya, meskipun lapisan karat membuatnya sulit dilihat dengan jelas. Kael merasa ada sesuatu yang istimewa dari pedang ini, seolah pedang tersebut memiliki kekuatan tersembunyi.

Kael memutuskan untuk membawa pedang itu pulang.

“Kek, Aku menemukan pedang yang aneh.” Kael menatap Kakek Ling, matanya dipenuhi tanda tanya. Sambil menunjukan pedang  yang baru saja ia temukan.

Meskipun tampak berkarat, ia yakin bahwa pedang ini menyimpan rahasia yang lebih besar dari yang terlihat. Ketika dia kembali ke gubuk, Kakek Ling langsung mengenali pedang itu. Ekspresi wajahnya berubah, antara terkejut dan waspada.

“Itu… Pedang Naga,” bisik Kakek Ling dengan nada serius.

Kael mengerutkan dahi. “Pedang Naga? Apa maksudnya, Kakek?”

Kakek Ling mendekati pedang itu, matanya tak lepas dari ukiran naga di gagangnya. “Pedang ini pernah dimiliki oleh raja terdahulu. Sebuah pedang yang memiliki kekuatan luar biasa, tapi juga penuh dengan tanggung jawab besar. Pedang ini hilang sejak lama, dan sekarang kau yang menemukannya.”

Kael tertegun. Ia pernah mendengar cerita tentang Pedang Naga dari desas-desus dan dongeng-dongeng yang diceritakan di desanya. Pedang itu konon memiliki kekuatan besar dan hanya bisa dikuasai oleh pendekar yang memiliki hati dan tekad yang murni. Tapi ia tahu, jika tekadnya hanya untuk balas dendam. Ia sendiri tak yakin bisa menggunkan pedang itu.

"Pedang ini terlalau berharga untuk aku miliki," ucap Kael merasa tak pantas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pendekar Pedang Naga   3. Pedang Naga

    Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat. “Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas d

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   4. Pertarungan Dengan Bandit

    Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   5. Akademi Pedang Kerajaan

    Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   6. Surat Rekomdasi asli atau palsu

    Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa

    Last Updated : 2025-02-22
  • Pendekar Pedang Naga   7. Izin Masuk

    Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran

    Last Updated : 2025-02-23
  • Pendekar Pedang Naga   8. Tingkat Kekuatan

    Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain

    Last Updated : 2025-02-26
  • Pendekar Pedang Naga   9. Pembagian Kelas

    Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene

    Last Updated : 2025-03-01
  • Pendekar Pedang Naga   10. Tantangan Duel

    Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek

    Last Updated : 2025-03-02

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   33. Ketegangan di Akademi

    Kael menegang. Pertanyaan itu langsung menusuk ke inti pikirannya. Bagaimana Asmar tahu? Dengan sisa tenaganya, Kael mencoba duduk tegak, meski tubuhnya masih terasa lemah. Matanya menatap tajam ke arah lelaki paruh baya itu. "Apa maksudmu?" Asmar hanya tersenyum tipis. "Aku sudah lama mengamati akademimu, Nak. Dan serangan tadi malam bukan sekadar serangan acak. Itu adalah ujian." Kael mengernyit. "Ujian?" Asmar mengangguk. "Para penyerang itu tidak datang untuk menghancurkan akademimu. Mereka datang untuk mengukur kekuatan murid-murid di sana… dan mencari seseorang yang cukup kuat untuk tujuan mereka." Jantung Kael berdegup lebih cepat. "Mereka… sedang mencari seseorang?" "Ya," jawab Asmar dengan tenang. "Dan kau salah satu yang mereka incar." Ruangan terasa semakin sunyi. Kael ingin menyangkal, tapi semuanya mulai masuk akal. Serangan mendadak, cara musuh menghilang begitu cepat, pengkhianat di dalam akademi… semuanya terasa seperti bagian dari rencana yang lebih b

  • Pendekar Pedang Naga   32. Akademi di Serang

    Kael dan Arsel berdiri diam di tengah kegelapan, mencoba mencari tanda-tanda kehadiran sosok yang mereka kejar. Namun, bayangan itu benar-benar menghilang—seolah-olah ditelan oleh malam. "Tidak mungkin," bisik Arsel. "Aku yakin dia ada di sini beberapa detik yang lalu." Kael menggenggam pedangnya lebih erat. "Ini bukan pertama kalinya seseorang menghilang begitu saja. Kita sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak biasa." Arsel mengangguk. "Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati." Mereka berdua mundur perlahan, memutuskan untuk kembali ke kamar sebelum seseorang menyadari keberadaan mereka di luar asrama. Namun, tepat saat mereka berbalik, sesuatu menarik perhatian Kael. Di tanah, di tempat bayangan itu menghilang, ada secarik kain hitam tersangkut di ranting semak. Kael berlutut dan mengambilnya. Kain itu terasa kasar, seolah berasal dari jubah berat yang sering digunakan untuk perjalanan jauh atau penyamaran. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah bau samar

