Sosok yang baru saja terlempar itu perlahan bangkit, jubahnya compang-camping, namun sorot matanya tetap angkuh. Ren menatap Kael dengan senyum sinis, bibirnya berdarah tapi semangatnya tidak surut.“Ternyata kau sekuat ini, Kael,” katanya dengan nada setengah kagum, setengah mengejek. “Aku tak menyangka... bocah yang dulu cuma tahu diam bisa menebas bayanganku.”Kael menggertakkan gigi. Tangan di gagang pedang mengepal kuat.“Kau ternyata licik,” ucap Kael tajam. “Bayangan hitam itu… akulah salah satu saksi saat menyerang Akademi. Selama ini kami bertanya-tanya siapa dalangnya, dan kau... kau ada di sana bersama kami, seolah tak tahu apa-apa.”Matanya menyipit. “Padahal kau biang keladinya.”Kerumunan mulai gaduh. Desas-desus menyebar cepat di antara penonton dan para pendekar yang menyaksikan.Ren hanya tertawa kecil. “Kael, Kael… Dunia tidak sehitam putih itu. Kadang yang terlihat setia justru yang paling banyak menyimpan rahasia.” Ia menatap Kael tajam. “Seperti kau.”Kael tidak m
Ruangan itu gelap, hanya diterangi obor di sudut dinding. Aroma besi dan tanah lembap menyelimuti udara. Di tengah ruangan, Ren duduk dengan tangan terikat rantai khusus anti-energi. Wajahnya penuh luka, tapi sorot matanya masih menyimpan kesombongan yang belum padam.Guru Besar berdiri di depannya, mengenakan jubah gelap panjang, wajahnya dingin dan tajam. Ia tidak berbicara segera—hanya menatap, dalam dan menusuk, seolah ingin menembus isi kepala Ren.“Aku tak butuh sandiwara, Ren,” ucap Guru Besar akhirnya, suaranya tenang namun berisi tekanan kuat. “Kita sudah menemukan sisa-sisa aura Bayangan Hitam di kamarmu. Dan saat kau jatuh di arena, segel sihir gelapmu pecah. Tak perlu menyangkal lagi.”Ren mengalihkan pandangan. “Kalau kau sudah tahu… kenapa bertanya?”Guru Besar tetap tak bergeming. “Karena yang kami tahu… belum semua. Aku ingin tahu siapa yang memberimu kekuatan itu. Dan… kenapa kau melakukannya.”Ren tertawa kecil, getir. “Kenapa? Karena Kael! Kalian semua memuja-muja d
Langit mulai berubah jingga saat lonceng besar di pusat arena dibunyikan. Para peserta dan penonton berkumpul, mata mereka tertuju pada panggung utama tempat seorang utusan kerajaan berdiri, membawa gulungan emas bersegel.“Perhatian untuk seluruh peserta turnamen!” serunya lantang. “Pertandingan selanjutnya akan mempertemukan dua tim terakhir dari blok elit… yang akan menentukan siapa yang layak masuk ke babak final!”Gulungan dibuka perlahan. Suasana menjadi hening. Semua menanti.“Tim pertama… Kael dan Arsel dari Akademi Pedang!”Sorakan membahana, disertai beberapa tatapan penasaran. Nama mereka kini sudah dikenal luas sejak kekuatan naga Kael terungkap.“Dan tim kedua… perwakilan khusus dari Kerajaan Utara. Dikenal sebagai saudara kembar pemburu sihir—Dara dan Daruk!”Seketika, bisik-bisik terdengar dari para penonton.“Asal mereka dari Kerajaan Utara?” bisik seseorang. “Aku dengar mereka bisa menyegel kekuatan lawan…” “Bukankah mereka dulu pernah memburu penyihir bayangan?”
