Home / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 38. Pertandingan Sengit

Share

38. Pertandingan Sengit

last update Last Updated: 2025-03-31 21:58:14

Namun, Kael berdiri tegak, merasakan kekuatan naga di dalam dirinya semakin mengalir.

Dengan satu langkah maju, Kael menyatukan energi dalam dirinya, mengangkat pedangnya tinggi—

"Serangan Naga Terakhir!"

Pedang Kael menyambar dengan kekuatan yang luar biasa, mengirimkan gelombang energi yang membelah udara dan mengarah langsung pada Roderic.

"Tidak bisa—!"

Roderic berusaha menghalau serangan itu, namun serangan Kael lebih cepat dan lebih kuat.

TIBA-TIBA—

"CRAAASH!"

Sebuah ledakan besar mengguncang arena, debu dan api berterbangan.

Ketika asapnya mulai menghilang, Kael berdiri tegak di tengah arena, pedangnya masih terangkat. Roderic terjatuh ke tanah, pedangnya terlempar jauh dari jangkauannya.

"Aku menang," kata Kael dengan tenang.

Sorakan menggema di seluruh arena.

Arsel melihat dengan seksama sesuatu yang berbeda dari biasanya. “Kael makin hebat,” batinnya tak mau kalah.

Kael tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu. Tatapan tajam dari mata keemasan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pendekar Pedang Naga   39. Pertandingan Yang Menegangkan

    Setelah kemenangan Kael atas Valar, babak kompetisi selanjutnya berubah menjadi pertarungan tim, di mana dua peserta dari masing-masing akademi harus bekerja sama. "Kael dan Arsel, kalian akan bertanding melawan tim dari Akademi Petir," kata Guru Besar, matanya penuh harapan. "Mereka terkenal dengan kecepatan dan serangan kilat mereka. Kalian harus siap." Kael dan Arsel saling pandang. Mereka telah berlatih bersama sejak lama, tetapi ini pertama kalinya mereka bertarung sebagai tim dalam kompetisi sebesar ini. "Kau siap?" tanya Arsel, mengepalkan tangannya. Kael tersenyum tipis. "Selalu." Di tengah arena, dua lawan mereka sudah menunggu—Raiga dan Zeth dari Akademi Petir. "Kami takkan menahan diri," kata Raiga, rambut putihnya berdiri tegak, kilatan listrik mengitari tubuhnya. "Kalian akan merasakan kecepatan sejati," tambah Zeth, bola petir kecil berputar di antara jari-jarinya. Ding! Gong pertarungan berbunyi. Raiga langsung melesat dengan kecepatan luar biasa! D

    Last Updated : 2025-04-01
  • Pendekar Pedang Naga   40. Pertarungan Yang Semakin Seru

    Kael dan Arsel melangkah masuk ke arena dengan percaya diri. Setelah mendapatkan strategi dari Guru Besar, mereka tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga kecerdikan. Di seberang arena, Gorak dan Bargo dari Akademi Gunung Besi sudah menunggu. Gorak, pria bertubuh besar dengan kapak raksasa di punggungnya, menatap Kael dan Arsel dengan senyum mengejek. "Jadi kalian yang akan melawan kami?" katanya sambil meregangkan otot-ototnya. "Kalian terlalu kecil untuk melawan kami." Bargo, rekannya, lebih pendek tapi sama kokohnya. Tangannya kosong, tetapi otot-otot di lengannya tampak seperti baja. "Satu pukulan dariku bisa membuat kalian tak sadarkan diri," katanya dengan nada tenang namun penuh keyakinan. Ding! Gong pertarungan berbunyi. Arsel langsung bergerak lebih dulu, mengikuti strategi yang mereka rancang. Dengan kecepatan luar biasa, ia berputar mengelilingi Gorak dan Bargo, mengganggu fokus mereka dengan serangan tipis-tipis yang membu

    Last Updated : 2025-04-02
  • Pendekar Pedang Naga   41. Pil Pemulihan

    Setelah kemenangan mereka, Kael dan Arsel keluar dari arena dengan sorakan menggema di belakang mereka. Di sepanjang jalan menuju ruang istirahat, mereka bisa merasakan tatapan para pesaing lain. Beberapa penuh rasa penasaran. Beberapa penuh kekaguman. Tapi sebagian besar… penuh tantangan. Kael melirik Arsel dan mendengus pelan. "Sepertinya kita sudah menarik perhatian yang tidak diinginkan." Arsel menyeringai. "Itu bagus, kan? Artinya mereka menganggap kita ancaman." Di sudut ruangan, seorang petarung dari Akademi Angin Hitam menyeringai sambil menatap mereka. Di sisi lain, seorang pendekar dari Akademi Bayangan mendekat, hanya untuk menatap Kael sejenak sebelum pergi tanpa sepatah kata pun. Kael mengepalkan tangannya. "Mereka sedang mengukur kita." Tiba-tiba, seorang murid dari Akademi Thunderclaw melangkah ke depan, tubuhnya tinggi dengan petir kecil berkilatan di sekitar tangannya. "Jangan berpikir kemenangan ini berarti kalian akan menang terus," katanya den

    Last Updated : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Naga   42. Orang Misterius

    Saat Kael membuka pintu kamar dengan perlahan, Arsel sudah duduk di ranjang, menatapnya tajam. "Ke mana saja kau?" tanyanya tanpa basa-basi. Kael terdiam sejenak, lalu menutup pintu dan berjalan masuk. Ia terlihat ragu, seolah menyusun kata. "Aku menemui Asmar," jawabnya pelan. Arsel mengangkat alis. "Kenapa? Soal pil itu, ya?" Kael mengangguk perlahan. "Iya. Aku merasa… ada yang aneh setiap kali meminumnya." "Dan?" Arsel mencondongkan tubuh ke depan, penasaran. "Dia bilang pil itu punya bahan tambahan—akar roh perak. Katanya bisa mempercepat pemulihan dan meningkatkan kekuatan. Tapi…" Kael menunduk, "…dia juga belum tahu efek jangka panjangnya." Arsel terdiam sejenak, lalu bangkit dari ranjang dan berdiri di depan Kael. "Kau merasa berbeda setelah meminumnya?" Kael mengangguk. "Setiap kali. Lebih kuat, lebih cepat, tapi… juga terasa seperti ada sesuatu yang tumbuh di dalam diriku. Sesuatu yang bukan aku." Arsel menghela napas berat. "Jadi apa yang akan kau lak

    Last Updated : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Naga   43. Lawan Yang Sulit

    Arena kembali riuh. Nama Akademi Pedang disebut lagi, dan Kael melangkah ke tengah lapangan dengan langkah pasti.Namun kali ini—aura pertarungan terasa berbeda.Dari sisi seberang, muncul seorang peserta yang belum pernah terlihat sebelumnya. Berselubung jubah hitam panjang, wajahnya tersembunyi di balik tudung, langkahnya tenang… tapi mengancam."Siapa dia?" bisik Arsel yang berdiri di sisi arena, matanya menyipit penuh curiga.Kael memperhatikan gerakan lawannya. Tak ada bendera akademi, tak ada lambang apapun. Hanya keheningan dan tekanan yang terasa semakin berat."Dia bukan peserta biasa," gumam Kael dalam hati."Peserta berikutnya: Kael dari Akademi Pedang... melawan perwakilan khusus—Murnian Tak Terdaftar!"Suara pengumuman membuat arena riuh kembali."Tak terdaftar?" Arsel mengulang, terkejut. Guru Besar yang duduk di tribun pun langsung berdiri. Ekspresinya berubah tegang.Asmar yang berada tak jauh dari sana mengepalkan tangannya erat, tatapannya tertuju lurus pada sosok

    Last Updated : 2025-04-06
  • Pendekar Pedang Naga   44. Musuh Kerajaan

    Sosok yang baru saja terlempar itu perlahan bangkit, jubahnya compang-camping, namun sorot matanya tetap angkuh. Ren menatap Kael dengan senyum sinis, bibirnya berdarah tapi semangatnya tidak surut.“Ternyata kau sekuat ini, Kael,” katanya dengan nada setengah kagum, setengah mengejek. “Aku tak menyangka... bocah yang dulu cuma tahu diam bisa menebas bayanganku.”Kael menggertakkan gigi. Tangan di gagang pedang mengepal kuat.“Kau ternyata licik,” ucap Kael tajam. “Bayangan hitam itu… akulah salah satu saksi saat menyerang Akademi. Selama ini kami bertanya-tanya siapa dalangnya, dan kau... kau ada di sana bersama kami, seolah tak tahu apa-apa.”Matanya menyipit. “Padahal kau biang keladinya.”Kerumunan mulai gaduh. Desas-desus menyebar cepat di antara penonton dan para pendekar yang menyaksikan.Ren hanya tertawa kecil. “Kael, Kael… Dunia tidak sehitam putih itu. Kadang yang terlihat setia justru yang paling banyak menyimpan rahasia.” Ia menatap Kael tajam. “Seperti kau.”Kael tidak m

    Last Updated : 2025-04-06
  • Pendekar Pedang Naga   45. Introgasi Rahasia

    Ruangan itu gelap, hanya diterangi obor di sudut dinding. Aroma besi dan tanah lembap menyelimuti udara. Di tengah ruangan, Ren duduk dengan tangan terikat rantai khusus anti-energi. Wajahnya penuh luka, tapi sorot matanya masih menyimpan kesombongan yang belum padam.Guru Besar berdiri di depannya, mengenakan jubah gelap panjang, wajahnya dingin dan tajam. Ia tidak berbicara segera—hanya menatap, dalam dan menusuk, seolah ingin menembus isi kepala Ren.“Aku tak butuh sandiwara, Ren,” ucap Guru Besar akhirnya, suaranya tenang namun berisi tekanan kuat. “Kita sudah menemukan sisa-sisa aura Bayangan Hitam di kamarmu. Dan saat kau jatuh di arena, segel sihir gelapmu pecah. Tak perlu menyangkal lagi.”Ren mengalihkan pandangan. “Kalau kau sudah tahu… kenapa bertanya?”Guru Besar tetap tak bergeming. “Karena yang kami tahu… belum semua. Aku ingin tahu siapa yang memberimu kekuatan itu. Dan… kenapa kau melakukannya.”Ren tertawa kecil, getir. “Kenapa? Karena Kael! Kalian semua memuja-muja d

