Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 6. Surat Rekomdasi asli atau palsu

Share

6. Surat Rekomdasi asli atau palsu

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-22 23:44:57

Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran.

Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan.

Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya."

Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram."

Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?"

"Akademi kerajaan," jawab Kael singkat.

"Sepertinya tujuan kita sama," ujar pemuda itu. "Kenalkan, aku Arsel, dan ini adikku, Farel. Kami juga akan ke akademi kerajaan."

Kael melirik barang bawaan mereka yang tampak berserakan. "Bagaimana dengan barang-barang kalian?"

Arsel menghela napas. "Sepertinya masih utuh, tapi kereta kuda kami rusak parah. Para pengawal pun terluka."

Arsel terdiam sejenak, berpikir cepat. Setelah beberapa saat, ia mengumpulkan beberapa orang untuk membawa sebagian barang bawaan mereka kembali ke rumah. Kini hanya sedikit yang tersisa untuk mereka bawa sendiri. Farel tetap diam, hanya mengikuti keputusan kakaknya.

"Ayo, kita berangkat bersama," kata Arsel akhirnya.

Kael mengangkat bahu. Mau bersama atau sendiri, baginya tak ada bedanya. Tujuan mereka sama.

Perjalanan menuju akademi tidak memakan waktu lama. Sesampainya di gerbang akademi kerajaan, Kael mendongak, matanya membelalak. Bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapannya membuatnya terpukau. Ia baru pertama kali menginjakkan kaki di luar tempat asalnya, dan kini ia dihadapkan pada kemegahan yang belum pernah ia bayangkan.

Di sekelilingnya, para murid dari berbagai penjuru negeri berdatangan, Kael yang mematung di depan gerbang membuat Arsel mendekat.

“Ayo masuk, kita harus bergegas!” Arsel menarik tangan Kael, membuat Kael sadar ia segera meraih tangan Farel.

Tapi dengan cepat Farel mengibaskan tangannya. Ia tak mau digandeng oleh Farel. Melihat itu Kael hanya tersenyum. “Anak yang penuh misterius,” baginya.

Antrian panjang terlihat di depan gerbang. Segera saja Kael berbaring di belakang Arsel dan Farel yang tetap dia dibelakang Kael.

Kondisi itu membuat Kael tak nyaman, tapi ia sadar mereka yang baru saja bertemu tentu membuat Farel tidak nyaman.

Antrian panjang tak membuat orang mengeluh semua penuh semangat menunggu giliran. Akhirnya tiba giliran Arsel yang akan masuk.

Arsel mengambil surat rekomendasi yang sudah ia siapakan sebelumnya. Melihat ia mata penjaga berbinar dan mempersilakan Arsel dengan senyuman.

Kini giliran Kael yang diperiksa, ia menunjukkan surat rekomendasi dari Kakek Ling sebagai surat pendaftaran.

Melihat itu pengawal tampa tidak senang, “Anak kampung, apa kau tidak tahu tempat ini hanya untuk pendekar hebat,” ucap penjaga pintu sekaligus orang yang menerima pendaftaran, menghina Kael dengan keras hingga semua orang yang mengantri melihat Kael dengan tatapan merendahkan.

“Anak kampung bagaimana bisa masuk sini,” suara bisik-bisik yang terdengar meragukan Kael membuat Kael kecewa.

Tapi ia tak menyerah saat dihina begitu saja. “Aku sudah mengetes kemampuan pedang itu dan ini rekomendasi dari guruku,” jelas Kael menunjuk surat itu pada yang lain.

Kael tahu semua orang pasti paham karena mereka membawa surat yang sama, hanya asal tempat saja yang berbeda.

Farel yang ada di belakang Kael jelas melihat surat rekomendasi itu dengan muka datar.

Pengawal memandang sebelah mata, Melihat Kael dari daerah terpencil. Membuat mereka menertawakan Kael.

“Hanya guru kampung tak cukup untuk membuatmu masuk akademi ini,” kata penjaga mendorong Kael untuk tidak masuk.

