Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.
Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya. "Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian. Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.” Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan. "Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka. Tapi aku hampir kalah karena jumlah mereka cukup banyak,” jelas Kael yang masih banyak kekurangan dalam bertarung. Kakek Ling menatap Kael dengan sorot mata tajam, tetapi penuh kebijaksanaan. "Pengalamanmu dalam bertarung masih kurang, Kael. Aku sudah mengajarkan semua jurus pedang yang kumiliki padamu, tapi itu saja tidak cukup. Kau harus terus berlatih dan meningkatkan kekuatan tenaga dalammu. Lagi pula, pedang Naga itu... sejak hari itu, ia tidak menunjukkan reaksi apa pun." Kael mengepalkan tangannya. Dia menyadari betul kelemahannya, dan itu membuatnya semakin bersemangat untuk menjadi lebih kuat. Dengan suara penuh tekad, ia berkata, "Kek, bolehkah aku mendaftar di Akademi Pedang Kerajaan? Mungkin di sana aku bisa mengasah pedang itu lebih jauh." Kakek Ling menghela napas pelan, seolah menimbang permintaan itu dalam hatinya. Setelah beberapa saat, dia mengangguk. "Jika itu sudah menjadi keinginanmu, Kakek tidak akan melarangmu." Mata Kael berbinar. Ia segera membungkuk hormat. "Terima kasih, Kek! Aku janji akan belajar dengan sungguh-sungguh." Kakek Ling menepuk bahu muridnya dengan lembut. "Aku yakin kau bisa menjadi pendekar hebat. Tapi ingat, jangan hanya terpaku pada pelajaran di akademi. Jika ada kesempatan, carilah juga informasi yang kau butuhkan." Kael mengangguk mantap. "Tentu saja! Itu adalah tujuan utamaku. Setelah aku berhasil membangkitkan kekuatan Pedang Naga, aku ingin mencari lebih banyak informasi tentang orang yang memiliki tato kalajengking." Kakek Ling tersenyum samar, tetapi sorot matanya menyiratkan keteguhan. "Kakek akan selalu mendukungmu, Kael. Bagiku, kau sudah seperti murid sejati. Pergilah dan temukan apa yang kau cari, tapi jangan pernah melupakan ajaran Kakek." Kael bersiap mengemasi barang-barangnya. Malam ini adalah malam terakhirnya bersama Kakek Ling sebelum ia turun gunung. Waktu terasa begitu cepat berlalu—tiga tahun telah ia habiskan berlatih pedang di bawah bimbingan sang kakek. Kini saatnya ia mengasah kemampuannya lebih jauh, bukan hanya untuk menjadi lebih kuat, tetapi juga demi satu tujuan pasti: membalas dendam. Selama ini, Kael terus mencari informasi tentang para bandit, namun orang yang ia cari masih belum ditemukan. Ia berharap di Akademi Pedang Kerajaan nanti, akan ada lebih banyak informasi yang bisa membantunya menyingkap kebenaran. Saat tengah tenggelam dalam pikirannya, suara berat Kakek Ling membuyarkan lamunannya. "Sudah larut malam, kenapa kau belum tidur?" Kael menoleh ke arah kakeknya, lalu menghela napas. "Belum, Kek. Aku masih mengumpulkan informasi, tapi sejauh ini belum ada satupun bandit dengan tato kalajengking." Kakek Ling mengusap janggutnya, matanya menyipit penuh pemikiran. "Aku rasa meningkatnya kejahatan di kerajaan akhir-akhir ini ada hubungannya dengan para bandit itu." Kael mengangguk. "Aku juga berpikir begitu, Kek. Akademi mungkin bisa memberikan lebih banyak informasi." Kakek Ling menatap Kael lekat-lekat. "Kau harus tetap berhati-hati. Dari yang kulihat, mereka bukan sekadar kelompok bandit biasa. Aku yakin mereka adalah organisasi besar. Setiap tahun keberadaan mereka semakin terasa—bahkan semakin ditakuti." Kael mengepalkan tangannya, matanya menyala penuh tekad. "Aku akan selalu mengingat pesan Kakek." Kakek Ling menghela napas panjang, lalu berkata, "Tidurlah. Besok kau harus berangkat, dan kau butuh stamina yang cukup." Kael mengangguk patuh. Setelah menatap Kakek Ling untuk terakhir kali malam