Kael menegang. "Asmar?" gumamnya pelan, nyaris tak percaya pria itu datang ke akademi secara terang-terangan. Arsel segera mengambil posisi waspada, tangannya sudah di gagang pedang. "Kael, siapa orang ini?" Asmar tersenyum tipis. "Teman… atau musuh, tergantung bagaimana kau melihatnya." Kael menelan ludah. Ia tahu Asmar bukan tipe orang yang akan muncul tanpa alasan. Jika dia ada di sini, berarti ada sesuatu yang penting. "Apa yang kau inginkan?" tanya Kael, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Asmar melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang menguping. "Aku datang untuk memperingatkanmu." Kael mengerutkan kening. "Memperingatkanku?" Asmar mengangguk. "Kompetisi yang akan kau ikuti… bukan hanya ajang untuk menguji kekuatan. Ada pihak yang menggunakannya sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang tertentu. Jika kau pergi tanpa persiapan, kau tidak akan kembali." Arsel mendengus. "Kau berharap kami percaya begitu saja? Setelah semua yang
Kael terengah-engah. Dadanya terasa nyeri akibat hantaman sihir tadi. Di depannya, penyihir berjubah hitam itu tersenyum tipis. "Kau cukup tangguh. Tapi sayang, ini bukan pertarungan yang bisa kau menangkan." Kael mengepalkan tinjunya. Jika ia tetap diam, ia hanya akan menjadi sasaran empuk. Arsel sudah sibuk menghadapi dua lawan sekaligus. Ia terdesak, tapi masih bertahan. Kael tahu, jika mereka tidak melakukan sesuatu, mereka akan mati di sini. "Arsel, kau tahan yang lain! Aku akan menangani penyihir ini!" seru Kael, meskipun tubuhnya masih terasa sakit. Penyihir itu mendengus. "Kau? Melawanku? Coba saja." Tangan penyihir itu bergerak cepat, membentuk segel sihir lain. BOOM! Sebuah ledakan energi melesat ke arah Kael! Kael melompat ke samping, nyaris terkena ledakan itu. Udara di sekelilingnya bergetar, meninggalkan bekas hangus di tanah. Terlalu cepat! Kael bahkan tidak punya waktu untuk mendekat. Saat penyihir itu hendak melancarkan serangan lain— "ARGH!" Ar
Kael tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Setiap kali ia menutup mata, suara itu terngiang lagi di kepalanya. "Jangan percaya siapapun…"*m Suara yang terdengar seperti dirinya sendiri. Namun, ini bukan waktunya untuk larut dalam ketakutan. Kompetisi antar akademi semakin dekat, dan ia serta Arsel telah dipilih sebagai perwakilan Akademi Pedang. Mereka harus menang. Malam itu, di halaman akademi, Kael berlatih sendirian. Pedangnya menari di udara, membelah bayangan-bayangan yang hanya ada di dalam pikirannya. Serangan. Tebasan. Putaran. Keringat menetes dari dahinya, tapi ia tidak berhenti. Kael harus menjadi lebih kuat. Ia tidak bisa kalah. Ia tidak boleh kalah. Namun, di tengah latihannya— "Itu tidak cukup." Kael berhenti. Suara itu… lagi. Ia menoleh ke sekeliling, tapi halaman kosong. Hanya dirinya. Lalu tiba-tiba, bayangannya sendiri mulai bergerak. "Kau masih terlalu lemah, Kael." Kael membeku. Bayangan itu… berbentuk seperti dirinya sendiri. La
Namun, Kael berdiri tegak, merasakan kekuatan naga di dalam dirinya semakin mengalir. Dengan satu langkah maju, Kael menyatukan energi dalam dirinya, mengangkat pedangnya tinggi— "Serangan Naga Terakhir!" Pedang Kael menyambar dengan kekuatan yang luar biasa, mengirimkan gelombang energi yang membelah udara dan mengarah langsung pada Roderic. "Tidak bisa—!" Roderic berusaha menghalau serangan itu, namun serangan Kael lebih cepat dan lebih kuat. TIBA-TIBA— "CRAAASH!" Sebuah ledakan besar mengguncang arena, debu dan api berterbangan. Ketika asapnya mulai menghilang, Kael berdiri tegak di tengah arena, pedangnya masih terangkat. Roderic terjatuh ke tanah, pedangnya terlempar jauh dari jangkauannya. "Aku menang," kata Kael dengan tenang. Sorakan menggema di seluruh arena. Arsel melihat dengan seksama sesuatu yang berbeda dari biasanya. “Kael makin hebat,” batinnya tak mau kalah.Kael tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu. Tatapan tajam dari mata keemasan