  • Pendekar Pedang Naga   31. Pesan Misterius

    Di akademi, persiapan untuk Kompetisi Antar Akademi semakin intens. Setiap tingkat diharuskan mengajukan perwakilan terbaik mereka untuk bertanding dalam berbagai cabang—pertarungan, strategi, dan kecepatan berpikir. Para murid sibuk berlatih, aula utama dipenuhi suara dentingan senjata, percikan energi sihir, serta diskusi serius tentang taktik dan strategi.Kael, yang sebelumnya terganggu oleh pikirannya tentang para bandit, mencoba fokus. Ia tahu bahwa kompetisi ini adalah kesempatan besar—bukan hanya untuk membuktikan kemampuannya, tetapi juga untuk menjadi lebih kuat."Baiklah, semua berkumpul!" suara Guru Besar menggema di halaman akademi, memanggil para murid terbaik dari setiap tingkat. "Kami akan mengumumkan siapa saja yang terpilih untuk mewakili akademi dalam kompetisi tahun ini!"Kerumunan langsung hening. Semua menahan napas, menunggu pengumuman itu.Kael mengepalkan tangannya. Apakah ia cukup layak untuk dipilih? Atau justru harus menonton dari pinggir lapangan?Guru Bes

  • Pendekar Pedang Naga   30. Pencarian Yang Sia-sia

    Malam itu, mereka kembali ke asrama. Mereka tidak banyak bicara, hanya beristirahat setelah hari yang melelahkan. Kael berdiri di dekat jendela, menatap bulan. Pertandingan Antar Akademi sudah dekat. Latihan mereka mungkin telah berakhir, tetapi pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.Guru besar memberikan waktu untuk bersiap. Kael memanfaatkan waktu luang untuk kembali mencari informasi tentang para bandit. Sudah lama ia tidak pergi ke tempat itu, dan pikirannya terus dipenuhi rasa penasaran. Saat ia bersiap untuk pergi, Arsel, sahabatnya, memperhatikannya dengan curiga. "Kau mau ke mana, Kael?" tanyanya, menyilangkan tangan di dada. "Ke tempat kemarin, di gang dekat pasar," jawab Kael sambil menyesuaikan sarung pedangnya. Arsel mengerutkan kening. "Apa kau masih menyelidiki para bandit?" Kael mengangguk. "Iya. Aku penasaran, jadi aku akan kembali ke sana." Arsel mendesah, lalu tersenyum tipis. "Aku ikut." Tanpa menunggu persetujuan, ia sudah menyambar senjatanya

  • Pendekar Pedang Naga   29. Persiapan Pertandingan

    Hari-hari berikutnya menjadi neraka bagi Kael dan timnya. Setiap pagi, mereka harus berlari melintasi gunung di belakang akademi. Siang hari dihabiskan dengan latihan fisik brutal, mengangkat batu besar, menahan postur bertarung selama berjam-jam, dan serangan tanpa henti ke balok kayu hingga tangan mereka mati rasa. Sore harinya, latihan teknik dimulai. Guru Besar menghadapkan mereka pada berbagai skenario pertempuran—melawan banyak musuh, menghadapi tekanan tanpa istirahat, bahkan pertarungan dalam kegelapan. "Dalam Pertandingan Antar Akademi, tidak ada yang akan menyesuaikan diri dengan kelemahan kalian," kata Guru Besar. "Jika ingin menang, kalian harus bisa bertarung dalam kondisi apa pun." Di hari kelima, Kael mulai merasakan batas fisiknya. Kakinya nyaris tidak bisa berdiri, tangannya gemetar, dan napasnya terasa berat. Guru Besar tidak membiarkannya berhenti. "Bangun, Kael. Lawanmu belum tumbang." Kael terhuyung, tetapi ia memaksa tubuhnya berdiri. Lawan di depa

