Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain
Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene
Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek
Farel terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah, tetapi alih-alih kesal, ia malah tersenyum lebar."Seperti biasa… Aku belum pernah bisa melawanmu, Kakak," katanya, masih tersengal. "Tapi serius… kenapa kau malah di kelas rendah?"Dia menoleh ke Arsel, yang masih berdiri tegak, nyaris tanpa tanda-tanda kelelahan setelah duel sengit barusan. Mata Arsel tetap dingin, tetapi ada kilatan sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa Kael pahami sepenuhnya."Jangan panggil aku seperti itu di sini," ujar Arsel pelan, nadanya tenang namun penuh ketegasan.Kael membelalakkan mata, terkejut dengan kata-kata Arsel. Ia baru sadar kalau selama ini Farel tak pernah memanggil Arsel Kakak.Farel tertawa kecil, mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi itu tidak mengubah fakta, kan? Dengan kekuatanmu, kau seharusnya ada di kelas atas."Dia menatap Arsel dengan penuh pertanyaan, tetapi Arsel hanya menghela napas pelan sebelum berbalik, berjalan menjauh seolah duel tadi tidak ada art
Arsel berhenti sejenak, menoleh sekilas ke arah Farel, lalu mendengus pelan sebelum kembali berjalan. Arsel menghela napas panjang, jelas kesal. Biasanya, Farel bukan tipe yang bawel atau terlalu ikut campur, tapi hari ini dia terus menempel seperti lintah. Ia berhenti tiba-tiba, membuat Kael yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti. Farel, yang masih bersikap santai, nyaris menabraknya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Farel?" suara Arsel terdengar lebih dingin dari biasanya. "Biasanya kau tidak sepeduli ini." Farel tetap tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu di balik senyumnya—sesuatu yang sulit ditebak. "Aku hanya penasaran," katanya, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. "Kau selalu menyembunyikan sesuatu, dan aku ingin tahu apa yang kau rencanakan." Arsel menatapnya tajam. "Aku tidak merencanakan apa pun." Farel mendengus. "Aku tidak percaya." Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Kael hanya berdiri di tengah, merasa seperti orang luar dalam pertengkaran du
Suasana tegang memenuhi ruangan. Kael bisa merasakan udara di sekitarnya terasa lebih berat, seolah ruangan ini dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat. Arsel tetap tenang seperti biasa, berdiri dengan sikap santai, tapi Kael tahu dia juga sedang waspada. Guru Besar mengamati mereka berdua dengan tatapan tajam, lalu akhirnya berbicara. "Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku memanggil kalian ke sini," katanya, suaranya dalam dan berwibawa. Kael menelan ludah, tidak berani menjawab. Guru Besar melanjutkan, "Kael, kau mungkin belum menyadarinya… tapi keberadaanmu di akademi ini lebih dari sekadar seorang murid tanpa roh pedang." Kael terkejut. "Apa maksudnya, Guru?" Guru Besar tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Arsel dengan tatapan penuh arti. "Dan kau, Arsel… kau sudah terlalu lama menyembunyikan sesuatu." Kael melirik Arsel dengan cepat, seperti yang sudah ia duga, wajah Arsel tetap tenang, meskipun sorot matanya sedikit berubah. "Jadi," Guru Besar bersa
Pertarungan dimulai. Kael langsung melompat mundur, matanya terkunci pada Arsel yang berdiri dengan tenang di seberangnya. Dia belum bergerak… Kael menggenggam pedangnya erat. Ia tahu, jika ia hanya menunggu, Arsel yang akan mengambil inisiatif. Dan benar saja—dalam sekejap, Arsel menghilang dari tempatnya. Cepat! Kael hanya sempat mengangkat pedangnya sebelum Arsel muncul di hadapannya, serangannya datang bagaikan kilat. CLANG! Benturan pedang terdengar nyaring, Kael terdorong ke belakang. Kekuatan Arsel jauh lebih besar dari yang ia perkirakan. Tapi Kael tidak menyerah begitu saja. Ia menyesuaikan kuda-kudanya dan berusaha membalas. Pedangnya menebas cepat, mencoba mengejar pergerakan Arsel yang nyaris tak terlihat. Sayangnya setiap serangannya meleset. Kael berusaha kerasa menghindar dan mengimbangi serangan Arsel. Arsel menghindar dengan mudah, matanya tajam, seolah sedang mengamati setiap gerakan Kael dengan penuh perhatian. Dari luar arena, para instruktur mul
Guru Besar mengangkat satu tangan, menahan kekuatan Arsel tepat sebelum serangannya mencapai Kael. Ruangan yang dipenuhi ketegangan tiba-tiba terasa lebih berat. Arsel terhenti, matanya masih menyala dengan emosi yang tak tersalurkan. Bukan hanya kekuatan Guru Besar yang terasa saat itu. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang aneh. Guru Besar dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah Kael. Tapi tidak ada tanda-tanda kekuatan roh dari tubuhnya. Kael tampak biasa saja, wajahnya sedikit lelah, tapi tak menunjukkan ekspresi ketakutan atau kesadaran akan apa yang sebenarnya terjadi. Kael menggigit bibirnya, menundukkan kepala. "Maaf, Guru. Aku sudah membuat Guru harus turun tangan membantuku. Karena kelemahanku, aku malah menjadi beban bagi kalian." Guru Besar menarik napas dalam, lalu menatapnya tajam. "Aku harap ini tidak terjadi lagi, Kael." Kael mengangguk hormat, menerima nasihat itu tanpa perlawanan. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Arsel atau para instruktur yang masih t
Kael menegang. Pertanyaan itu langsung menusuk ke inti pikirannya. Bagaimana Asmar tahu? Dengan sisa tenaganya, Kael mencoba duduk tegak, meski tubuhnya masih terasa lemah. Matanya menatap tajam ke arah lelaki paruh baya itu. "Apa maksudmu?" Asmar hanya tersenyum tipis. "Aku sudah lama mengamati akademimu, Nak. Dan serangan tadi malam bukan sekadar serangan acak. Itu adalah ujian." Kael mengernyit. "Ujian?" Asmar mengangguk. "Para penyerang itu tidak datang untuk menghancurkan akademimu. Mereka datang untuk mengukur kekuatan murid-murid di sana… dan mencari seseorang yang cukup kuat untuk tujuan mereka." Jantung Kael berdegup lebih cepat. "Mereka… sedang mencari seseorang?" "Ya," jawab Asmar dengan tenang. "Dan kau salah satu yang mereka incar." Ruangan terasa semakin sunyi. Kael ingin menyangkal, tapi semuanya mulai masuk akal. Serangan mendadak, cara musuh menghilang begitu cepat, pengkhianat di dalam akademi… semuanya terasa seperti bagian dari rencana yang lebih b
Kael dan Arsel berdiri diam di tengah kegelapan, mencoba mencari tanda-tanda kehadiran sosok yang mereka kejar. Namun, bayangan itu benar-benar menghilang—seolah-olah ditelan oleh malam. "Tidak mungkin," bisik Arsel. "Aku yakin dia ada di sini beberapa detik yang lalu." Kael menggenggam pedangnya lebih erat. "Ini bukan pertama kalinya seseorang menghilang begitu saja. Kita sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak biasa." Arsel mengangguk. "Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati." Mereka berdua mundur perlahan, memutuskan untuk kembali ke kamar sebelum seseorang menyadari keberadaan mereka di luar asrama. Namun, tepat saat mereka berbalik, sesuatu menarik perhatian Kael. Di tanah, di tempat bayangan itu menghilang, ada secarik kain hitam tersangkut di ranting semak. Kael berlutut dan mengambilnya. Kain itu terasa kasar, seolah berasal dari jubah berat yang sering digunakan untuk perjalanan jauh atau penyamaran. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah bau samar