Keesokan PagiKeduanya bertemu lagi di balkon tempat biasa mereka berdiri. Hanya ada anggukan singkat, tak perlu kata-kata. Keduanya tahu… hari-hari ke depan akan lebih sulit. Tapi mereka mulai mengerti alasan mereka bertarung.Ruang Pemulihan, Sayap Timur Istana Langit Udara di ruangan itu sunyi. Hanya terdengar suara lembut air dari kendi dan dentingan alat medis. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela lebar, menyinari dua ranjang sederhana tempat Kael dan Arsel terbaring, tubuh mereka penuh perban dan luka lebam.Asmar duduk di kursi antara mereka, sibuk mencampurkan ramuan dari botol-botol kecil yang dibawanya sendiri. Napasnya dalam, tapi wajahnya tegang.“Ini bukan sekadar kelelahan biasa,” gumamnya. “Pertarungan dengan tekanan spiritual tinggi seperti itu bisa menghancurkan inti energi jika tidak ditangani benar.”Kael membuka matanya perlahan, mengerang pelan saat mencoba bergerak.“Jangan paksakan dirimu,” kata Asmar cepat. “Tulang rusukmu retak tiga, dan kamu
“Tak peduli,” jawab mereka serempak. “Asal dunia terbakar bersama naga hitam, itu cukup.”Aura pertempuran memuncak.Asmar melempar jubahnya. Simbol alkemis tingkat tinggi bersinar di dadanya. Kedua tangannya mulai bersinar biru tua—tanda bahwa ia telah mengaktifkan formasi alkimia tempur yang jarang ia gunakan.“Aku tak butuh banyak waktu. Cukup lima menit... untuk membuat kalian menyesal datang ke tempat ini.”Pemimpin penyusup menyerang duluan, membentuk tombak bayangan yang melesat cepat. Tapi Asmar menjentikkan jari, membentuk pelindung sihir berlapis.Penyusup kedua meluncur dari samping, berusaha menebas dengan bilah bercahaya merah. Tapi Asmar sudah mengantisipasi. Ia memutar tubuh, lalu menghempaskan telapak tangan ke dada lawan—ledakan energi alkemis menghantam balik, melempar lawan ke dinding.Satu lawan tumbang.Namun, aura merah dari segel terus menyembur, membuat dua penyusup tersisa makin kuat.Pemimpin mereka mulai berubah bentuk. Tato kalajengking merah menyebar ke wa
Raja melanjutkan, suaranya lebih tegas kini."Namun di balik kekhilafan itu, muncul cahaya baru. Kael, Arsel—kalian tak hanya memenangkan turnamen, tapi telah mencegah bencana besar. Atas keberanian dan pengorbanan kalian, aku ucapkan selamat… dan terima kasih."Semua yang hadir berdiri dan memberi penghormatan. Bahkan para pemimpin kerajaan tetangga ikut mengangguk hormat.Asmar tersenyum kecil dari barisan belakang, bangga melihat murid-murid yang dulu ia rawat kini diakui oleh seluruh wilayah.Setelah upacara, Raja mendekati Kael secara pribadi."Bagaimana kondisi pedang nagamu?" tanya sang raja, dengan suara lebih tenang.Kael menatap lantai sejenak, lalu menjawab, “Masih belum bisa kugunakan. Naga di dalamnya butuh waktu untuk pulih… dan mungkin, aku juga.”Raja mengangguk pelan. "Kau masih muda, tapi sudah membawa beban besar. Jangan terburu-buru. Karena aku yakin, ini bukan akhir… tapi baru permulaan."Di ruang pribadi kerajaan, setelah upacara penghormatan selesai…Raja Lang
Suara pertempuran di sekelilingnya mulai meredam.Yang terdengar kini hanya denyut nadi Kael, dan suara bayangan dari masa lalu…"Ayahmu… ibumu… mereka mati sia-sia," bisik pria bertato kalajengking merah itu, sengaja memancing. "Dan kau… tak akan bisa berbuat apa-apa. Sama seperti dulu."Kael terpaku. Matanya melebar. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pedang mana pun. Bayangan rumah yang terbakar, suara jeritan, dan tubuh ayahnya yang tergeletak—semua muncul dalam kilatan di kepalanya.Tangan Kael bergetar."Diam…" gumamnya.Musuh itu mendekat setengah langkah. "Kau hanya anak pengecut yang kebetulan dipilih pedang naga. Tapi tanpanya, kau—""DIAM!!"Kael menerjang. Tak lagi peduli pada rasa sakit, tak lagi menunggu kekuatan naga kembali. Ia menghantam dengan segala amarah yang telah lama dipendam.Pedangnya menebas cepat, brutal, penuh emosi.Benturan terjadi. Logam bertemu logam.Pria bertato itu tersenyum—namun senyumnya langsung sirna saat ia terpaksa mundur selangkah."
"Kael!" Suara Asmar terdengar panik namun tetap terkontrol saat ia melesat mendekat. Jubahnya berkibar, tangan kirinya sudah memegang botol kristal berisi cairan pemulih tingkat tinggi.Kael terbaring, wajahnya pucat, napasnya berat.Asmar segera berlutut di sampingnya, menekan telapak tangannya ke dada Kael. Aura penyembuhan mulai menyelimuti tubuh Kael, pelan namun stabil. “Bertahanlah. Kau sudah melawan terlalu jauh dengan tubuh seperti ini.”Sementara itu, hanya beberapa langkah dari mereka—Arsel melompat ke udara.Dua musuh yang tersisa langsung menyerang bersamaan, namun mereka tidak tahu satu hal:Arsel dalam mode penuh.“Kau sudah menyakiti sahabatku… Kau akan menyesal.”Pedang naga emas meledak dengan aura cahaya panas, seperti matahari kecil yang baru saja bangkit.DOR!Tebasan pertama menghantam tombak musuh, membuatnya terpental hingga menghantam pohon. Serangan kedua—lebih cepat dari pandangan biasa—menusuk ke arah pengguna pisau bayangan.“ARGHH!” Musuh itu terj
Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han
Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu
Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se
Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk
Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u
Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael
Senja hampir merayap ketika Kael dan Arsel akhirnya tiba di gerbang utama Akademi Pedang. Langit berwarna jingga keemasan, seolah menyambut kepulangan dua pendekar muda yang membawa lebih dari sekadar debu perjalanan. Di tangan mereka—dan dalam ingatan mereka—tersimpan serpihan penting tentang ancaman yang lebih besar dari sekadar bandit biasa.Saat mereka turun dari kuda, penjaga gerbang langsung membuka jalan. Salah satu murid senior segera berlari ke dalam, memberi tahu para pengajar bahwa Kael dan Arsel telah kembali.Tak butuh waktu lama sebelum mereka diantar langsung ke ruang Guru Besar.Di ruangan yang tenang dan dingin itu, Kael meletakkan gulungan catatan dan potongan artefak dari kuil yang mereka temukan di atas meja batu.“Ini bukan kuil utama,” ucap Kael. “Tapi cukup untuk memberi gambaran tentang pola gerakan mereka. Ada lebih dari satu tempat yang dipakai kelompok bayangan hitam. Dan… mereka tampaknya sudah merancang jaringan kuil gelap jauh hari sebelumnya.”Guru Besar
Dengan segenap kekuatan, Kael dan Arsel mengerahkan segala yang mereka miliki. Ruangan tempat ritual berlangsung berubah menjadi medan pertempuran sengit. Api kecil dari ledakan awal masih membakar reruntuhan altar, menciptakan cahaya berkedip yang membuat bayangan menari-nari di dinding batu.Kael maju dengan sigap, menangkis serangan sihir dari salah satu penyihir dengan gerakan pedangnya yang cepat. Meskipun pedang naga hitam belum kembali sepenuhnya, kekuatan sejatinya sudah terasah—tubuhnya bergerak seperti air, mengikuti naluri dan pengalaman yang telah ia tempa selama ini.Di sisi lain, Arsel menebas musuh dengan pedang naga emas yang bersinar terang di tengah gelap. Cahaya dari pedangnya seperti mengusir keputusasaan yang menyelimuti ruangan. Ia tak membiarkan satu pun serangan musuh mengenai Kael—mereka saling menutup celah, saling melindungi.“Kita harus hancurkan simbol utama di tengah ruangan itu!” teriak Kael sambil menunjuk lingkaran sihir berwarna merah gelap di lantai.