แชร์

2. Kekuatan Baru

ผู้เขียน: PengkhayalMalam
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-03 12:39:09

Pagi hari di dalam hutan terasa dingin, dan ketika Kael membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tetapi setidaknya dia bisa bernapas dengan lebih tenang. Di sudut ruangan, seorang kakek tua dengan rambut putih panjang sedang duduk, menatapnya dengan mata penuh perhatian. 

"Kau sudah bangun," kata kakek itu dengan suara lembut. "Tenanglah, kau aman di sini."

Kael ingin berbicara, ingin bertanya siapa kakek ini dan bagaimana dia bisa berada di sini, tetapi mulutnya terasa kering. Kakek itu menyodorkan semangkuk air hangat. "Minumlah. Kau butuh istirahat."

Dengan lemah, Kael mengambil mangkuk itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa segar dari air tersebut memberi sedikit kekuatan bagi tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mencoba berbicara. "Siapa... siapa Anda?" suaranya serak dan lemah.

Kakek itu tersenyum tipis. "Namaku Ling. Aku menemukanku di tengah hutan, dalam keadaan sekarat. Untung saja aku tiba tepat waktu."

Kael mengangguk lemah. Dia tak tahu harus berkata apa. Rasa sakit dan kehilangan yang dirasakannya masih sangat nyata. Meskipun dia selamat, hatinya tetap hancur. Ingatan akan keluarganya terus menghantui pikirannya.

Setelah beberapa hari tinggal bersama Kakek Ling, Kael mulai pulih secara fisik. Namun, luka di hatinya tak kunjung sembuh. Setiap malam, dia terjaga, mengingat wajah orang-orang yang dia cintai, terutama tatapan kosong adik kecilnya, Lana, saat nyawanya direnggut dengan kejam.

Pada suatu malam, Kael memutuskan untuk menceritakan segalanya pada Kakek Ling—tentang bandit-bandit yang menyerang desanya, tentang tato kalajengking merah yang ada di tangan pemimpin mereka, dan tentang dendam yang kini membara di dalam dirinya. "Aku ingin membalas dendam," ucap Kael, suaranya penuh tekad.

Kakek Ling menghela napas panjang. "Dendam adalah pedang bermata dua, Kael. Jika kau tidak hati-hati, ia akan menghancurkanmu sebelum kau menghancurkan musuhmu."

Namun, Kael tak peduli. Baginya, tak ada lagi yang bisa dia pertahankan selain keinginannya untuk membalas dendam kepada para bandit yang telah merenggut segalanya darinya. Melihat keteguhan di mata Kael, Kakek Ling akhirnya setuju untuk membantunya. Dia tidak ingin pemuda ini tersesat dalam kemarahan tanpa arah.

"Aku akan melatihmu," kata Kakek Ling suatu hari. "Tapi ingat, kekuatan yang kau miliki bukan untuk merusak, tapi untuk melindungi."

Kael mengangguk, meskipun di dalam hatinya, hanya satu tujuan yang terus terbayang—membunuh pemimpin bandit bertato kalajengking merah.

Hari-hari berlalu, dan kehidupan Kael tak lagi sama seperti sebelumnya. Kehangatan keluarganya kini tinggal kenangan yang suram, tergantikan oleh tekad keras untuk membalaskan dendam. Setiap hari, Kakek Ling membimbingnya di bawah kanopi pohon-pohon tinggi di hutan, jauh dari peradaban yang kacau. Latihan-latihan itu bukan sekadar tentang mengayunkan pedang, tetapi juga soal kesabaran, ketekunan, dan pengendalian diri—semua hal yang sulit diterima Kael, yang hatinya masih terbakar dendam.

Pagi itu, seperti biasanya, Kael sudah bangun sebelum matahari muncul di langit. Ia keluar dari pondok, menghirup udara dingin pagi yang terasa segar. Di tangannya, sebilah pedang kayu yang sudah mulai terkikis di beberapa bagian. Kakek Ling sudah menunggunya di lapangan terbuka yang mereka gunakan sebagai tempat berlatih.

"Kau semakin cepat bangun, anak muda," ujar Kakek Ling sambil tersenyum. "Tapi ingat, keterampilan pedang bukanlah tentang kecepatan saja. Kau harus menguasai dirimu sebelum kau bisa menguasai senjatamu."