Seketika Kael keluar dari barisan karena didorong dengan keras oleh penjaga, bahkan ia tak sempat melangkah maju.

“Pergi saja dasar anak kampung menghalangi kami saja,” orang-orang mulai menghina dengan berani.

Kael menunduk memperhatikan surat rekomendasinya, tak ada yang salah dari suratnya, hanya tempat dia berasal dari daerah terpencil.

“Apa aku cari rekomendasi lain,” batin Kael tak kehabisan akal, daripada ia di sana hanya mendapatkan cacian dan olok-olokan dari orang-orang yang tak menyenangkan.

“Sungguh mengecewakan akademi besar kerajaan berlaku tidak adil!” ucap Farel membuat semua orang terdiam dan melihat ke arahnya.

Kael yang tadinya berniat pergi juga kaget mendengar suara Farel, orang yang sedari tadi diam dan acuh kini bersuara keras.

“Apa maksudmu, kami hanya memasukan murid yang pantas saja di akademi ini,” bantah penjaga bersikeras membenarkan apa yang mereka sudah lakukan.

“Aku rasa dia pantas, kalian saja tidak mengecek surat rekomendasi itu,” kata Farel yang tadi melihat jelas surat rekomendasi milik Kael benar-benar asli, apalagi surat itu dibuat oleh pendekat tingkat master yang termasuk pendekar tingkat tinggi.

“Tak ada yang menjamin surat itu asli,” Penjaga itu masih tak mau mengalah dan bersikeras tidak mau menerima Kael.

Farel mengambil surat dari tangan Kael, lalu ia menunjukkan cap emas di pojok kanan, yang menunjukkan keaslian surat itu tepat di depan mata penjaga tadi, “Surat ini asli, apa kau tak melihatnya,”

Jelas hal itu membuat penjaga marah, hingga menarik tangan Farel kebelakang, posisinya terkunci membuat Arsel dan Kael maju bersama menyerang penjaga.

Arsel meraih tangan Farel yang satunya, secara bersamaan Kael memukul bagian perut penjaga itu. Keributan terjadi membuat yang lain mundur untuk menghindari konflik.

Sebilah pedang melesat dengan cepat dan mendarat di tengah-tengah keributan. Yang membuat Kael menghindar dengan cepat. Begitu juga Arsel dan Farel.

“Ada apa ribut-ribut!” Suara keras yang membuat para penjaga langsung memberi hormat.

Hal itu diikuti oleh yang lain, Kael tahu jika orang yang barusan melerai mereka bukan orang biasa, melihat para penjaga yang langsung memberi hormat.

“Maafkan kami Guru Besar, anak ini memaksa masuk,” jelas Penjaga memberitahu pada orang yang baru datang tadi.

Guru Besar adalah orang yang paling dihormati di akademi. Meski usianya sudah tidak muda. Posisinya sangat berpengaruh di akademi sebagai pemimpin tertinggi di sana.

Guru besar melihat Kael dan melihat surat rekomendasi di tanah. Ia lantas mengambilnya dan mulai membaca. Melihat penjelasan dari penjaga tadi, sepertinya ada masalah pada surat itu.

Tapi setelah lama Guru besar mengamati surat itu, membuatnya mengerutkan dahi dan melihat ke arah Kael.

Kael yang heran tak mengerti dengan tatapan Guru Besar. Arsel dan Farel berada di sebelah Kael memegang pundak Kael, mereka berdua memberikan dukungan pada Kael. Apapun yang terjadi nanti Arsel dan Farel ada dipihak Kael.

Suasana kembali hening, mereka yang ada disana seakan menantikan apa yang akan dikatakan oleh guru besar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pendekar Pedang Naga   7. Izin Masuk

    Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Pendekar Pedang Naga   8. Tingkat Kekuatan

    Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Pendekar Pedang Naga   9. Pembagian Kelas

    Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Pendekar Pedang Naga   10. Tantangan Duel

    Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Pendekar Pedang Naga   11. Hubungan Rumit

    Farel terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah, tetapi alih-alih kesal, ia malah tersenyum lebar."Seperti biasa… Aku belum pernah bisa melawanmu, Kakak," katanya, masih tersengal. "Tapi serius… kenapa kau malah di kelas rendah?"Dia menoleh ke Arsel, yang masih berdiri tegak, nyaris tanpa tanda-tanda kelelahan setelah duel sengit barusan. Mata Arsel tetap dingin, tetapi ada kilatan sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa Kael pahami sepenuhnya."Jangan panggil aku seperti itu di sini," ujar Arsel pelan, nadanya tenang namun penuh ketegasan.Kael membelalakkan mata, terkejut dengan kata-kata Arsel. Ia baru sadar kalau selama ini Farel tak pernah memanggil Arsel Kakak.Farel tertawa kecil, mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi itu tidak mengubah fakta, kan? Dengan kekuatanmu, kau seharusnya ada di kelas atas."Dia menatap Arsel dengan penuh pertanyaan, tetapi Arsel hanya menghela napas pelan sebelum berbalik, berjalan menjauh seolah duel tadi tidak ada art

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Pendekar Pedang Naga   12. Kekuatan Yang Tersembunyi

    Arsel berhenti sejenak, menoleh sekilas ke arah Farel, lalu mendengus pelan sebelum kembali berjalan. Arsel menghela napas panjang, jelas kesal. Biasanya, Farel bukan tipe yang bawel atau terlalu ikut campur, tapi hari ini dia terus menempel seperti lintah. Ia berhenti tiba-tiba, membuat Kael yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti. Farel, yang masih bersikap santai, nyaris menabraknya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Farel?" suara Arsel terdengar lebih dingin dari biasanya. "Biasanya kau tidak sepeduli ini." Farel tetap tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu di balik senyumnya—sesuatu yang sulit ditebak. "Aku hanya penasaran," katanya, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. "Kau selalu menyembunyikan sesuatu, dan aku ingin tahu apa yang kau rencanakan." Arsel menatapnya tajam. "Aku tidak merencanakan apa pun." Farel mendengus. "Aku tidak percaya." Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Kael hanya berdiri di tengah, merasa seperti orang luar dalam pertengkaran du

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Pendekar Pedang Naga   13. Mengukur Kekuatan

    Suasana tegang memenuhi ruangan. Kael bisa merasakan udara di sekitarnya terasa lebih berat, seolah ruangan ini dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat. Arsel tetap tenang seperti biasa, berdiri dengan sikap santai, tapi Kael tahu dia juga sedang waspada. Guru Besar mengamati mereka berdua dengan tatapan tajam, lalu akhirnya berbicara. "Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku memanggil kalian ke sini," katanya, suaranya dalam dan berwibawa. Kael menelan ludah, tidak berani menjawab. Guru Besar melanjutkan, "Kael, kau mungkin belum menyadarinya… tapi keberadaanmu di akademi ini lebih dari sekadar seorang murid tanpa roh pedang." Kael terkejut. "Apa maksudnya, Guru?" Guru Besar tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Arsel dengan tatapan penuh arti. "Dan kau, Arsel… kau sudah terlalu lama menyembunyikan sesuatu." Kael melirik Arsel dengan cepat, seperti yang sudah ia duga, wajah Arsel tetap tenang, meskipun sorot matanya sedikit berubah. "Jadi," Guru Besar bersa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • Pendekar Pedang Naga   14. Duel Yang Menegangkan

    Pertarungan dimulai. Kael langsung melompat mundur, matanya terkunci pada Arsel yang berdiri dengan tenang di seberangnya. Dia belum bergerak… Kael menggenggam pedangnya erat. Ia tahu, jika ia hanya menunggu, Arsel yang akan mengambil inisiatif. Dan benar saja—dalam sekejap, Arsel menghilang dari tempatnya. Cepat! Kael hanya sempat mengangkat pedangnya sebelum Arsel muncul di hadapannya, serangannya datang bagaikan kilat. CLANG! Benturan pedang terdengar nyaring, Kael terdorong ke belakang. Kekuatan Arsel jauh lebih besar dari yang ia perkirakan. Tapi Kael tidak menyerah begitu saja. Ia menyesuaikan kuda-kudanya dan berusaha membalas. Pedangnya menebas cepat, mencoba mengejar pergerakan Arsel yang nyaris tak terlihat. Sayangnya setiap serangannya meleset. Kael berusaha kerasa menghindar dan mengimbangi serangan Arsel. Arsel menghindar dengan mudah, matanya tajam, seolah sedang mengamati setiap gerakan Kael dengan penuh perhatian. Dari luar arena, para instruktur mul

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Naga   66. Api dan Bayangan

    Malam sudah turun sempurna ketika Kael dan Arsel menyusup ke tepian desa Arvind. Api dari ladang yang dibakar para bandit menyala redup di kejauhan, cukup untuk membuat siluet musuh terlihat… dan cukup untuk menyembunyikan dua sosok dalam bayang-bayangnya.“Jangan langsung menyerang,” bisik Arsel. “Kita belum tahu berapa banyak dari mereka.”Kael mengangguk. Mereka melangkah pelan di antara rumah-rumah yang hangus. Bau kayu terbakar dan hembusan angin malam menyatu dengan suara teredam tawa kasar para bandit di kejauhan. Beberapa penduduk terlihat diikat di depan balai desa. Tak ada penjaga yang terlalu waspada. Mereka terlalu percaya diri.“Mereka bukan hanya bandit… lihat simbol itu.” Arsel menunjuk salah satu bendera kecil yang tertancap di tanah—gambar ular berlingkar pada tengkorak. “Kelompok pemburu sihir. Mereka pernah muncul di perbatasan barat.”Kael merapat ke dinding. Pandangannya tajam. “Berarti kita tidak boleh sembarangan. Kalau salah langkah, warga bisa jadi sande

  • Pendekar Pedang Naga   65. Latihan Elit Akademi

    Angin dingin menerpa wajah Kael saat ia melangkah ke tengah arena batu. Di seberangnya, Arsel telah bersiap, pedang naga emas bersinar hangat, kontras dengan aura gelap yang merayap dari pedang naga hitam di tangan Kael. Di atas mereka, kristal latihan berputar perlahan, memancarkan cahaya yang membentuk lingkaran medan gravitasi tidak stabil.Guru Besar berdiri di pinggir arena, tangannya terlipat. "Latihan ini sederhana. Bertahan selama satu jam di dalam medan kacau ini… tanpa saling membunuh."Arsel melirik Kael. “Siap?” Kael mengangguk, “Kukira tidak ada latihan elit yang masuk akal.”Begitu kristal bersinar penuh, medan pun berubah.Tubuh mereka seketika ditarik ke arah yang berbeda. Kekuatan naga dalam masing-masing pedang memberontak—pedang emas mendorong, pedang hitam menarik. Langkah mereka berat, gerakan terhambat, dan koordinasi jadi mimpi buruk.“Aku ke kiri!” teriak Arsel. “Kukira ini ke tengah!” Kael membalas, meleset sepersekian detik.Seketika, ledakan kecil dari

  • Pendekar Pedang Naga   64. Menyerang Bayangan

    Beberapa hari setelah duel, Akademi menerima laporan dari wilayah utara: markas perbatasan diserang. Tapi anehnya, tidak ada tanda serangan frontal… hanya jejak kabut hitam dan tubuh-tubuh yang terbaring dalam tidur tanpa mimpi.Guru Besar memanggil Kael dan Arsel ke ruang dalam.“Kekuatan kalian sudah dilihat dunia… dan itu mengundang perhatian.”Ia menggelar gulungan tua di meja. Simbol yang sama dengan yang ada di surat Kakek Ling muncul—bayangan berbentuk tangan yang mencengkeram matahari.“Mereka yang dulu disebut sebagai *Bayangan Tertutup*… kelompok rahasia yang percaya bahwa kekacauan akan melahirkan dunia baru.”“Dan sekarang, mereka memburumu, Kael.” Tugas Rahasia PertamaKael dan Arsel ditugaskan menyelidiki perbatasan utara. Tapi kali ini, mereka tidak hanya berdua. Akademi mengirim satu tim elit: para pendekar muda, penyihir pelacak, dan bahkan satu penjaga rahasia dari istana.Namun sebelum berangkat, Guru Besar berkata kepada Kael, “Jangan hanya andalkan pedangmu. La

  • Pendekar Pedang Naga   63. Kembali Ke Akademi

    Angin musim gugur menyambut Kael saat ia melewati gerbang besar Akademi Pedang. Jubah hitamnya berkibar pelan, dan langkah kakinya mantap. Di pundaknya tergantung pedang naga hitam—bisu, namun terasa berbeda. Tidak lagi mendominasi Kael… tapi kini menyatu dengannya.Tidak banyak yang tahu apa yang terjadi di Gunung Tersembunyi. Tapi aura Kael membuat siapa pun yang melihatnya langsung diam. Ada sesuatu dalam matanya. Kedalaman. Keteguhan. Seolah ia telah menatap kegelapan—dan kembali membawa cahaya dari sana.Arsel adalah orang pertama yang menyambutnya. Ia sedang berlatih di halaman barat saat melihat sosok Kael dari kejauhan.“Akhirnya kau kembali.” Suara Arsel terdengar datar, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.Kael mengangguk. “Aku pulang.”Mereka tidak perlu banyak kata. Tapi Arsel bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Saat mereka bersalaman, ia terkejut.“Tanganmu… terasa seperti batu. Kau latihan atau bertarung melawan gunung?”Kael tersenyum kecil. “Keduanya.”Banyak

  • Pendekar Pedang Naga   62. Pertarungan Tanpa Pedang

    Pagi di gunung kembali dingin. Kabut masih menggantung rendah saat Kael membuka matanya, tubuhnya masih terasa berat, tapi jauh lebih baik. Yang pertama ia lihat adalah Kakek Ling, berdiri di depan pintu, tangan bersilang, matanya tajam seperti biasa.“Kau cukup tidur seperti batu. Sekarang saatnya kembali hidup.”Kael bangkit perlahan, duduk dengan nafas panjang.“Maaf… aku—”“Jangan minta maaf. Tapi jangan ulangi kebodohanmu juga,” potong Kakek Ling. “Kalau kau mau mati, tunggu sampai pelatihanku selesai. Baru setelah itu, kau bebas bunuh dirimu sendiri di medan perang.”Kael tersenyum kecut. Tapi ia tahu… itu bentuk perhatian. Kakek Ling mengganti metode. Kali ini bukan sekadar menggerakkan tubuh, tapi menyelaraskan kesadaran dan perasaan."Kekuatan naga hitam bukan sekadar serangan dan kekuatan kasar. Ia adalah kekuatan yang tumbuh dari bayanganmu sendiri. Kau harus belajar menyatu dengan itu—tanpa dikendalikan olehnya."Kael berjalan seorang diri menyusuri hutan di kaki gunung,

  • Pendekar Pedang Naga   61. Tamu Tak Diundang

    .Tak lama kemudian, sosok berjubah kelabu muncul dari balik kabut. Langkahnya tenang, senyumnya nyaris tak terlihat, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara seolah menjadi lebih dingin.“Sudah lama aku tak melihat tempat ini... dan kau, Kakek Ling.”Kakek Ling bergeming. Tatapannya menjadi dingin. “Aku tak pernah mengundangmu kembali.”“Tapi aku tahu kau sedang melatih seseorang spesial. Murid yang menyimpan naga hitam dalam tubuhnya…”Kael langsung memasang kuda-kuda. “Siapa kau?”Orang itu hanya menoleh dengan tenang. “Namaku tidak penting. Tapi kau boleh memanggilku... Veynar.”Ia berjalan mendekat, dan dalam satu gerakan cepat—tubuhnya melesat ke depan, menebas udara dengan tangan kosong.Kael nyaris tak sempat menangkis. Angin serangan itu menghantam tubuhnya hingga tergeser beberapa langkah.“Ini bukan tantangan, bocah. Ini... peringatan.”Kakek Ling maju selangkah, aura tekanan keluar dari tubuhnya. “Kau tak punya hak menyentuh muridku.”Veynar berhenti. L

  • Pendekar Pedang Naga   60. Duel Dalam Senyap

    Sosok bertopeng itu melangkah pelan ke arah Kael. Tanah bergetar ringan tiap kali kakinya menginjak bumi. Di tangannya, senjata kristal hitam itu menyala samar—seolah berdenyut dengan napas makhluk asing.Kael mengangkat kuda-kudanya. Ia bisa merasakan hawa tekanan dari lawan ini. Berbeda dari bandit sebelumnya. Lebih… sadar.“Siapa kau?” tanya Kael, mencoba mengulur waktu.Tak ada jawaban. Hanya desiran napas berat dari balik topeng logam itu. Lalu, serangan datang secepat kilat.Blaaam!Kael nyaris tak sempat menangkis. Tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang. Debu naik tinggi. Lengan kirinya terasa kebas.“Cepat… dan kuat,” gumamnya, berdiri lagi.Bandit bertopeng maju lagi, dan duel pun pecah—pukulan, tendangan, dan ayunan senjata saling bertemu di tengah-tengah kepulan asap dan jerit warga yang masih bertahan.Kael tak melawan dengan kekuatan besar, tapi dengan kelincahan. Ia menghindar, memutar, memanfaatkan ketidakseimbangan lawannya. Tapi setiap kali senjata itu nyaris

  • Pendekar Pedang Naga   59. Serangan Di Kaki Gunung

    Pagi itu Kakek Ling membawa Kael ke jalur curam di lereng belakang gunung. Batu-batu tajam berserakan. Akar pohon menyembul seperti perangkap. Udara tipis dan berat.Kael sudah siap untuk lari, lompat, atau menahan beban berat.Tapi perintah Kakek Ling justru membuatnya bingung.“Kau akan menapaki jalur ini seribu langkah... tanpa mengatur napas lebih dari satu tarikan.”Kael memutar kepala. “Satu tarikan... untuk seribu langkah? Itu tidak mungkin.”“Tepat,” jawab Kakek Ling dengan tenang. “Itulah kenapa hanya sedikit yang bisa menyelesaikannya.”Kael memandang jalur itu, panjang dan penuh rintangan. “Dan kalau aku gagal?”“Kau ulangi dari awal.”Kael menarik napas panjang, lalu mengangguk.Langkah pertama dimulai. Satu tarikan napas. Kaki bergerak perlahan, matanya fokus pada tiap pijakan.Lima puluh langkah pertama berjalan baik. Tapi tubuh mulai berontak. Napasnya terasa menggantung. Paru-parunya menjerit.Langkah ke seratus… lalu dua ratus. Tubuhnya mulai gemetar. Kepala

  • Pendekar Pedang Naga   58. Suara Dalam Bayangan

    Fajar belum sepenuhnya muncul saat Kael keluar rumah. Udara dingin menusuk, tapi Kakek Ling sudah berdiri di halaman belakang, memandangi arah timur, seperti sedang membaca isyarat dari angin.Tanpa menyapa, ia menunjuk ke sebuah ember tua yang diletakkan di tanah. Ember itu jelas sudah tua dan penuh lubang kecil di dasar dan sisinya.“Ambil air dari sungai di bawah bukit, dan isi wadah batu itu sampai penuh,” kata Kakek Ling, menunjuk ke sebuah cekungan batu besar di dekat pohon.Kael menatap ember itu, lalu wadah batu. Jaraknya cukup jauh. Tapi yang lebih aneh—ember itu jelas tak akan bisa menampung air karena bocor di banyak tempat.“Tapi... ini akan langsung tumpah sebelum aku sampai sini,” protes Kael.Kakek Ling hanya menatapnya datar. “Lakukan.”Kael menggertakkan gigi, mengambil ember itu, dan berjalan menuruni bukit ke arah sungai. Ia mengisi air, dan seperti yang diduganya, air mulai bocor sebelum ia kembali separuh jalan. Ia tetap berjalan, menumpahkan sebagian besar air se

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status