Di akademi, persiapan untuk Kompetisi Antar Akademi semakin intens. Setiap tingkat diharuskan mengajukan perwakilan terbaik mereka untuk bertanding dalam berbagai cabang—pertarungan, strategi, dan kecepatan berpikir. Para murid sibuk berlatih, aula utama dipenuhi suara dentingan senjata, percikan energi sihir, serta diskusi serius tentang taktik dan strategi.Kael, yang sebelumnya terganggu oleh pikirannya tentang para bandit, mencoba fokus. Ia tahu bahwa kompetisi ini adalah kesempatan besar—bukan hanya untuk membuktikan kemampuannya, tetapi juga untuk menjadi lebih kuat."Baiklah, semua berkumpul!" suara Guru Besar menggema di halaman akademi, memanggil para murid terbaik dari setiap tingkat. "Kami akan mengumumkan siapa saja yang terpilih untuk mewakili akademi dalam kompetisi tahun ini!"Kerumunan langsung hening. Semua menahan napas, menunggu pengumuman itu.Kael mengepalkan tangannya. Apakah ia cukup layak untuk dipilih? Atau justru harus menonton dari pinggir lapangan?Guru Bes
Malam itu, mereka kembali ke asrama. Mereka tidak banyak bicara, hanya beristirahat setelah hari yang melelahkan. Kael berdiri di dekat jendela, menatap bulan. Pertandingan Antar Akademi sudah dekat. Latihan mereka mungkin telah berakhir, tetapi pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.Guru besar memberikan waktu untuk bersiap. Kael memanfaatkan waktu luang untuk kembali mencari informasi tentang para bandit. Sudah lama ia tidak pergi ke tempat itu, dan pikirannya terus dipenuhi rasa penasaran. Saat ia bersiap untuk pergi, Arsel, sahabatnya, memperhatikannya dengan curiga. "Kau mau ke mana, Kael?" tanyanya, menyilangkan tangan di dada. "Ke tempat kemarin, di gang dekat pasar," jawab Kael sambil menyesuaikan sarung pedangnya. Arsel mengerutkan kening. "Apa kau masih menyelidiki para bandit?" Kael mengangguk. "Iya. Aku penasaran, jadi aku akan kembali ke sana." Arsel mendesah, lalu tersenyum tipis. "Aku ikut." Tanpa menunggu persetujuan, ia sudah menyambar senjatanya
Hari-hari berikutnya menjadi neraka bagi Kael dan timnya. Setiap pagi, mereka harus berlari melintasi gunung di belakang akademi. Siang hari dihabiskan dengan latihan fisik brutal, mengangkat batu besar, menahan postur bertarung selama berjam-jam, dan serangan tanpa henti ke balok kayu hingga tangan mereka mati rasa. Sore harinya, latihan teknik dimulai. Guru Besar menghadapkan mereka pada berbagai skenario pertempuran—melawan banyak musuh, menghadapi tekanan tanpa istirahat, bahkan pertarungan dalam kegelapan. "Dalam Pertandingan Antar Akademi, tidak ada yang akan menyesuaikan diri dengan kelemahan kalian," kata Guru Besar. "Jika ingin menang, kalian harus bisa bertarung dalam kondisi apa pun." Di hari kelima, Kael mulai merasakan batas fisiknya. Kakinya nyaris tidak bisa berdiri, tangannya gemetar, dan napasnya terasa berat. Guru Besar tidak membiarkannya berhenti. "Bangun, Kael. Lawanmu belum tumbang." Kael terhuyung, tetapi ia memaksa tubuhnya berdiri. Lawan di depa
