Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 28. Latihan dibawah Guru Besar

Share

28. Latihan dibawah Guru Besar

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-20 23:30:41

Saat sorakan kemenangan masih menggema, Guru Besar berdiri dari tempat duduknya. Tatapannya terfokus pada Kael dan timnya.

Para murid lain mungkin hanya melihat sekelompok anak berbakat yang memenangkan kompetisi, tetapi Guru Besar melihat lebih dari itu. Mereka bukan hanya kuat—mereka memiliki potensi yang luar biasa. Terutama Kael.

"Aku harus mengawasi mereka lebih dekat," gumamnya.

Tanpa menunggu lama, Guru Besar turun ke arena.

Kael dan timnya baru saja selesai merayakan kemenangan mereka ketika suasana tiba-tiba menjadi hening.

Semua murid menunduk hormat saat Guru Besar berjalan mendekati mereka.

Kael menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakan.

"Kael. Arsel. Rael. Daren."

Suara Guru Besar menggema di seluruh arena.

"Kalian telah menunjukkan sesuatu yang tidak dimiliki murid lain—kerja sama, strategi, dan tekad yang kuat."

Kael dan yang lainnya saling berpandangan, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. Lalu, Guru Besar menatap me
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pendekar Pedang Naga   29. Persiapan Pertandingan

    Hari-hari berikutnya menjadi neraka bagi Kael dan timnya. Setiap pagi, mereka harus berlari melintasi gunung di belakang akademi. Siang hari dihabiskan dengan latihan fisik brutal, mengangkat batu besar, menahan postur bertarung selama berjam-jam, dan serangan tanpa henti ke balok kayu hingga tangan mereka mati rasa. Sore harinya, latihan teknik dimulai. Guru Besar menghadapkan mereka pada berbagai skenario pertempuran—melawan banyak musuh, menghadapi tekanan tanpa istirahat, bahkan pertarungan dalam kegelapan. "Dalam Pertandingan Antar Akademi, tidak ada yang akan menyesuaikan diri dengan kelemahan kalian," kata Guru Besar. "Jika ingin menang, kalian harus bisa bertarung dalam kondisi apa pun." Di hari kelima, Kael mulai merasakan batas fisiknya. Kakinya nyaris tidak bisa berdiri, tangannya gemetar, dan napasnya terasa berat. Guru Besar tidak membiarkannya berhenti. "Bangun, Kael. Lawanmu belum tumbang." Kael terhuyung, tetapi ia memaksa tubuhnya berdiri. Lawan di depa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • Pendekar Pedang Naga   30. Pencarian Yang Sia-sia

    Malam itu, mereka kembali ke asrama. Mereka tidak banyak bicara, hanya beristirahat setelah hari yang melelahkan. Kael berdiri di dekat jendela, menatap bulan. Pertandingan Antar Akademi sudah dekat. Latihan mereka mungkin telah berakhir, tetapi pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.Guru besar memberikan waktu untuk bersiap. Kael memanfaatkan waktu luang untuk kembali mencari informasi tentang para bandit. Sudah lama ia tidak pergi ke tempat itu, dan pikirannya terus dipenuhi rasa penasaran. Saat ia bersiap untuk pergi, Arsel, sahabatnya, memperhatikannya dengan curiga. "Kau mau ke mana, Kael?" tanyanya, menyilangkan tangan di dada. "Ke tempat kemarin, di gang dekat pasar," jawab Kael sambil menyesuaikan sarung pedangnya. Arsel mengerutkan kening. "Apa kau masih menyelidiki para bandit?" Kael mengangguk. "Iya. Aku penasaran, jadi aku akan kembali ke sana." Arsel mendesah, lalu tersenyum tipis. "Aku ikut." Tanpa menunggu persetujuan, ia sudah menyambar senjatanya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Pendekar Pedang Naga   31. Pesan Misterius

