Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.
Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan. Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepat yang membuat Kael terkejut. Serangan itu begitu kuat dan tepat hingga Kael hampir kehilangan keseimbangan. Namun, kali ini dia tidak hanya bertahan dengan kekuatan fisiknya saja. Dia memusatkan tenaga dalamnya, membiarkan aliran energi itu mengalir ke dalam Pedang Naga. Dengan satu tebasan, dia berhasil menangkis serangan Kakek Ling, bahkan membuat sang pendekar tua mundur beberapa langkah. Kakek Ling tersenyum puas. “Bagus, Kael. Kau mulai memahami kekuatan Pedang Naga. Tapi ingat, ini baru permulaan. Masih banyak yang harus kau pelajari.” Kael tersenyum tipis, meski napasnya masih tersengal-sengal. Dia merasakan bahwa ada lebih banyak kekuatan di dalam dirinya yang belum sepenuhnya ia sadari. “Kau masih memikirkan tentang orang itu, bukan?” Suara Kakek Ling memecah keheningan malam saat mereka duduk di depan api unggun. Kael menatap api yang berkobar di depannya. “Ya, Kek. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia yang membunuh keluargaku. Dia yang menghancurkan desaku. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?” Kakek Ling menatap Kael dengan penuh kebijaksanaan. “Aku tidak mengatakan bahwa kau harus melupakan. Tetapi ingatlah, Kael, bahwa kekuatan yang kau dapatkan sekarang bukan hanya untuk balas dendam. Kau telah tumbuh menjadi seorang pendekar yang kuat, tetapi kekuatan sejati datang untuk melindungi.” "Baik, Kek. Aku akan berusaha menggunakan kekuatan ini untuk kebaikan," ucap Kael dengan keyakinan akan kekuatannya sekarang. *** Siang itu, Kael berjalan menyusuri jalanan pasar yang ramai di pusat Kerajaan Zarkan. Hari ini, dia memanfaatkan waktu luangnya untuk mencari informasi tentang para bandit. Kael merasa tidak bisa hanya berdiam diri. Ia tahu, untuk menghadapi ancaman besar ini, dia perlu mengetahui lebih banyak tentang musuhnya. Pasar menjadi tempat yang strategis bagi Kael untuk mencari petunjuk. Di tempat ini, banyak orang berlalu-lalang, para pedagang dari berbagai desa berkumpul untuk menjajakan barang-barang mereka, dan gosip beredar dengan cepat. Di antara hiruk-pikuk pasar, Kael bisa mendengar percakapan orang-orang tentang ketidakpuasan terhadap kerajaan dan ketakutan akan aliran hitam. "Dengar-dengar, mereka menyerang lagi di desa sebelah," gumam seorang pria di salah satu sudut pasar. "Benar. Mereka tidak hanya merampok, tapi juga membunuh tanpa belas kasihan. Siapa yang bisa menghentikan mereka sekarang? Pemerintah sepertinya tak peduli," jawab pria lain dengan nada putus asa. Kael semakin serius mendengarkan. Dari percakapan itu, dia mulai mendapatkan gambaran bahwa para bandit sudah merajalela, tidak hanya menyerang desa-desa di dalam Kerajaan Zarkan, tetapi juga desa-desa di luar perbatasan kerajaan. Mereka sudah menjadi ancaman yang meluas, semakin meresahkan dan membawa kehancuran di mana-mana. Sayangnya, informasi yang didapatkan Kael di pasar masih belum lengkap. Setelah berjam-jam berkeliling pasar, Kael melangkah pulang dengan langkah yang terasa berat. Pikiran tentang para bandit aliran hitam terus menghantuinya. Bagaimana mungkin kerajaan tidak mengambil tindakan tegas untuk menghentikan mereka? Tiba-tiba, sebuah benturan keras mengejutkannya. Seorang pria paruh baya menabraknya dengan tubuh terhuyung-huyung. Kael menoleh dan melihat pria itu dalam keadaan panik dengan napas tersengal-sengal. “Tolong... tolong aku,” kata pria itu dengan suara terputus-putus. “Mereka... mereka mengejarku.” Kael dengan cepat menyadari bahwa pria itu sedang dikejar oleh sekelompok bandit. Matanya