itu, ia berbaring dan mencoba memejamkan mata. *** Pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Kael bangun dari tidurnya. Udara gunung yang dingin menusuk kulit, namun semangatnya jauh lebih membara. Hari ini adalah hari keberangkatannya menuju Akademi Pedang Kerajaan Zarkan. Di luar pondok, Kakek Ling sudah menunggunya. Sosok tua itu berdiri tegap dengan tangan bersedekap di depan dada, matanya menatap langit timur yang mulai berpendar keemasan. "Kau sudah siap?" tanyanya tanpa menoleh. Kael mengangguk, lalu menyesuaikan posisi pedang di pinggangnya. "Ya, Kek. Aku sudah siap." Kakek Ling berbalik, menatap muridnya untuk terakhir kalinya sebelum perpisahan. "Ingatlah, perjalananmu di akademi bukan hanya soal berlatih pedang. Gunakan waktumu dengan baik, cari informasi yang kau butuhkan, dan jangan mudah terprovokasi. Dunia di bawah sana berbeda dengan kehidupan di gunung." Kael menatap kakeknya dengan penuh hormat. "Aku mengerti, Kek. Aku akan berhati-hati." Sang kakek menghela napas sebelum merogoh sesuatu dari dalam jubahnya. Ia mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi koin dan menyerahkannya pada Kael. "Ini untuk bekal perjalananmu. Jangan boros, dan selalu waspada." Kael menerima kantong itu dengan perasaan hangat di dadanya. "Terima kasih, Kek. Aku akan menjaga diriku." Kakek Ling mengangguk. "Pergilah. Jangan menoleh ke belakang." Dengan satu tarikan napas, Kael melangkah maju, meninggalkan pondok tempatnya berlatih selama tiga tahun terakhir. Langkahnya mantap, penuh keyakinan. Perjalanannya menuju Akademi Pedang Kerajaan Zarkan baru saja dimulai. Di belakangnya, Kakek Ling berdiri diam, menatap punggung muridnya yang semakin menjauh. Kael melangkah penuh semangat menuruni gunung, menikmati udara segar pagi yang menyegarkan pikirannya. Semangatnya seketika berubah menjadi kewaspadaan saat sebuah anak panah melesat dengan kecepatan tinggi, nyaris mengenai dirinya. Dengan sigap, ia melompat ke samping, menghindari proyektil tersebut sebelum menghunus pedangnya. Matanya dengan cepat mengamati sekitar, mencari sumber serangan. Di kejauhan, ia melihat sebuah kereta kuda yang dikepung oleh sekelompok pria bersenjata. Anak panah tertancap di kayu kereta, di tanah, dan bahkan di tubuh beberapa pengawal yang berusaha mati-matian mempertahankan diri. Pertarungan sengit tengah terjadi. Para bandit, dengan pakaian lusuh dan wajah bengis, menyerang tanpa ampun. Mereka melompat dari balik semak-semak dan pepohonan, menebas para pengawal yang mencoba melindungi kereta. Sementara itu, dari dalam kereta terdengar suara ketakutan, menandakan ada seseorang yang berharga di dalamnya. Kael menyipitkan mata, tangannya semakin erat menggenggam gagang pedangnya. Ia bisa saja mengabaikan kejadian ini dan melanjutkan perjalanannya ke akademi, tetapi nalurinya berkata lain. “Bandit...? Apa mungkin mereka memiliki hubungan dengan kelompok yang kucari?"Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa
Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran
Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain
Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene
Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek
Farel terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah, tetapi alih-alih kesal, ia malah tersenyum lebar."Seperti biasa… Aku belum pernah bisa melawanmu, Kakak," katanya, masih tersengal. "Tapi serius… kenapa kau malah di kelas rendah?"Dia menoleh ke Arsel, yang masih berdiri tegak, nyaris tanpa tanda-tanda kelelahan setelah duel sengit barusan. Mata Arsel tetap dingin, tetapi ada kilatan sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa Kael pahami sepenuhnya."Jangan panggil aku seperti itu di sini," ujar Arsel pelan, nadanya tenang namun penuh ketegasan.Kael membelalakkan mata, terkejut dengan kata-kata Arsel. Ia baru sadar kalau selama ini Farel tak pernah memanggil Arsel Kakak.Farel tertawa kecil, mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi itu tidak mengubah fakta, kan? Dengan kekuatanmu, kau seharusnya ada di kelas atas."Dia menatap Arsel dengan penuh pertanyaan, tetapi Arsel hanya menghela napas pelan sebelum berbalik, berjalan menjauh seolah duel tadi tidak ada art
Arsel berhenti sejenak, menoleh sekilas ke arah Farel, lalu mendengus pelan sebelum kembali berjalan. Arsel menghela napas panjang, jelas kesal. Biasanya, Farel bukan tipe yang bawel atau terlalu ikut campur, tapi hari ini dia terus menempel seperti lintah. Ia berhenti tiba-tiba, membuat Kael yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti. Farel, yang masih bersikap santai, nyaris menabraknya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Farel?" suara Arsel terdengar lebih dingin dari biasanya. "Biasanya kau tidak sepeduli ini." Farel tetap tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu di balik senyumnya—sesuatu yang sulit ditebak. "Aku hanya penasaran," katanya, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. "Kau selalu menyembunyikan sesuatu, dan aku ingin tahu apa yang kau rencanakan." Arsel menatapnya tajam. "Aku tidak merencanakan apa pun." Farel mendengus. "Aku tidak percaya." Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Kael hanya berdiri di tengah, merasa seperti orang luar dalam pertengkaran du
Suasana tegang memenuhi ruangan. Kael bisa merasakan udara di sekitarnya terasa lebih berat, seolah ruangan ini dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat. Arsel tetap tenang seperti biasa, berdiri dengan sikap santai, tapi Kael tahu dia juga sedang waspada. Guru Besar mengamati mereka berdua dengan tatapan tajam, lalu akhirnya berbicara. "Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku memanggil kalian ke sini," katanya, suaranya dalam dan berwibawa. Kael menelan ludah, tidak berani menjawab. Guru Besar melanjutkan, "Kael, kau mungkin belum menyadarinya… tapi keberadaanmu di akademi ini lebih dari sekadar seorang murid tanpa roh pedang." Kael terkejut. "Apa maksudnya, Guru?" Guru Besar tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Arsel dengan tatapan penuh arti. "Dan kau, Arsel… kau sudah terlalu lama menyembunyikan sesuatu." Kael melirik Arsel dengan cepat, seperti yang sudah ia duga, wajah Arsel tetap tenang, meskipun sorot matanya sedikit berubah. "Jadi," Guru Besar bersa
Kael menegang. Pertanyaan itu langsung menusuk ke inti pikirannya. Bagaimana Asmar tahu? Dengan sisa tenaganya, Kael mencoba duduk tegak, meski tubuhnya masih terasa lemah. Matanya menatap tajam ke arah lelaki paruh baya itu. "Apa maksudmu?" Asmar hanya tersenyum tipis. "Aku sudah lama mengamati akademimu, Nak. Dan serangan tadi malam bukan sekadar serangan acak. Itu adalah ujian." Kael mengernyit. "Ujian?" Asmar mengangguk. "Para penyerang itu tidak datang untuk menghancurkan akademimu. Mereka datang untuk mengukur kekuatan murid-murid di sana… dan mencari seseorang yang cukup kuat untuk tujuan mereka." Jantung Kael berdegup lebih cepat. "Mereka… sedang mencari seseorang?" "Ya," jawab Asmar dengan tenang. "Dan kau salah satu yang mereka incar." Ruangan terasa semakin sunyi. Kael ingin menyangkal, tapi semuanya mulai masuk akal. Serangan mendadak, cara musuh menghilang begitu cepat, pengkhianat di dalam akademi… semuanya terasa seperti bagian dari rencana yang lebih b