Setelah kemenangan Kael atas Valar, babak kompetisi selanjutnya berubah menjadi pertarungan tim, di mana dua peserta dari masing-masing akademi harus bekerja sama. "Kael dan Arsel, kalian akan bertanding melawan tim dari Akademi Petir," kata Guru Besar, matanya penuh harapan. "Mereka terkenal dengan kecepatan dan serangan kilat mereka. Kalian harus siap." Kael dan Arsel saling pandang. Mereka telah berlatih bersama sejak lama, tetapi ini pertama kalinya mereka bertarung sebagai tim dalam kompetisi sebesar ini. "Kau siap?" tanya Arsel, mengepalkan tangannya. Kael tersenyum tipis. "Selalu." Di tengah arena, dua lawan mereka sudah menunggu—Raiga dan Zeth dari Akademi Petir. "Kami takkan menahan diri," kata Raiga, rambut putihnya berdiri tegak, kilatan listrik mengitari tubuhnya. "Kalian akan merasakan kecepatan sejati," tambah Zeth, bola petir kecil berputar di antara jari-jarinya. Ding! Gong pertarungan berbunyi. Raiga langsung melesat dengan kecepatan luar biasa! D
Kael dan Arsel melangkah masuk ke arena dengan percaya diri. Setelah mendapatkan strategi dari Guru Besar, mereka tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga kecerdikan. Di seberang arena, Gorak dan Bargo dari Akademi Gunung Besi sudah menunggu. Gorak, pria bertubuh besar dengan kapak raksasa di punggungnya, menatap Kael dan Arsel dengan senyum mengejek. "Jadi kalian yang akan melawan kami?" katanya sambil meregangkan otot-ototnya. "Kalian terlalu kecil untuk melawan kami." Bargo, rekannya, lebih pendek tapi sama kokohnya. Tangannya kosong, tetapi otot-otot di lengannya tampak seperti baja. "Satu pukulan dariku bisa membuat kalian tak sadarkan diri," katanya dengan nada tenang namun penuh keyakinan. Ding! Gong pertarungan berbunyi. Arsel langsung bergerak lebih dulu, mengikuti strategi yang mereka rancang. Dengan kecepatan luar biasa, ia berputar mengelilingi Gorak dan Bargo, mengganggu fokus mereka dengan serangan tipis-tipis yang membu
Setelah kemenangan mereka, Kael dan Arsel keluar dari arena dengan sorakan menggema di belakang mereka. Di sepanjang jalan menuju ruang istirahat, mereka bisa merasakan tatapan para pesaing lain. Beberapa penuh rasa penasaran. Beberapa penuh kekaguman. Tapi sebagian besar… penuh tantangan. Kael melirik Arsel dan mendengus pelan. "Sepertinya kita sudah menarik perhatian yang tidak diinginkan." Arsel menyeringai. "Itu bagus, kan? Artinya mereka menganggap kita ancaman." Di sudut ruangan, seorang petarung dari Akademi Angin Hitam menyeringai sambil menatap mereka. Di sisi lain, seorang pendekar dari Akademi Bayangan mendekat, hanya untuk menatap Kael sejenak sebelum pergi tanpa sepatah kata pun. Kael mengepalkan tangannya. "Mereka sedang mengukur kita." Tiba-tiba, seorang murid dari Akademi Thunderclaw melangkah ke depan, tubuhnya tinggi dengan petir kecil berkilatan di sekitar tangannya. "Jangan berpikir kemenangan ini berarti kalian akan menang terus," katanya den
Saat Kael membuka pintu kamar dengan perlahan, Arsel sudah duduk di ranjang, menatapnya tajam. "Ke mana saja kau?" tanyanya tanpa basa-basi. Kael terdiam sejenak, lalu menutup pintu dan berjalan masuk. Ia terlihat ragu, seolah menyusun kata. "Aku menemui Asmar," jawabnya pelan. Arsel mengangkat alis. "Kenapa? Soal pil itu, ya?" Kael mengangguk perlahan. "Iya. Aku merasa… ada yang aneh setiap kali meminumnya." "Dan?" Arsel mencondongkan tubuh ke depan, penasaran. "Dia bilang pil itu punya bahan tambahan—akar roh perak. Katanya bisa mempercepat pemulihan dan meningkatkan kekuatan. Tapi…" Kael menunduk, "…dia juga belum tahu efek jangka panjangnya." Arsel terdiam sejenak, lalu bangkit dari ranjang dan berdiri di depan Kael. "Kau merasa berbeda setelah meminumnya?" Kael mengangguk. "Setiap kali. Lebih kuat, lebih cepat, tapi… juga terasa seperti ada sesuatu yang tumbuh di dalam diriku. Sesuatu yang bukan aku." Arsel menghela napas berat. "Jadi apa yang akan kau lak
Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya
Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,
Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han
Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu
Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se
Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk
Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u
Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael