Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 14. Duel Yang Menegangkan

Share

14. Duel Yang Menegangkan

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-06 23:17:30

Pertarungan dimulai.

Kael langsung melompat mundur, matanya terkunci pada Arsel yang berdiri dengan tenang di seberangnya.

Dia belum bergerak…

Kael menggenggam pedangnya erat. Ia tahu, jika ia hanya menunggu, Arsel yang akan mengambil inisiatif. Dan benar saja—dalam sekejap, Arsel menghilang dari tempatnya.

Cepat!

Kael hanya sempat mengangkat pedangnya sebelum Arsel muncul di hadapannya, serangannya datang bagaikan kilat.

CLANG!

Benturan pedang terdengar nyaring, Kael terdorong ke belakang. Kekuatan Arsel jauh lebih besar dari yang ia perkirakan.

Tapi Kael tidak menyerah begitu saja. Ia menyesuaikan kuda-kudanya dan berusaha membalas. Pedangnya menebas cepat, mencoba mengejar pergerakan Arsel yang nyaris tak terlihat.

Sayangnya setiap serangannya meleset. Kael berusaha kerasa menghindar dan mengimbangi serangan Arsel.

Arsel menghindar dengan mudah, matanya tajam, seolah sedang mengamati setiap gerakan Kael dengan penuh perhatian.

Dari luar arena, para instruktur mul
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pendekar Pedang Naga   15. Niat Membunuh

    Guru Besar mengangkat satu tangan, menahan kekuatan Arsel tepat sebelum serangannya mencapai Kael. Ruangan yang dipenuhi ketegangan tiba-tiba terasa lebih berat. Arsel terhenti, matanya masih menyala dengan emosi yang tak tersalurkan. Bukan hanya kekuatan Guru Besar yang terasa saat itu. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang aneh. Guru Besar dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah Kael. Tapi tidak ada tanda-tanda kekuatan roh dari tubuhnya. Kael tampak biasa saja, wajahnya sedikit lelah, tapi tak menunjukkan ekspresi ketakutan atau kesadaran akan apa yang sebenarnya terjadi. Kael menggigit bibirnya, menundukkan kepala. "Maaf, Guru. Aku sudah membuat Guru harus turun tangan membantuku. Karena kelemahanku, aku malah menjadi beban bagi kalian." Guru Besar menarik napas dalam, lalu menatapnya tajam. "Aku harap ini tidak terjadi lagi, Kael." Kael mengangguk hormat, menerima nasihat itu tanpa perlawanan. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Arsel atau para instruktur yang masih t

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07
  • Pendekar Pedang Naga   16. Keluarga Pendekar Pedang

    Naga Hitam terkekeh rendah, suara tawanya menggema. "Tapi kau keras kepala. Kau tidak menyerah meski sudah berkali-kali jatuh. Itu menghiburku. Jadi, cepat kembali sebelum orang-orang mengira kau mati di sini."Sebelum Kael sempat membalas, kesadarannya tiba-tiba tersentak kembali. Kael membuka matanya dengan napas memburu. Dunia nyata langsung menyambutnya—udara malam yang sejuk, suara dedaunan yang bergoyang, dan… tatapan tajam seseorang di hadapannya. Arsel berdiri di sana, kedua tangannya terlipat di dada. Matanya menatap Kael penuh selidik, seakan mencoba mencari tahu apa yang baru saja terjadi. "Kau akhirnya bangun," kata Arsel datar. "Apa yang kau lakukan di sini sampai seperti mayat?" Kael masih sedikit pusing, tetapi ia menghela napas dan berdiri perlahan. “Aku memulihkan kekuatanku, tak mungkin aku baik-baik saja. Setelah menerima seranganmu,” jawa Kael yang tak ingin Arsel curiga.Arsel menatapnya lebih lama sebelum menghela napas. "Apa kau terluka?”Kael mengu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-08
  • Pendekar Pedang Naga   17. Mencari Informai

    Arsel menatap Kael tajam, ekspresinya berubah serius. "Siapa yang memberitahumu?" Kael menelan ludah. Ia tak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tidak mungkin ia memberi tahu Arsel bahwa seekor naga hitam dalam alam rohnya yang memberitahunya tentang garis keturunannya. "Aku… hanya mendengar bisik-bisik dari beberapa orang di akademi," Kael berusaha mencari alasan. "Aku tidak tahu seberapa benar itu, makanya aku menanyakannya langsung padamu." Arsel masih menatapnya curiga, tetapi kemudian ia menghela napas. "Tidak banyak yang tahu soal keluarga kami. Aku berharap itu tetap begitu." Kael mengangguk, berusaha tidak menunjukkan kegugupan. "Jadi, Farel tidak mendapatkan pedang naga karena aturan keluarga?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Arsel mengangguk pelan. "Ya. Aku yang tertua, jadi aku yang mewarisi pedang naga. Farel… sejak kecil selalu berusaha membuktikan bahwa dia juga layak." Kael terdiam. Sekarang semuanya mulai masuk akal. "Itu sebabnya dia pergi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-09
  • Pendekar Pedang Naga   18. Orang Yang Mencurigakan

    Kael dan Arsel saling bertukar pandang dalam sepersekian detik. Tidak ada waktu untuk kabur—mereka sudah ketahuan. Kael berusaha tetap tenang. "Kami hanya kebetulan lewat," jawabnya dengan nada santai, berusaha menutupi niat mereka yang sebenarnya. Pria itu menyipitkan mata. "Kebetulan lewat? Di gang sepi seperti ini?" Arsel menyilangkan tangan, berusaha menampilkan sikap tak peduli. "Apa itu masalah? Gang ini milikmu?" Pria itu menggeram, jelas tidak menyukai sikap mereka. Dari dalam ruangan, terdengar suara lain. "Biarkan mereka masuk." Kael dan Arsel menegang. Perintah itu datang dari seseorang di dalam. Pria bertubuh besar itu menyeringai sebelum melangkah ke samping, memberi jalan. "Masuk. Kalian sudah sejauh ini, kan? Jangan sampai menyesal." Kael menatap Arsel sekilas. Ini bisa jadi jebakan. Tapi mereka juga tidak bisa mundur sekarang. Dengan langkah hati-hati, mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan ruangan, bersiap menghadapi apa pun yang menunggu di dalam.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-10
  • Pendekar Pedang Naga   19. Latihan Rahasia

    Kael duduk bersila di tengah hutan belakang akademi, matanya terpejam, fokus sepenuhnya pada instruksi yang hanya bisa ia dengar dalam pikirannya. "Kendalikan napasmu. Rasakan aliran energi dalam tubuhmu," suara dalam itu bergema di benaknya. Naga hitam, entitas yang selama ini berdiam dalam dirinya, kini menjadi gurunya dalam latihan. Berbeda dengan para instruktur di akademi, naga hitam tidak memberi Kael teknik-teknik pedang biasa. Kael mulai merasakan energi mengalir dari dalam tubuhnya, tetapi masih belum bisa mengendalikannya sepenuhnya. "Kau terlalu tegang, bocah. Kau harus menyatu dengan kekuatanmu, bukan melawannya," gerutu naga hitam. Kael menarik napas panjang, mencoba rileks. Dalam pikirannya, ia melihat bayangan naga hitam mengitari dirinya. "Apa kau ingin mengajarkanku teknik bertarung?" tanyanya dalam hati. "Teknik? Hah! Senjata terkuatmu bukan teknik pedang, tapi kekuatan yang ada dalam dirimu. Kau hanya perlu membangunkannya." Kael mengernyit. "Membangu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Pendekar Pedang Naga   20. Kompetisi Akademi