    Last Updated : 2025-04-07
  • Pendekar Pedang Naga   46. Ketegangan Sebelum Final

    Langit mulai berubah jingga saat lonceng besar di pusat arena dibunyikan. Para peserta dan penonton berkumpul, mata mereka tertuju pada panggung utama tempat seorang utusan kerajaan berdiri, membawa gulungan emas bersegel.“Perhatian untuk seluruh peserta turnamen!” serunya lantang. “Pertandingan selanjutnya akan mempertemukan dua tim terakhir dari blok elit… yang akan menentukan siapa yang layak masuk ke babak final!”Gulungan dibuka perlahan. Suasana menjadi hening. Semua menanti.“Tim pertama… Kael dan Arsel dari Akademi Pedang!”Sorakan membahana, disertai beberapa tatapan penasaran. Nama mereka kini sudah dikenal luas sejak kekuatan naga Kael terungkap.“Dan tim kedua… perwakilan khusus dari Kerajaan Utara. Dikenal sebagai saudara kembar pemburu sihir—Dara dan Daruk!”Seketika, bisik-bisik terdengar dari para penonton.“Asal mereka dari Kerajaan Utara?” bisik seseorang. “Aku dengar mereka bisa menyegel kekuatan lawan…” “Bukankah mereka dulu pernah memburu penyihir bayangan?”

    Last Updated : 2025-04-07

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   80. Bertemu Musuh Lama

    Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali

  • Pendekar Pedang Naga   79. Hari-hari Yang Sulit

    Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han

  • Pendekar Pedang Naga   78. Terget Utama Musuh

    Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu

  • Pendekar Pedang Naga   77. Kalajengking Merah

    Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se

  • Pendekar Pedang Naga   76. Misi Selanjutnya

    Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk

  • Pendekar Pedang Naga   76. Dua Pilihan Sulit

    Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u

  • Pendekar Pedang Naga   75 Kuil Kuno Selanjutanya

    Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael

  • Pendekar Pedang Naga   73. Kuil kuno dan Bayangan Hitam

    Senja hampir merayap ketika Kael dan Arsel akhirnya tiba di gerbang utama Akademi Pedang. Langit berwarna jingga keemasan, seolah menyambut kepulangan dua pendekar muda yang membawa lebih dari sekadar debu perjalanan. Di tangan mereka—dan dalam ingatan mereka—tersimpan serpihan penting tentang ancaman yang lebih besar dari sekadar bandit biasa.Saat mereka turun dari kuda, penjaga gerbang langsung membuka jalan. Salah satu murid senior segera berlari ke dalam, memberi tahu para pengajar bahwa Kael dan Arsel telah kembali.Tak butuh waktu lama sebelum mereka diantar langsung ke ruang Guru Besar.Di ruangan yang tenang dan dingin itu, Kael meletakkan gulungan catatan dan potongan artefak dari kuil yang mereka temukan di atas meja batu.“Ini bukan kuil utama,” ucap Kael. “Tapi cukup untuk memberi gambaran tentang pola gerakan mereka. Ada lebih dari satu tempat yang dipakai kelompok bayangan hitam. Dan… mereka tampaknya sudah merancang jaringan kuil gelap jauh hari sebelumnya.”Guru Besar

  • Pendekar Pedang Naga   72. Menghancurkan Kuil

    Dengan segenap kekuatan, Kael dan Arsel mengerahkan segala yang mereka miliki. Ruangan tempat ritual berlangsung berubah menjadi medan pertempuran sengit. Api kecil dari ledakan awal masih membakar reruntuhan altar, menciptakan cahaya berkedip yang membuat bayangan menari-nari di dinding batu.Kael maju dengan sigap, menangkis serangan sihir dari salah satu penyihir dengan gerakan pedangnya yang cepat. Meskipun pedang naga hitam belum kembali sepenuhnya, kekuatan sejatinya sudah terasah—tubuhnya bergerak seperti air, mengikuti naluri dan pengalaman yang telah ia tempa selama ini.Di sisi lain, Arsel menebas musuh dengan pedang naga emas yang bersinar terang di tengah gelap. Cahaya dari pedangnya seperti mengusir keputusasaan yang menyelimuti ruangan. Ia tak membiarkan satu pun serangan musuh mengenai Kael—mereka saling menutup celah, saling melindungi.“Kita harus hancurkan simbol utama di tengah ruangan itu!” teriak Kael sambil menunjuk lingkaran sihir berwarna merah gelap di lantai.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status