Kael mengangguk meski pikirannya masih dibayangi oleh bayangan keluarga dan desa yang hancur. Setiap kali ia memejamkan mata, ia bisa melihat darah yang mengalir, tawa kejam bandit-bandit itu, terutama pemimpin mereka yang bertato kalajengking merah. Bayangan itu selalu kembali menghantuinya, mendorongnya untuk berlatih lebih keras lagi.

"Hari ini, kita akan memulai dengan dasar-dasar keseimbangan," kata Kakek Ling, mengarahkan Kael ke sebuah batu besar yang datar. "Keseimbangan adalah kunci dari semua teknik pedang. Jika kau tidak seimbang, kau akan kalah bahkan sebelum pedangmu menyentuh musuh."

Kael menaiki batu tersebut dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya seperti yang diperintahkan. Namun, pikirannya yang terus-menerus dipenuhi oleh dendam membuatnya sulit fokus. Setiap kali ia mencoba untuk tenang, bayangan keluarga dan desanya yang hancur kembali menyeruak.

"Tenangkan pikiranmu, Kael," ujar Kakek Ling dari bawah. "Aku bisa melihat api di matamu, tetapi kau tidak bisa bertarung dengan hati yang penuh kemarahan. Kau harus belajar mengendalikan emosimu."

Kael mencoba, tetapi emosinya tetap liar. Ia merasa seolah-olah setiap latihan ini adalah buang-buang waktu. “Apa gunanya semua ini?” pikirnya, frustrasi. “Aku hanya ingin menjadi kuat, agar aku bisa membalas dendam!”

Akhirnya, amarahnya meluap. Kael melompat turun dari batu itu, mengayunkan pedang kayunya ke segala arah. Serangannya cepat dan kuat, tetapi tanpa arah yang jelas. Setiap pukulan penuh dengan kebencian yang tak terkendali. Ia mengayunkan pedang kayunya dengan liar, seolah-olah bayangan pria bertato kalajengking merah ada di hadapannya.

Kakek Ling menyaksikan dari kejauhan, tak berkata sepatah kata pun. Ia membiarkan Kael melampiaskan amarahnya, sampai akhirnya Kael kehabisan tenaga, terjatuh di tanah sambil terengah-engah. Tetesan keringat mengalir di wajahnya, sementara dadanya naik-turun dengan cepat.

"Kau sudah selesai?" tanya Kakek Ling dengan nada tenang.

Kael tak menjawab, hanya menunduk, menggenggam pedangnya dengan lemah. Ia merasa bodoh, merasa bahwa semua upayanya sia-sia. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi pendekar jika ia tak bisa mengendalikan emosinya sendiri?

Kakek Ling mendekatinya, berdiri di samping Kael yang masih terduduk di tanah. “Apa yang kau rasakan sekarang?” tanya Kakek Ling dengan lembut.

"Frustrasi," jawab Kael, suaranya parau. "Aku merasa tidak ada yang berubah. Aku tetap lemah. Aku hanya ingin balas dendam... tapi aku tak tahu caranya."

Kakek Ling tersenyum tipis, kemudian menepuk bahu Kael dengan lembut. “Kau tidak lemah, Kael. Tapi kau tidak akan pernah bisa menjadi kuat jika kau terus membiarkan amarah menguasaimu. Pedang, jika digunakan dalam kemarahan, hanya akan menghancurkanmu. Ia harus dipandu oleh ketenangan, oleh pikiran yang jernih.”

Kael terdiam, menyerap kata-kata itu. Di dalam hatinya, ia tahu Kakek Ling benar. Ia tak bisa terus-menerus dikuasai oleh amarah, meskipun amarah itulah yang selama ini memberinya kekuatan untuk bertahan.

***

Hari-hari berlalu, dan Kael mulai mengubah cara pandangnya. Meski dendamnya masih membara, ia berusaha untuk mengikuti ajaran Kakek Ling. Ia mulai memahami bahwa jalan pedang bukan hanya soal kekuatan, tapi juga soal pengendalian diri. Latihan keseimbangan, ketepatan, dan konsentrasi menjadi bagian dari rutinitasnya. Setiap hari, ia melatih tubuh dan pikirannya, mencoba mengusir amarah yang masih menghantui.

