Home / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 21. Mencari Anggota Tim

Share

21. Mencari Anggota Tim

last update Last Updated: 2025-03-13 10:34:23

Kael merasa kesal dengan tindakan Arsel. Tanpa berpikir panjang, ia meraih lengan temannya dan menariknya keluar dari kerumunan.

"Ayo pergi, kita tidak perlu mencari masalah," bisiknya dengan nada tegas.

Namun, sebelum mereka bisa pergi, seseorang menahan Kael dengan tangan kuat.

"Dia sudah menantangku. Sebaiknya kalian jangan pergi begitu saja," ujar murid bertubuh kekar itu dengan nada menekan.

Kael menatapnya tajam, tapi sebelum ia bisa membalas, Arsel justru terkekeh. "Tenang saja, aku tidak akan lari."

Kael menghela napas dan akhirnya melepaskan cengkeramannya dari lengan Arsel. "Baiklah, tapi kalau memang ingin bertarung, kita lakukan dengan benar."

Murid itu menaikkan alis. "Maksudmu?"

"Aku akan memberi tahu pengawas agar pertarungan ini bisa disaksikan semua murid," jelas Kael.

Seketika suasana menjadi riuh. Beberapa murid mulai berbisik-bisik dengan antusias.

"Ide yang sangat bagus," kata murid kekar itu sambil menyeringai. "Kalau begitu, mari kita ke aula pertandingan."

Arse
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pendekar Pedang Naga   22. Anggota Tim Baru

    Di hadapan mereka berdiri dua murid yang tampak serius. Salah satunya adalah pemuda kurus yang sempat terlibat keributan tempo hari."Aku dengar kalian masih mencari anggota," kata pemuda itu dengan suara datar.Arsel menyeringai puas. "Lihat? Aku bilang juga apa."Kael masih terkejut, tetapi ia segera menguasai dirinya. "Baiklah. Masuklah, kita bicara."Setelah Kael membuka pintu, dua murid itu masuk ke dalam kamar dengan langkah percaya diri. Salah satunya adalah pemuda kurus yang sebelumnya mereka lihat di kantin, sementara yang satunya lagi sedikit lebih tinggi, dengan sorot mata tajam dan sikap tenang. Mereka berdua duduk di kursi kosong di depan Kael dan Arsel. Suasana terasa sedikit canggung sebelum akhirnya Arsel membuka pembicaraan. "Jadi, kalian datang ke sini. Berarti kalian benar-benar ingin bergabung dengan tim kami?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di dada. Pemuda kurus itu mengangguk. "Namaku Rael. Aku sudah memperhatikan kalian beberapa hari ini. Sepertinya

    Last Updated : 2025-03-14
  • Pendekar Pedang Naga   23. Pertandingan dimulai

    Ren tertawa kecil. "Tempat ini? Murahan dan penuh dengan orang-orang yang tidak berbakat. Tidak heran kalian memilih makan di sini. Sepertinya cocok dengan level kalian." Kael mengepalkan tangan di bawah meja, tetapi Rael lebih dulu angkat bicara. "Lucu sekali," katanya dengan nada santai. "Kalau kedai ini tidak sesuai dengan seleramu, kenapa kau repot-repot masuk?" Ren menatap Rael tajam. "Aku hanya lewat. Tapi melihat kalian di sini, aku jadi yakin kalau aku tidak salah menolak bergabung. Tim kalian pasti tidak akan bertahan lama di kompetisi." Arsel terpancing emosi, dia langsung menarik kerah Ren. “Jaga omonganmu. Kalau benar kau hebat. Harusnya kau juga ikut kompetisi itu!Ren melepaskan cengkraman Arsel, “Tentu saja aku ikut bodoh. Pasti tim ku yang menang.”Arsel yang emosi hampir menyerang, tapi dengan cepat dihentikan oleh Kael. Ia tak ingin jika Arsel dihukum karena bertarung diluar akademi.Daren, yang biasanya diam, akhirnya berbicara. "Kami tidak butuh pengakuan d