Kael dan Arsel berdiri diam di tengah kegelapan, mencoba mencari tanda-tanda kehadiran sosok yang mereka kejar. Namun, bayangan itu benar-benar menghilang—seolah-olah ditelan oleh malam. "Tidak mungkin," bisik Arsel. "Aku yakin dia ada di sini beberapa detik yang lalu." Kael menggenggam pedangnya lebih erat. "Ini bukan pertama kalinya seseorang menghilang begitu saja. Kita sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak biasa." Arsel mengangguk. "Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati." Mereka berdua mundur perlahan, memutuskan untuk kembali ke kamar sebelum seseorang menyadari keberadaan mereka di luar asrama. Namun, tepat saat mereka berbalik, sesuatu menarik perhatian Kael. Di tanah, di tempat bayangan itu menghilang, ada secarik kain hitam tersangkut di ranting semak. Kael berlutut dan mengambilnya. Kain itu terasa kasar, seolah berasal dari jubah berat yang sering digunakan untuk perjalanan jauh atau penyamaran. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah bau samar
Di akademi, persiapan untuk Kompetisi Antar Akademi semakin intens. Setiap tingkat diharuskan mengajukan perwakilan terbaik mereka untuk bertanding dalam berbagai cabang—pertarungan, strategi, dan kecepatan berpikir. Para murid sibuk berlatih, aula utama dipenuhi suara dentingan senjata, percikan energi sihir, serta diskusi serius tentang taktik dan strategi.Kael, yang sebelumnya terganggu oleh pikirannya tentang para bandit, mencoba fokus. Ia tahu bahwa kompetisi ini adalah kesempatan besar—bukan hanya untuk membuktikan kemampuannya, tetapi juga untuk menjadi lebih kuat."Baiklah, semua berkumpul!" suara Guru Besar menggema di halaman akademi, memanggil para murid terbaik dari setiap tingkat. "Kami akan mengumumkan siapa saja yang terpilih untuk mewakili akademi dalam kompetisi tahun ini!"Kerumunan langsung hening. Semua menahan napas, menunggu pengumuman itu.Kael mengepalkan tangannya. Apakah ia cukup layak untuk dipilih? Atau justru harus menonton dari pinggir lapangan?Guru Bes
Malam itu, mereka kembali ke asrama. Mereka tidak banyak bicara, hanya beristirahat setelah hari yang melelahkan. Kael berdiri di dekat jendela, menatap bulan. Pertandingan Antar Akademi sudah dekat. Latihan mereka mungkin telah berakhir, tetapi pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.Guru besar memberikan waktu untuk bersiap. Kael memanfaatkan waktu luang untuk kembali mencari informasi tentang para bandit. Sudah lama ia tidak pergi ke tempat itu, dan pikirannya terus dipenuhi rasa penasaran. Saat ia bersiap untuk pergi, Arsel, sahabatnya, memperhatikannya dengan curiga. "Kau mau ke mana, Kael?" tanyanya, menyilangkan tangan di dada. "Ke tempat kemarin, di gang dekat pasar," jawab Kael sambil menyesuaikan sarung pedangnya. Arsel mengerutkan kening. "Apa kau masih menyelidiki para bandit?" Kael mengangguk. "Iya. Aku penasaran, jadi aku akan kembali ke sana." Arsel mendesah, lalu tersenyum tipis. "Aku ikut." Tanpa menunggu persetujuan, ia sudah menyambar senjatanya
Hari-hari berikutnya menjadi neraka bagi Kael dan timnya. Setiap pagi, mereka harus berlari melintasi gunung di belakang akademi. Siang hari dihabiskan dengan latihan fisik brutal, mengangkat batu besar, menahan postur bertarung selama berjam-jam, dan serangan tanpa henti ke balok kayu hingga tangan mereka mati rasa. Sore harinya, latihan teknik dimulai. Guru Besar menghadapkan mereka pada berbagai skenario pertempuran—melawan banyak musuh, menghadapi tekanan tanpa istirahat, bahkan pertarungan dalam kegelapan. "Dalam Pertandingan Antar Akademi, tidak ada yang akan menyesuaikan diri dengan kelemahan kalian," kata Guru Besar. "Jika ingin menang, kalian harus bisa bertarung dalam kondisi apa pun." Di hari kelima, Kael mulai merasakan batas fisiknya. Kakinya nyaris tidak bisa berdiri, tangannya gemetar, dan napasnya terasa berat. Guru Besar tidak membiarkannya berhenti. "Bangun, Kael. Lawanmu belum tumbang." Kael terhuyung, tetapi ia memaksa tubuhnya berdiri. Lawan di depa
Saat sorakan kemenangan masih menggema, Guru Besar berdiri dari tempat duduknya. Tatapannya terfokus pada Kael dan timnya. Para murid lain mungkin hanya melihat sekelompok anak berbakat yang memenangkan kompetisi, tetapi Guru Besar melihat lebih dari itu. Mereka bukan hanya kuat—mereka memiliki potensi yang luar biasa. Terutama Kael. "Aku harus mengawasi mereka lebih dekat," gumamnya. Tanpa menunggu lama, Guru Besar turun ke arena. Kael dan timnya baru saja selesai merayakan kemenangan mereka ketika suasana tiba-tiba menjadi hening. Semua murid menunduk hormat saat Guru Besar berjalan mendekati mereka. Kael menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakan. "Kael. Arsel. Rael. Daren." Suara Guru Besar menggema di seluruh arena. "Kalian telah menunjukkan sesuatu yang tidak dimiliki murid lain—kerja sama, strategi, dan tekad yang kuat." Kael dan yang lainnya saling berpandangan, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. Lalu, Guru Besar menatap me
Sebelum Kael bisa mengatakan apa pun, Guru Besar menarik napas panjang dan mengurangi tekanannya. "Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan… tapi ingat satu hal." Ia menatap Kael dengan serius. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Kael menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini peringatan… atau ancaman. Satu hal yang pasti—Guru Besar mulai curiga. Dan itu berarti… Kael harus lebih berhati-hati mulai sekarang.Kael berjalan kembali ke ruang istirahat dengan pikiran yang penuh. Percakapan dengan Guru Besar tadi masih terngiang di kepalanya. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Apa maksud dari peringatan itu? Saat ia masuk ke ruangan, Arsel langsung menghampirinya. "Hei, apa yang Guru Besar inginkan?" tanyanya penasaran. Rael dan Daren juga menoleh, menunggu jawaban. Kael menghela napas dan duduk di kursinya. "Tidak banyak. Dia hanya pena
Pemimpin Serigala Hitam terhuyung setelah serangan Kael menghantamnya dengan telak. Teknik bayangan yang menjadi andalan mereka mulai menghilang! Sorakan penonton menggema di seluruh arena. Pertarungan belum sepenuhnya selesai. Dua anggota Serigala Hitam masih berdiri, meskipun mereka kini kehilangan keunggulan taktik mereka. Kael tidak memberi mereka kesempatan untuk pulih! Dengan kecepatan luar biasa, ia menyusul salah satu lawan yang mencoba kabur ke belakang. "Kau tidak bisa lari!" Kael melompat, mendaratkan serangan keras ke dada lawannya! BRUGH! Lawan itu terpental keluar arena. "Peserta Serigala Hitam tereliminasi!" seru wasit. Kini hanya tersisa satu lawan terakhir. Sisa anggota tim Serigala Hitam menggertakkan giginya, matanya penuh ketakutan. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa seluruh timnya telah tumbang. "Tsk… Aku tidak akan kalah tanpa perlawanan!" teriaknya sambil menghunus senjatanya, sebelum ia sempat bergerak—Kael sudah ada di hadapannya! "Te
Serangan tim Serigala Hitam semakin intens! Mereka menggunakan ilusi, serangan bayangan, dan kecepatan luar biasa untuk mengacaukan formasi tim Kael. Kael merasa kesulitan—lawannya terus muncul dan menghilang, membuatnya sulit membaca arah serangan berikutnya. "Jika terus seperti ini, kita akan kalah tanpa sempat menyerang balik!" pikir Kael. Arsel menghindari serangan yang datang dari belakangnya dan berteriak, "Jangan terpancing! Mereka ingin kita menyerang asal-asalan!" Daren tetap tenang, matanya fokus membaca pola serangan musuh. "Ada jeda setengah detik setiap kali mereka berteleportasi… itu celahnya." Kael langsung menangkap maksud Daren. "Baik, kita ubah strategi!" Saat salah satu anggota Serigala Hitam muncul untuk menyerang, Kael berpura-pura terpojok. Lawan itu tertipu dan langsung maju untuk menyelesaikan serangan—tapi itu kesalahan fatal. Rael, yang sudah bersembunyi di bayangan, langsung menyerang dengan cepat! "Kena kau!" Serangan Rael menghantam tel