menyapu sekeliling dan melihat beberapa pria berpakaian lusuh dengan wajah garang berjalan cepat mendekati mereka. “Para bandit sialan," bisik Kael dalam hati. Seketika, darahnya mendidih. Dia merasakan kemarahan dan dorongan untuk bertindak. Kael tidak akan membiarkan pria ini menjadi korban berikutnya. Dengan cepat, Kael berdiri di depan pria paruh baya itu, melindunginya dari para bandit yang semakin mendekat. Dia meraba gagang pedangnya dan menghunus Pedang Naga dengan tekad bulat. “Pergi dari sini jika kalian ingin hidup,” ujar Kael dengan suara dingin dan mantap. Para bandit menghentikan langkah mereka sejenak, menatap Kael dengan tatapan penuh penghinaan. Salah satu dari mereka menyeringai dan berkata, “Kau pikir kau bisa menghalangi kami?" Kael tidak menggubris ancaman itu. Dia hanya mempererat cengkeramannya pada Pedang Naga, merasakan energi yang mengalir melalui senjata kuno tersebut. Ketika para bandit menyerang, Kael bergerak dengan kecepatan luar biasa. Gerakannya halus, seperti aliran air, tetapi mematikan seperti petir. Pertarungan pun terjadi. Kael yang belum pernah bertarung melawan banyak musuh sekaligus mulai mengatur strategi. Tanpa rasa takut, Kael mengayunkan pedangnya, menebas satu per satu musuh yang ada di hadapannya. Jumlah musuh yang banyak mulai membuatnya kesulitan. Ia mempercepat gerakannya dan mencoba menghindari serangan. Satu per satu musuh berhasil dikalahkan. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, mereka tidak memiliki koordinasi dan kekuatan seperti Kael. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, bandit yang tersisa mencoba melarikan diri. Salah satu dari mereka berhasil kabur, berlari dengan cepat. Setelah situasi aman, Kael menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup cepat. Aroma besi dari darah yang menempel di bilah Pedang Naga terasa samar di udara. Dia melangkah mendekati pria paruh baya yang masih terduduk di tanah dengan napas tersengal-sengal. "Apa kau tidak apa-apa, Pak Tua?" tanyanya, suaranya masih diliputi sisa ketegangan pertempuran. Pria itu mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh rasa syukur dan kelegaan. "Tidak apa-apa, Anak Muda. Kau hebat. Terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan suara serak. Kael mengangguk, menyarungkan kembali pedangnya. "Sudah jadi kewajibanku, Pak," ujarnya, meski dalam hati dia tahu masih banyak yang harus dia pelajari. Meskipun menang, pertarungan tadi membuatnya sadar bahwa jumlah bisa menjadi ancaman besar. Jika saja lawannya lebih terorganisir, hasilnya mungkin berbeda. Pria tua itu bangkit perlahan, menepuk-nepuk debu di jubahnya. Matanya memperhatikan Kael dengan penuh ketertarikan. "Aku melihat kehebatan pedangmu. Aku dengar Akademi Kerajaan sedang menerima siswa baru. Apa kau tidak tertarik untuk masuk ke sana?" tanyanya. Kael sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Akademi Kerajaan? Tempat para pendekar terbaik dilatih? Itu bukan pertama kalinya dia mendengar tentang tempat itu, tetapi dia tak pernah benar-benar memikirkannya. "Aku akan membicarakannya nanti dengan Kakekku. Terima kasih atas informasinya," jawab Kael, meskipun dalam hatinya, rasa penasaran mulai tumbuh. Pria tua itu tersenyum tipis. "Iya. Aku juga berterima kasih. Aku hanya merasa bakat pedangmu akan sia-sia jika kau tetap tinggal di desa terpencil ini," katanya sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Kael yang masih termenung di tempatnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma rempah dari pasar yang mulai sepi. Langit mulai berubah jingga keemasan, menandakan matahari perlahan tenggelam di cakrawala. Kael berbalik dan mulai berjalan pulang, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata pria tua itu terngiang di kepalanya. Dia menatap tangannya yang masih terasa hangat setelah pertarungan tadi. Sorot matanya menajam, mencengkeram gagang pedangnya dengan lebih erat. "Apa aku harus turun gunung dan berlatih di akademi?" batin Kael yang masih bingung dengan keputusannya.Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka
Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa
Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran
Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain
Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene
Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek
Farel terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah, tetapi alih-alih kesal, ia malah tersenyum lebar."Seperti biasa… Aku belum pernah bisa melawanmu, Kakak," katanya, masih tersengal. "Tapi serius… kenapa kau malah di kelas rendah?"Dia menoleh ke Arsel, yang masih berdiri tegak, nyaris tanpa tanda-tanda kelelahan setelah duel sengit barusan. Mata Arsel tetap dingin, tetapi ada kilatan sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa Kael pahami sepenuhnya."Jangan panggil aku seperti itu di sini," ujar Arsel pelan, nadanya tenang namun penuh ketegasan.Kael membelalakkan mata, terkejut dengan kata-kata Arsel. Ia baru sadar kalau selama ini Farel tak pernah memanggil Arsel Kakak.Farel tertawa kecil, mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi itu tidak mengubah fakta, kan? Dengan kekuatanmu, kau seharusnya ada di kelas atas."Dia menatap Arsel dengan penuh pertanyaan, tetapi Arsel hanya menghela napas pelan sebelum berbalik, berjalan menjauh seolah duel tadi tidak ada art
Arsel berhenti sejenak, menoleh sekilas ke arah Farel, lalu mendengus pelan sebelum kembali berjalan. Arsel menghela napas panjang, jelas kesal. Biasanya, Farel bukan tipe yang bawel atau terlalu ikut campur, tapi hari ini dia terus menempel seperti lintah. Ia berhenti tiba-tiba, membuat Kael yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti. Farel, yang masih bersikap santai, nyaris menabraknya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Farel?" suara Arsel terdengar lebih dingin dari biasanya. "Biasanya kau tidak sepeduli ini." Farel tetap tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu di balik senyumnya—sesuatu yang sulit ditebak. "Aku hanya penasaran," katanya, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. "Kau selalu menyembunyikan sesuatu, dan aku ingin tahu apa yang kau rencanakan." Arsel menatapnya tajam. "Aku tidak merencanakan apa pun." Farel mendengus. "Aku tidak percaya." Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Kael hanya berdiri di tengah, merasa seperti orang luar dalam pertengkaran du
Malam sudah turun sempurna ketika Kael dan Arsel menyusup ke tepian desa Arvind. Api dari ladang yang dibakar para bandit menyala redup di kejauhan, cukup untuk membuat siluet musuh terlihat… dan cukup untuk menyembunyikan dua sosok dalam bayang-bayangnya.“Jangan langsung menyerang,” bisik Arsel. “Kita belum tahu berapa banyak dari mereka.”Kael mengangguk. Mereka melangkah pelan di antara rumah-rumah yang hangus. Bau kayu terbakar dan hembusan angin malam menyatu dengan suara teredam tawa kasar para bandit di kejauhan. Beberapa penduduk terlihat diikat di depan balai desa. Tak ada penjaga yang terlalu waspada. Mereka terlalu percaya diri.“Mereka bukan hanya bandit… lihat simbol itu.” Arsel menunjuk salah satu bendera kecil yang tertancap di tanah—gambar ular berlingkar pada tengkorak. “Kelompok pemburu sihir. Mereka pernah muncul di perbatasan barat.”Kael merapat ke dinding. Pandangannya tajam. “Berarti kita tidak boleh sembarangan. Kalau salah langkah, warga bisa jadi sande