    Last Updated : 2025-03-15
  • Pendekar Pedang Naga   24. Babak Kedua

    Tanah bergetar akibat tebasan kapak raksasa lawan, menciptakan gelombang kejut yang membuat debu berterbangan di arena. Kael dan timnya terdorong ke belakang, tetapi mereka tidak berniat menyerah. "Hati-hati, dia sudah meningkatkan kekuatannya!" seru Arsel. Rael mengusap sudut bibirnya yang berdarah, lalu menyeringai. "Akhirnya, tantangan yang layak!" Daren menatap lawan dengan tatapan tajam. Ia merapatkan genggaman di pedangnya, siap menahan serangan berikutnya. Kael merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. Mereka tidak bisa bertarung biasa lagi—mereka harus bermain cerdas. Petarung kapak lawan melompat ke udara dan mengayunkan senjatanya ke bawah dengan kekuatan luar biasa. Kael menyadari jika mereka menangkisnya langsung, mereka akan kalah dalam benturan kekuatan. "Jangan tahan serangannya! Hindari!" teriaknya. BOOM! Kapak menghantam tanah dengan kekuatan besar, menciptakan kawah kecil di tempat mereka berdiri tadi. Namun, tim Kael sudah berpencar! Arsel melesat c

    Last Updated : 2025-03-16
  • Pendekar Pedang Naga   25. Kekuatan Bayangan

    Serangan tim Serigala Hitam semakin intens! Mereka menggunakan ilusi, serangan bayangan, dan kecepatan luar biasa untuk mengacaukan formasi tim Kael. Kael merasa kesulitan—lawannya terus muncul dan menghilang, membuatnya sulit membaca arah serangan berikutnya. "Jika terus seperti ini, kita akan kalah tanpa sempat menyerang balik!" pikir Kael. Arsel menghindari serangan yang datang dari belakangnya dan berteriak, "Jangan terpancing! Mereka ingin kita menyerang asal-asalan!" Daren tetap tenang, matanya fokus membaca pola serangan musuh. "Ada jeda setengah detik setiap kali mereka berteleportasi… itu celahnya." Kael langsung menangkap maksud Daren. "Baik, kita ubah strategi!" Saat salah satu anggota Serigala Hitam muncul untuk menyerang, Kael berpura-pura terpojok. Lawan itu tertipu dan langsung maju untuk menyelesaikan serangan—tapi itu kesalahan fatal. Rael, yang sudah bersembunyi di bayangan, langsung menyerang dengan cepat! "Kena kau!" Serangan Rael menghantam tel

    Last Updated : 2025-03-17
  • Pendekar Pedang Naga   26. Kekuatan Naga Hitam

    Pemimpin Serigala Hitam terhuyung setelah serangan Kael menghantamnya dengan telak. Teknik bayangan yang menjadi andalan mereka mulai menghilang! Sorakan penonton menggema di seluruh arena. Pertarungan belum sepenuhnya selesai. Dua anggota Serigala Hitam masih berdiri, meskipun mereka kini kehilangan keunggulan taktik mereka. Kael tidak memberi mereka kesempatan untuk pulih! Dengan kecepatan luar biasa, ia menyusul salah satu lawan yang mencoba kabur ke belakang. "Kau tidak bisa lari!" Kael melompat, mendaratkan serangan keras ke dada lawannya! BRUGH! Lawan itu terpental keluar arena. "Peserta Serigala Hitam tereliminasi!" seru wasit. Kini hanya tersisa satu lawan terakhir. Sisa anggota tim Serigala Hitam menggertakkan giginya, matanya penuh ketakutan. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa seluruh timnya telah tumbang. "Tsk… Aku tidak akan kalah tanpa perlawanan!" teriaknya sambil menghunus senjatanya, sebelum ia sempat bergerak—Kael sudah ada di hadapannya! "Te