    Di akademi, persiapan untuk Kompetisi Antar Akademi semakin intens. Setiap tingkat diharuskan mengajukan perwakilan terbaik mereka untuk bertanding dalam berbagai cabang—pertarungan, strategi, dan kecepatan berpikir. Para murid sibuk berlatih, aula utama dipenuhi suara dentingan senjata, percikan energi sihir, serta diskusi serius tentang taktik dan strategi.Kael, yang sebelumnya terganggu oleh pikirannya tentang para bandit, mencoba fokus. Ia tahu bahwa kompetisi ini adalah kesempatan besar—bukan hanya untuk membuktikan kemampuannya, tetapi juga untuk menjadi lebih kuat."Baiklah, semua berkumpul!" suara Guru Besar menggema di halaman akademi, memanggil para murid terbaik dari setiap tingkat. "Kami akan mengumumkan siapa saja yang terpilih untuk mewakili akademi dalam kompetisi tahun ini!"Kerumunan langsung hening. Semua menahan napas, menunggu pengumuman itu.Kael mengepalkan tangannya. Apakah ia cukup layak untuk dipilih? Atau justru harus menonton dari pinggir lapangan?Guru Bes

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-23
  • Pendekar Pedang Naga   32. Akademi di Serang

    Kael dan Arsel berdiri diam di tengah kegelapan, mencoba mencari tanda-tanda kehadiran sosok yang mereka kejar. Namun, bayangan itu benar-benar menghilang—seolah-olah ditelan oleh malam. "Tidak mungkin," bisik Arsel. "Aku yakin dia ada di sini beberapa detik yang lalu." Kael menggenggam pedangnya lebih erat. "Ini bukan pertama kalinya seseorang menghilang begitu saja. Kita sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak biasa." Arsel mengangguk. "Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati." Mereka berdua mundur perlahan, memutuskan untuk kembali ke kamar sebelum seseorang menyadari keberadaan mereka di luar asrama. Namun, tepat saat mereka berbalik, sesuatu menarik perhatian Kael. Di tanah, di tempat bayangan itu menghilang, ada secarik kain hitam tersangkut di ranting semak. Kael berlutut dan mengambilnya. Kain itu terasa kasar, seolah berasal dari jubah berat yang sering digunakan untuk perjalanan jauh atau penyamaran. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah bau samar

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Pendekar Pedang Naga   33. Ketegangan di Akademi

    Kael menegang. Pertanyaan itu langsung menusuk ke inti pikirannya. Bagaimana Asmar tahu? Dengan sisa tenaganya, Kael mencoba duduk tegak, meski tubuhnya masih terasa lemah. Matanya menatap tajam ke arah lelaki paruh baya itu. "Apa maksudmu?" Asmar hanya tersenyum tipis. "Aku sudah lama mengamati akademimu, Nak. Dan serangan tadi malam bukan sekadar serangan acak. Itu adalah ujian." Kael mengernyit. "Ujian?" Asmar mengangguk. "Para penyerang itu tidak datang untuk menghancurkan akademimu. Mereka datang untuk mengukur kekuatan murid-murid di sana… dan mencari seseorang yang cukup kuat untuk tujuan mereka." Jantung Kael berdegup lebih cepat. "Mereka… sedang mencari seseorang?" "Ya," jawab Asmar dengan tenang. "Dan kau salah satu yang mereka incar." Ruangan terasa semakin sunyi. Kael ingin menyangkal, tapi semuanya mulai masuk akal. Serangan mendadak, cara musuh menghilang begitu cepat, pengkhianat di dalam akademi… semuanya terasa seperti bagian dari rencana yang lebih b

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Pendekar Pedang Naga   35. Setrategi Kompetisi