Kakek Ling bukan hanya pendekar pedang biasa. Kael segera menyadari bahwa kakek tua yang menolongnya itu memiliki keahlian luar biasa. Setiap gerakan yang diajarkannya penuh presisi, dan setiap kali Kael melakukan kesalahan kecil, Kakek Ling dengan tenang menunjukkan cara memperbaikinya. Kael tidak pernah menyangka bahwa seseorang seusia Kakek Ling bisa bergerak dengan begitu lincah dan kuat, seolah-olah usianya tidak mempengaruhi kemampuannya sedikit pun.

Selama bulan-bulan pelatihan, tubuh Kael mulai berubah. Rasa sakit yang dulu dia rasakan dari luka-lukanya kini tergantikan oleh kekuatan yang tumbuh seiring waktu. Kakek Ling melatihnya tidak hanya dalam hal kemampuan fisik, tetapi juga mental. Setiap hari, mereka melakukan meditasi, membangun keseimbangan antara jiwa dan tubuh. Meskipun di dalam hati Kael, dendamnya terus membara, dia merasa sedikit demi sedikit lebih tenang. Namun, tekadnya tidak pernah goyah.

Suatu hari, setelah sesi latihan yang melelahkan, Kael berjalan sendirian di hutan untuk mencari ketenangan. Tanpa sengaja, dia tersesat lebih dalam dari biasanya. Langkah-langkahnya membawanya ke sebuah tempat yang asing—sebuah gua tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Kael merasa ada sesuatu yang aneh dengan gua itu, seolah ada aura misterius yang memanggilnya masuk.

Dengan rasa ingin tahu yang tak tertahankan, Kael memasuki gua tersebut. Di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang tak pernah dia duga: sebuah pedang tua berkarat tergeletak di atas altar batu, seolah telah menunggu seseorang untuk menemukannya. Pedang itu tampak kuno, dengan ukiran naga di gagangnya, meskipun lapisan karat membuatnya sulit dilihat dengan jelas. Kael merasa ada sesuatu yang istimewa dari pedang ini, seolah pedang tersebut memiliki kekuatan tersembunyi.

Kael memutuskan untuk membawa pedang itu pulang.

“Kek, Aku menemukan pedang yang aneh.” Kael menatap Kakek Ling, matanya dipenuhi tanda tanya. Sambil menunjukan pedang  yang baru saja ia temukan.

Meskipun tampak berkarat, ia yakin bahwa pedang ini menyimpan rahasia yang lebih besar dari yang terlihat. Ketika dia kembali ke gubuk, Kakek Ling langsung mengenali pedang itu. Ekspresi wajahnya berubah, antara terkejut dan waspada.

“Itu… Pedang Naga,” bisik Kakek Ling dengan nada serius.

Kael mengerutkan dahi. “Pedang Naga? Apa maksudnya, Kakek?”

Kakek Ling mendekati pedang itu, matanya tak lepas dari ukiran naga di gagangnya. “Pedang ini pernah dimiliki oleh raja terdahulu. Sebuah pedang yang memiliki kekuatan luar biasa, tapi juga penuh dengan tanggung jawab besar. Pedang ini hilang sejak lama, dan sekarang kau yang menemukannya.”

Kael tertegun. Ia pernah mendengar cerita tentang Pedang Naga dari desas-desus dan dongeng-dongeng yang diceritakan di desanya. Pedang itu konon memiliki kekuatan besar dan hanya bisa dikuasai oleh pendekar yang memiliki hati dan tekad yang murni. Tapi ia tahu, jika tekadnya hanya untuk balas dendam. Ia sendiri tak yakin bisa menggunkan pedang itu.

"Pedang ini terlalau berharga untuk aku miliki," ucap Kael merasa tak pantas.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Pendekar Pedang Naga   3. Pedang Naga

    Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat. “Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas d

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   4. Pertarungan Dengan Bandit

    Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   5. Akademi Pedang Kerajaan

    Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   6. Surat Rekomdasi asli atau palsu

    Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-22
  • Pendekar Pedang Naga   7. Izin Masuk

    Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-23
  • Pendekar Pedang Naga   8. Tingkat Kekuatan

    Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-26
  • Pendekar Pedang Naga   9. Pembagian Kelas

    Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-01
  • Pendekar Pedang Naga   10. Tantangan Duel

    Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-02

บทล่าสุด

  • Pendekar Pedang Naga   79. Hari-hari Yang Sulit

    Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han

  • Pendekar Pedang Naga   78. Terget Utama Musuh

    Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu

  • Pendekar Pedang Naga   77. Kalajengking Merah

    Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se

  • Pendekar Pedang Naga   76. Misi Selanjutnya

    Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk

  • Pendekar Pedang Naga   76. Dua Pilihan Sulit

    Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u

  • Pendekar Pedang Naga   75 Kuil Kuno Selanjutanya

    Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael

  • Pendekar Pedang Naga   73. Kuil kuno dan Bayangan Hitam

    Senja hampir merayap ketika Kael dan Arsel akhirnya tiba di gerbang utama Akademi Pedang. Langit berwarna jingga keemasan, seolah menyambut kepulangan dua pendekar muda yang membawa lebih dari sekadar debu perjalanan. Di tangan mereka—dan dalam ingatan mereka—tersimpan serpihan penting tentang ancaman yang lebih besar dari sekadar bandit biasa.Saat mereka turun dari kuda, penjaga gerbang langsung membuka jalan. Salah satu murid senior segera berlari ke dalam, memberi tahu para pengajar bahwa Kael dan Arsel telah kembali.Tak butuh waktu lama sebelum mereka diantar langsung ke ruang Guru Besar.Di ruangan yang tenang dan dingin itu, Kael meletakkan gulungan catatan dan potongan artefak dari kuil yang mereka temukan di atas meja batu.“Ini bukan kuil utama,” ucap Kael. “Tapi cukup untuk memberi gambaran tentang pola gerakan mereka. Ada lebih dari satu tempat yang dipakai kelompok bayangan hitam. Dan… mereka tampaknya sudah merancang jaringan kuil gelap jauh hari sebelumnya.”Guru Besar

  • Pendekar Pedang Naga   72. Menghancurkan Kuil

    Dengan segenap kekuatan, Kael dan Arsel mengerahkan segala yang mereka miliki. Ruangan tempat ritual berlangsung berubah menjadi medan pertempuran sengit. Api kecil dari ledakan awal masih membakar reruntuhan altar, menciptakan cahaya berkedip yang membuat bayangan menari-nari di dinding batu.Kael maju dengan sigap, menangkis serangan sihir dari salah satu penyihir dengan gerakan pedangnya yang cepat. Meskipun pedang naga hitam belum kembali sepenuhnya, kekuatan sejatinya sudah terasah—tubuhnya bergerak seperti air, mengikuti naluri dan pengalaman yang telah ia tempa selama ini.Di sisi lain, Arsel menebas musuh dengan pedang naga emas yang bersinar terang di tengah gelap. Cahaya dari pedangnya seperti mengusir keputusasaan yang menyelimuti ruangan. Ia tak membiarkan satu pun serangan musuh mengenai Kael—mereka saling menutup celah, saling melindungi.“Kita harus hancurkan simbol utama di tengah ruangan itu!” teriak Kael sambil menunjuk lingkaran sihir berwarna merah gelap di lantai.

  • Pendekar Pedang Naga   71. Markas Musuh

    Sinar senja mulai memudar di balik barisan pepohonan rimbun yang melindungi perkemahan mereka. Udara terasa dingin, namun bukan hawa malam yang membuat Kael merasa berat. Ia duduk bersandar pada batang pohon tua, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai dilahap kegelapan."Kita udah kumpulin cukup info. Tapi tetap aja… tempat itu bisa jadi jebakan," ucap Kael pelan, matanya tetap menatap lurus seolah sedang mencoba membaca isi kegelapan malam. Dalam pikirannya, peta kuil dan informasi samar tentang pergerakan kelompok Bayangan Hitam terus berputar.Arsel berdiri di dekat api unggun kecil, tangannya sibuk mengasah ujung tombak cadangan. Ia tak langsung menjawab, tapi ketika suaranya terdengar, itu penuh tekad. "Aku tahu. Tapi kalau kita nunggu lebih lama, mereka bisa pindah lagi. Kita harus ambil risiko."Kael menoleh, menatap Arsel dengan sedikit kelelahan. "Kau selalu bicara soal risiko, tapi kadang aku bingung, Kael… kau sebenarnya punya rencana matang, atau kau hanya mengandal

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status