Angin dingin menerpa wajah Kael saat ia melangkah ke tengah arena batu. Di seberangnya, Arsel telah bersiap, pedang naga emas bersinar hangat, kontras dengan aura gelap yang merayap dari pedang naga hitam di tangan Kael. Di atas mereka, kristal latihan berputar perlahan, memancarkan cahaya yang membentuk lingkaran medan gravitasi tidak stabil.Guru Besar berdiri di pinggir arena, tangannya terlipat. "Latihan ini sederhana. Bertahan selama satu jam di dalam medan kacau ini… tanpa saling membunuh."Arsel melirik Kael. “Siap?” Kael mengangguk, “Kukira tidak ada latihan elit yang masuk akal.”Begitu kristal bersinar penuh, medan pun berubah.Tubuh mereka seketika ditarik ke arah yang berbeda. Kekuatan naga dalam masing-masing pedang memberontak—pedang emas mendorong, pedang hitam menarik. Langkah mereka berat, gerakan terhambat, dan koordinasi jadi mimpi buruk.“Aku ke kiri!” teriak Arsel. “Kukira ini ke tengah!” Kael membalas, meleset sepersekian detik.Seketika, ledakan kecil dari
Beberapa hari setelah duel, Akademi menerima laporan dari wilayah utara: markas perbatasan diserang. Tapi anehnya, tidak ada tanda serangan frontal… hanya jejak kabut hitam dan tubuh-tubuh yang terbaring dalam tidur tanpa mimpi.Guru Besar memanggil Kael dan Arsel ke ruang dalam.“Kekuatan kalian sudah dilihat dunia… dan itu mengundang perhatian.”Ia menggelar gulungan tua di meja. Simbol yang sama dengan yang ada di surat Kakek Ling muncul—bayangan berbentuk tangan yang mencengkeram matahari.“Mereka yang dulu disebut sebagai *Bayangan Tertutup*… kelompok rahasia yang percaya bahwa kekacauan akan melahirkan dunia baru.”“Dan sekarang, mereka memburumu, Kael.” Tugas Rahasia PertamaKael dan Arsel ditugaskan menyelidiki perbatasan utara. Tapi kali ini, mereka tidak hanya berdua. Akademi mengirim satu tim elit: para pendekar muda, penyihir pelacak, dan bahkan satu penjaga rahasia dari istana.Namun sebelum berangkat, Guru Besar berkata kepada Kael, “Jangan hanya andalkan pedangmu. La
Angin musim gugur menyambut Kael saat ia melewati gerbang besar Akademi Pedang. Jubah hitamnya berkibar pelan, dan langkah kakinya mantap. Di pundaknya tergantung pedang naga hitam—bisu, namun terasa berbeda. Tidak lagi mendominasi Kael… tapi kini menyatu dengannya.Tidak banyak yang tahu apa yang terjadi di Gunung Tersembunyi. Tapi aura Kael membuat siapa pun yang melihatnya langsung diam. Ada sesuatu dalam matanya. Kedalaman. Keteguhan. Seolah ia telah menatap kegelapan—dan kembali membawa cahaya dari sana.Arsel adalah orang pertama yang menyambutnya. Ia sedang berlatih di halaman barat saat melihat sosok Kael dari kejauhan.“Akhirnya kau kembali.” Suara Arsel terdengar datar, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.Kael mengangguk. “Aku pulang.”Mereka tidak perlu banyak kata. Tapi Arsel bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Saat mereka bersalaman, ia terkejut.“Tanganmu… terasa seperti batu. Kau latihan atau bertarung melawan gunung?”Kael tersenyum kecil. “Keduanya.”Banyak
Pagi di gunung kembali dingin. Kabut masih menggantung rendah saat Kael membuka matanya, tubuhnya masih terasa berat, tapi jauh lebih baik. Yang pertama ia lihat adalah Kakek Ling, berdiri di depan pintu, tangan bersilang, matanya tajam seperti biasa.“Kau cukup tidur seperti batu. Sekarang saatnya kembali hidup.”Kael bangkit perlahan, duduk dengan nafas panjang.“Maaf… aku—”“Jangan minta maaf. Tapi jangan ulangi kebodohanmu juga,” potong Kakek Ling. “Kalau kau mau mati, tunggu sampai pelatihanku selesai. Baru setelah itu, kau bebas bunuh dirimu sendiri di medan perang.”Kael tersenyum kecut. Tapi ia tahu… itu bentuk perhatian. Kakek Ling mengganti metode. Kali ini bukan sekadar menggerakkan tubuh, tapi menyelaraskan kesadaran dan perasaan."Kekuatan naga hitam bukan sekadar serangan dan kekuatan kasar. Ia adalah kekuatan yang tumbuh dari bayanganmu sendiri. Kau harus belajar menyatu dengan itu—tanpa dikendalikan olehnya."Kael berjalan seorang diri menyusuri hutan di kaki gunung,