    Kael menatap Asmar dengan ragu. BeKael dan Arsel keluar dari aula dengan pikiran yang dipenuhi beban. Mereka harus berlatih sekeras mungkin. Tidak hanya untuk menang, tetapi juga untuk bertahan hidup.Di halaman akademi, murid-murid lain masih sibuk membereskan sisa-sisa pertempuran. Tapi Kael dan Arsel tak bisa ikut membantu—mereka punya tugas yang lebih besar."Kita mulai dari mana?" tanya Arsel, menyandarkan pedangnya ke bahunya.Kael menghembuskan napas dalam. "Kita perlu mengasah teknik bertarung kita, tapi juga strategi. Kompetisi ini pasti lebih dari sekadar duel biasa."Arsel mengangguk. "Baiklah. Kita ke arena latihan sekarang?"Namun sebelum mereka bisa bergerak, seorang murid berlari ke arah mereka dengan wajah panik."Kael! Arsel! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan kalian di gerbang akademi!"Kael dan Arsel saling berpandangan. Siapa yang datang di saat seperti ini?Dengan langkah cepat, mereka menuju gerbang akademi.Di sana, berdiri seorang pria berjubah gelap denga

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-26
  • Pendekar Pedang Naga   35. Serangan Tiba-tiba

    Kael menegang. "Asmar?" gumamnya pelan, nyaris tak percaya pria itu datang ke akademi secara terang-terangan. Arsel segera mengambil posisi waspada, tangannya sudah di gagang pedang. "Kael, siapa orang ini?" Asmar tersenyum tipis. "Teman… atau musuh, tergantung bagaimana kau melihatnya." Kael menelan ludah. Ia tahu Asmar bukan tipe orang yang akan muncul tanpa alasan. Jika dia ada di sini, berarti ada sesuatu yang penting. "Apa yang kau inginkan?" tanya Kael, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Asmar melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang menguping. "Aku datang untuk memperingatkanmu." Kael mengerutkan kening. "Memperingatkanku?" Asmar mengangguk. "Kompetisi yang akan kau ikuti… bukan hanya ajang untuk menguji kekuatan. Ada pihak yang menggunakannya sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang tertentu. Jika kau pergi tanpa persiapan, kau tidak akan kembali." Arsel mendengus. "Kau berharap kami percaya begitu saja? Setelah semua yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Pendekar Pedang Naga   36. Pertarungan Akademi

    Kael terengah-engah. Dadanya terasa nyeri akibat hantaman sihir tadi. Di depannya, penyihir berjubah hitam itu tersenyum tipis. "Kau cukup tangguh. Tapi sayang, ini bukan pertarungan yang bisa kau menangkan." Kael mengepalkan tinjunya. Jika ia tetap diam, ia hanya akan menjadi sasaran empuk. Arsel sudah sibuk menghadapi dua lawan sekaligus. Ia terdesak, tapi masih bertahan. Kael tahu, jika mereka tidak melakukan sesuatu, mereka akan mati di sini. "Arsel, kau tahan yang lain! Aku akan menangani penyihir ini!" seru Kael, meskipun tubuhnya masih terasa sakit. Penyihir itu mendengus. "Kau? Melawanku? Coba saja." Tangan penyihir itu bergerak cepat, membentuk segel sihir lain. BOOM! Sebuah ledakan energi melesat ke arah Kael! Kael melompat ke samping, nyaris terkena ledakan itu. Udara di sekelilingnya bergetar, meninggalkan bekas hangus di tanah. Terlalu cepat! Kael bahkan tidak punya waktu untuk mendekat. Saat penyihir itu hendak melancarkan serangan lain— "ARGH!" Ar

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Naga   82. Penrtanda Baru

    Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya

  • Pendekar Pedang Naga   81. Kekuatan Mengerikan

    Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,

  • Pendekar Pedang Naga   80. Bertemu Musuh Lama

    Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali

  • Pendekar Pedang Naga   79. Hari-hari Yang Sulit

    Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han

  • Pendekar Pedang Naga   78. Terget Utama Musuh

    Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu

  • Pendekar Pedang Naga   77. Kalajengking Merah

    Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se

  • Pendekar Pedang Naga   76. Misi Selanjutnya

    Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk

  • Pendekar Pedang Naga   76. Dua Pilihan Sulit

    Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u

  • Pendekar Pedang Naga   75 Kuil Kuno Selanjutanya

    Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status