Saat sorakan kemenangan masih menggema, Guru Besar berdiri dari tempat duduknya. Tatapannya terfokus pada Kael dan timnya. Para murid lain mungkin hanya melihat sekelompok anak berbakat yang memenangkan kompetisi, tetapi Guru Besar melihat lebih dari itu. Mereka bukan hanya kuat—mereka memiliki potensi yang luar biasa. Terutama Kael. "Aku harus mengawasi mereka lebih dekat," gumamnya. Tanpa menunggu lama, Guru Besar turun ke arena. Kael dan timnya baru saja selesai merayakan kemenangan mereka ketika suasana tiba-tiba menjadi hening. Semua murid menunduk hormat saat Guru Besar berjalan mendekati mereka. Kael menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakan. "Kael. Arsel. Rael. Daren." Suara Guru Besar menggema di seluruh arena. "Kalian telah menunjukkan sesuatu yang tidak dimiliki murid lain—kerja sama, strategi, dan tekad yang kuat." Kael dan yang lainnya saling berpandangan, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. Lalu, Guru Besar menatap me
Sebelum Kael bisa mengatakan apa pun, Guru Besar menarik napas panjang dan mengurangi tekanannya. "Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan… tapi ingat satu hal." Ia menatap Kael dengan serius. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Kael menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini peringatan… atau ancaman. Satu hal yang pasti—Guru Besar mulai curiga. Dan itu berarti… Kael harus lebih berhati-hati mulai sekarang.Kael berjalan kembali ke ruang istirahat dengan pikiran yang penuh. Percakapan dengan Guru Besar tadi masih terngiang di kepalanya. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Apa maksud dari peringatan itu? Saat ia masuk ke ruangan, Arsel langsung menghampirinya. "Hei, apa yang Guru Besar inginkan?" tanyanya penasaran. Rael dan Daren juga menoleh, menunggu jawaban. Kael menghela napas dan duduk di kursinya. "Tidak banyak. Dia hanya pena
Pemimpin Serigala Hitam terhuyung setelah serangan Kael menghantamnya dengan telak. Teknik bayangan yang menjadi andalan mereka mulai menghilang! Sorakan penonton menggema di seluruh arena. Pertarungan belum sepenuhnya selesai. Dua anggota Serigala Hitam masih berdiri, meskipun mereka kini kehilangan keunggulan taktik mereka. Kael tidak memberi mereka kesempatan untuk pulih! Dengan kecepatan luar biasa, ia menyusul salah satu lawan yang mencoba kabur ke belakang. "Kau tidak bisa lari!" Kael melompat, mendaratkan serangan keras ke dada lawannya! BRUGH! Lawan itu terpental keluar arena. "Peserta Serigala Hitam tereliminasi!" seru wasit. Kini hanya tersisa satu lawan terakhir. Sisa anggota tim Serigala Hitam menggertakkan giginya, matanya penuh ketakutan. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa seluruh timnya telah tumbang. "Tsk… Aku tidak akan kalah tanpa perlawanan!" teriaknya sambil menghunus senjatanya, sebelum ia sempat bergerak—Kael sudah ada di hadapannya! "Te
Serangan tim Serigala Hitam semakin intens! Mereka menggunakan ilusi, serangan bayangan, dan kecepatan luar biasa untuk mengacaukan formasi tim Kael. Kael merasa kesulitan—lawannya terus muncul dan menghilang, membuatnya sulit membaca arah serangan berikutnya. "Jika terus seperti ini, kita akan kalah tanpa sempat menyerang balik!" pikir Kael. Arsel menghindari serangan yang datang dari belakangnya dan berteriak, "Jangan terpancing! Mereka ingin kita menyerang asal-asalan!" Daren tetap tenang, matanya fokus membaca pola serangan musuh. "Ada jeda setengah detik setiap kali mereka berteleportasi… itu celahnya." Kael langsung menangkap maksud Daren. "Baik, kita ubah strategi!" Saat salah satu anggota Serigala Hitam muncul untuk menyerang, Kael berpura-pura terpojok. Lawan itu tertipu dan langsung maju untuk menyelesaikan serangan—tapi itu kesalahan fatal. Rael, yang sudah bersembunyi di bayangan, langsung menyerang dengan cepat! "Kena kau!" Serangan Rael menghantam tel