  • Pendekar Pedang Naga   28. Latihan dibawah Guru Besar

    Saat sorakan kemenangan masih menggema, Guru Besar berdiri dari tempat duduknya. Tatapannya terfokus pada Kael dan timnya. Para murid lain mungkin hanya melihat sekelompok anak berbakat yang memenangkan kompetisi, tetapi Guru Besar melihat lebih dari itu. Mereka bukan hanya kuat—mereka memiliki potensi yang luar biasa. Terutama Kael. "Aku harus mengawasi mereka lebih dekat," gumamnya. Tanpa menunggu lama, Guru Besar turun ke arena. Kael dan timnya baru saja selesai merayakan kemenangan mereka ketika suasana tiba-tiba menjadi hening. Semua murid menunduk hormat saat Guru Besar berjalan mendekati mereka. Kael menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakan. "Kael. Arsel. Rael. Daren." Suara Guru Besar menggema di seluruh arena. "Kalian telah menunjukkan sesuatu yang tidak dimiliki murid lain—kerja sama, strategi, dan tekad yang kuat." Kael dan yang lainnya saling berpandangan, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. Lalu, Guru Besar menatap me

  • Pendekar Pedang Naga   27. Kemenangan Tak Terduga

    Sebelum Kael bisa mengatakan apa pun, Guru Besar menarik napas panjang dan mengurangi tekanannya. "Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan… tapi ingat satu hal." Ia menatap Kael dengan serius. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Kael menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini peringatan… atau ancaman. Satu hal yang pasti—Guru Besar mulai curiga. Dan itu berarti… Kael harus lebih berhati-hati mulai sekarang.Kael berjalan kembali ke ruang istirahat dengan pikiran yang penuh. Percakapan dengan Guru Besar tadi masih terngiang di kepalanya. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Apa maksud dari peringatan itu? Saat ia masuk ke ruangan, Arsel langsung menghampirinya. "Hei, apa yang Guru Besar inginkan?" tanyanya penasaran. Rael dan Daren juga menoleh, menunggu jawaban. Kael menghela napas dan duduk di kursinya. "Tidak banyak. Dia hanya pena

  • Pendekar Pedang Naga   26. Kekuatan Naga Hitam

    Pemimpin Serigala Hitam terhuyung setelah serangan Kael menghantamnya dengan telak. Teknik bayangan yang menjadi andalan mereka mulai menghilang! Sorakan penonton menggema di seluruh arena. Pertarungan belum sepenuhnya selesai. Dua anggota Serigala Hitam masih berdiri, meskipun mereka kini kehilangan keunggulan taktik mereka. Kael tidak memberi mereka kesempatan untuk pulih! Dengan kecepatan luar biasa, ia menyusul salah satu lawan yang mencoba kabur ke belakang. "Kau tidak bisa lari!" Kael melompat, mendaratkan serangan keras ke dada lawannya! BRUGH! Lawan itu terpental keluar arena. "Peserta Serigala Hitam tereliminasi!" seru wasit. Kini hanya tersisa satu lawan terakhir. Sisa anggota tim Serigala Hitam menggertakkan giginya, matanya penuh ketakutan. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa seluruh timnya telah tumbang. "Tsk… Aku tidak akan kalah tanpa perlawanan!" teriaknya sambil menghunus senjatanya, sebelum ia sempat bergerak—Kael sudah ada di hadapannya! "Te

  • Pendekar Pedang Naga   25. Kekuatan Bayangan

    Serangan tim Serigala Hitam semakin intens! Mereka menggunakan ilusi, serangan bayangan, dan kecepatan luar biasa untuk mengacaukan formasi tim Kael. Kael merasa kesulitan—lawannya terus muncul dan menghilang, membuatnya sulit membaca arah serangan berikutnya. "Jika terus seperti ini, kita akan kalah tanpa sempat menyerang balik!" pikir Kael. Arsel menghindari serangan yang datang dari belakangnya dan berteriak, "Jangan terpancing! Mereka ingin kita menyerang asal-asalan!" Daren tetap tenang, matanya fokus membaca pola serangan musuh. "Ada jeda setengah detik setiap kali mereka berteleportasi… itu celahnya." Kael langsung menangkap maksud Daren. "Baik, kita ubah strategi!" Saat salah satu anggota Serigala Hitam muncul untuk menyerang, Kael berpura-pura terpojok. Lawan itu tertipu dan langsung maju untuk menyelesaikan serangan—tapi itu kesalahan fatal. Rael, yang sudah bersembunyi di bayangan, langsung menyerang dengan cepat! "Kena kau!" Serangan Rael menghantam tel

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status