    Last Updated : 2025-03-18
  • Pendekar Pedang Naga   27. Kemenangan Tak Terduga

    Sebelum Kael bisa mengatakan apa pun, Guru Besar menarik napas panjang dan mengurangi tekanannya. "Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan… tapi ingat satu hal." Ia menatap Kael dengan serius. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Kael menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini peringatan… atau ancaman. Satu hal yang pasti—Guru Besar mulai curiga. Dan itu berarti… Kael harus lebih berhati-hati mulai sekarang.Kael berjalan kembali ke ruang istirahat dengan pikiran yang penuh. Percakapan dengan Guru Besar tadi masih terngiang di kepalanya. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Apa maksud dari peringatan itu? Saat ia masuk ke ruangan, Arsel langsung menghampirinya. "Hei, apa yang Guru Besar inginkan?" tanyanya penasaran. Rael dan Daren juga menoleh, menunggu jawaban. Kael menghela napas dan duduk di kursinya. "Tidak banyak. Dia hanya pena

    Last Updated : 2025-03-19
  • Pendekar Pedang Naga   28. Latihan dibawah Guru Besar

    Saat sorakan kemenangan masih menggema, Guru Besar berdiri dari tempat duduknya. Tatapannya terfokus pada Kael dan timnya. Para murid lain mungkin hanya melihat sekelompok anak berbakat yang memenangkan kompetisi, tetapi Guru Besar melihat lebih dari itu. Mereka bukan hanya kuat—mereka memiliki potensi yang luar biasa. Terutama Kael. "Aku harus mengawasi mereka lebih dekat," gumamnya. Tanpa menunggu lama, Guru Besar turun ke arena. Kael dan timnya baru saja selesai merayakan kemenangan mereka ketika suasana tiba-tiba menjadi hening. Semua murid menunduk hormat saat Guru Besar berjalan mendekati mereka. Kael menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakan. "Kael. Arsel. Rael. Daren." Suara Guru Besar menggema di seluruh arena. "Kalian telah menunjukkan sesuatu yang tidak dimiliki murid lain—kerja sama, strategi, dan tekad yang kuat." Kael dan yang lainnya saling berpandangan, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. Lalu, Guru Besar menatap me

    Last Updated : 2025-03-20
  • Pendekar Pedang Naga   29. Persiapan Pertandingan

    Hari-hari berikutnya menjadi neraka bagi Kael dan timnya. Setiap pagi, mereka harus berlari melintasi gunung di belakang akademi. Siang hari dihabiskan dengan latihan fisik brutal, mengangkat batu besar, menahan postur bertarung selama berjam-jam, dan serangan tanpa henti ke balok kayu hingga tangan mereka mati rasa. Sore harinya, latihan teknik dimulai. Guru Besar menghadapkan mereka pada berbagai skenario pertempuran—melawan banyak musuh, menghadapi tekanan tanpa istirahat, bahkan pertarungan dalam kegelapan. "Dalam Pertandingan Antar Akademi, tidak ada yang akan menyesuaikan diri dengan kelemahan kalian," kata Guru Besar. "Jika ingin menang, kalian harus bisa bertarung dalam kondisi apa pun." Di hari kelima, Kael mulai merasakan batas fisiknya. Kakinya nyaris tidak bisa berdiri, tangannya gemetar, dan napasnya terasa berat. Guru Besar tidak membiarkannya berhenti. "Bangun, Kael. Lawanmu belum tumbang." Kael terhuyung, tetapi ia memaksa tubuhnya berdiri. Lawan di depa

    Last Updated : 2025-03-21

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   82. Penrtanda Baru

    Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya

  • Pendekar Pedang Naga   81. Kekuatan Mengerikan

    Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,

  • Pendekar Pedang Naga   80. Bertemu Musuh Lama

    Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali

  • Pendekar Pedang Naga   79. Hari-hari Yang Sulit

    Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han

  • Pendekar Pedang Naga   78. Terget Utama Musuh

    Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu

  • Pendekar Pedang Naga   77. Kalajengking Merah

    Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se

  • Pendekar Pedang Naga   76. Misi Selanjutnya

    Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk

  • Pendekar Pedang Naga   76. Dua Pilihan Sulit

    Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u

  • Pendekar Pedang Naga   75 Kuil Kuno Selanjutanya

    Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status