    Duel antara Kael dan Arsel dimulai di halaman belakang akademi, tempat yang sering digunakan para murid untuk berlatih. Angin sore berembus pelan, membawa ketegangan di antara mereka. Kael berdiri tegap, ekspresinya lebih serius dari sebelumnya. Ia ingin mengukur kemampuannya dengan sesungguhnya, tanpa menahan diri. Sementara itu, Arsel, teman sekamarnya yang selalu tenang, hanya tersenyum kecil, seolah menganggap ini sebagai latihan biasa. Tanpa aba-aba, Kael langsung menyerang lebih dulu. Gerakannya cepat dan penuh tenaga, berbeda dari biasanya. Arsel sedikit terkejut tetapi tetap mampu menghindar dengan gesit. Ia melompat ke belakang dan membalas dengan serangan balik yang tajam, menunjukkan keahliannya yang luar biasa. Kael tidak mundur. Dengan fokus penuh, ia meningkatkan kecepatannya, mencoba menekan Arsel. Setiap serangan mereka berbenturan, menciptakan suara dentingan tajam di udara. Arsel akhirnya menyadari sesuatu—Kael tidak hanya ingin bertarung biasa. Ada sesuatu d

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • Pendekar Pedang Naga   21. Mencari Anggota Tim

    Kael merasa kesal dengan tindakan Arsel. Tanpa berpikir panjang, ia meraih lengan temannya dan menariknya keluar dari kerumunan."Ayo pergi, kita tidak perlu mencari masalah," bisiknya dengan nada tegas.Namun, sebelum mereka bisa pergi, seseorang menahan Kael dengan tangan kuat."Dia sudah menantangku. Sebaiknya kalian jangan pergi begitu saja," ujar murid bertubuh kekar itu dengan nada menekan.Kael menatapnya tajam, tapi sebelum ia bisa membalas, Arsel justru terkekeh. "Tenang saja, aku tidak akan lari."Kael menghela napas dan akhirnya melepaskan cengkeramannya dari lengan Arsel. "Baiklah, tapi kalau memang ingin bertarung, kita lakukan dengan benar."Murid itu menaikkan alis. "Maksudmu?""Aku akan memberi tahu pengawas agar pertarungan ini bisa disaksikan semua murid," jelas Kael.Seketika suasana menjadi riuh. Beberapa murid mulai berbisik-bisik dengan antusias."Ide yang sangat bagus," kata murid kekar itu sambil menyeringai. "Kalau begitu, mari kita ke aula pertandingan."Arse

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Pendekar Pedang Naga   22. Anggota Tim Baru

    Di hadapan mereka berdiri dua murid yang tampak serius. Salah satunya adalah pemuda kurus yang sempat terlibat keributan tempo hari."Aku dengar kalian masih mencari anggota," kata pemuda itu dengan suara datar.Arsel menyeringai puas. "Lihat? Aku bilang juga apa."Kael masih terkejut, tetapi ia segera menguasai dirinya. "Baiklah. Masuklah, kita bicara."Setelah Kael membuka pintu, dua murid itu masuk ke dalam kamar dengan langkah percaya diri. Salah satunya adalah pemuda kurus yang sebelumnya mereka lihat di kantin, sementara yang satunya lagi sedikit lebih tinggi, dengan sorot mata tajam dan sikap tenang. Mereka berdua duduk di kursi kosong di depan Kael dan Arsel. Suasana terasa sedikit canggung sebelum akhirnya Arsel membuka pembicaraan. "Jadi, kalian datang ke sini. Berarti kalian benar-benar ingin bergabung dengan tim kami?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di dada. Pemuda kurus itu mengangguk. "Namaku Rael. Aku sudah memperhatikan kalian beberapa hari ini. Sepertinya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-14

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Naga   82. Penrtanda Baru

    Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya

  • Pendekar Pedang Naga   81. Kekuatan Mengerikan

    Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,

  • Pendekar Pedang Naga   80. Bertemu Musuh Lama

    Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali

  • Pendekar Pedang Naga   79. Hari-hari Yang Sulit

    Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han

  • Pendekar Pedang Naga   78. Terget Utama Musuh

    Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu

  • Pendekar Pedang Naga   77. Kalajengking Merah

    Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se

  • Pendekar Pedang Naga   76. Misi Selanjutnya

    Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk

  • Pendekar Pedang Naga   76. Dua Pilihan Sulit

    Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u

  • Pendekar Pedang Naga   75 Kuil Kuno Selanjutanya

    Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status