.Tak lama kemudian, sosok berjubah kelabu muncul dari balik kabut. Langkahnya tenang, senyumnya nyaris tak terlihat, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara seolah menjadi lebih dingin.“Sudah lama aku tak melihat tempat ini... dan kau, Kakek Ling.”Kakek Ling bergeming. Tatapannya menjadi dingin. “Aku tak pernah mengundangmu kembali.”“Tapi aku tahu kau sedang melatih seseorang spesial. Murid yang menyimpan naga hitam dalam tubuhnya…”Kael langsung memasang kuda-kuda. “Siapa kau?”Orang itu hanya menoleh dengan tenang. “Namaku tidak penting. Tapi kau boleh memanggilku... Veynar.”Ia berjalan mendekat, dan dalam satu gerakan cepat—tubuhnya melesat ke depan, menebas udara dengan tangan kosong.Kael nyaris tak sempat menangkis. Angin serangan itu menghantam tubuhnya hingga tergeser beberapa langkah.“Ini bukan tantangan, bocah. Ini... peringatan.”Kakek Ling maju selangkah, aura tekanan keluar dari tubuhnya. “Kau tak punya hak menyentuh muridku.”Veynar berhenti. L
Sosok bertopeng itu melangkah pelan ke arah Kael. Tanah bergetar ringan tiap kali kakinya menginjak bumi. Di tangannya, senjata kristal hitam itu menyala samar—seolah berdenyut dengan napas makhluk asing.Kael mengangkat kuda-kudanya. Ia bisa merasakan hawa tekanan dari lawan ini. Berbeda dari bandit sebelumnya. Lebih… sadar.“Siapa kau?” tanya Kael, mencoba mengulur waktu.Tak ada jawaban. Hanya desiran napas berat dari balik topeng logam itu. Lalu, serangan datang secepat kilat.Blaaam!Kael nyaris tak sempat menangkis. Tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang. Debu naik tinggi. Lengan kirinya terasa kebas.“Cepat… dan kuat,” gumamnya, berdiri lagi.Bandit bertopeng maju lagi, dan duel pun pecah—pukulan, tendangan, dan ayunan senjata saling bertemu di tengah-tengah kepulan asap dan jerit warga yang masih bertahan.Kael tak melawan dengan kekuatan besar, tapi dengan kelincahan. Ia menghindar, memutar, memanfaatkan ketidakseimbangan lawannya. Tapi setiap kali senjata itu nyaris
Pagi itu Kakek Ling membawa Kael ke jalur curam di lereng belakang gunung. Batu-batu tajam berserakan. Akar pohon menyembul seperti perangkap. Udara tipis dan berat.Kael sudah siap untuk lari, lompat, atau menahan beban berat.Tapi perintah Kakek Ling justru membuatnya bingung.“Kau akan menapaki jalur ini seribu langkah... tanpa mengatur napas lebih dari satu tarikan.”Kael memutar kepala. “Satu tarikan... untuk seribu langkah? Itu tidak mungkin.”“Tepat,” jawab Kakek Ling dengan tenang. “Itulah kenapa hanya sedikit yang bisa menyelesaikannya.”Kael memandang jalur itu, panjang dan penuh rintangan. “Dan kalau aku gagal?”“Kau ulangi dari awal.”Kael menarik napas panjang, lalu mengangguk.Langkah pertama dimulai. Satu tarikan napas. Kaki bergerak perlahan, matanya fokus pada tiap pijakan.Lima puluh langkah pertama berjalan baik. Tapi tubuh mulai berontak. Napasnya terasa menggantung. Paru-parunya menjerit.Langkah ke seratus… lalu dua ratus. Tubuhnya mulai gemetar. Kepala
Fajar belum sepenuhnya muncul saat Kael keluar rumah. Udara dingin menusuk, tapi Kakek Ling sudah berdiri di halaman belakang, memandangi arah timur, seperti sedang membaca isyarat dari angin.Tanpa menyapa, ia menunjuk ke sebuah ember tua yang diletakkan di tanah. Ember itu jelas sudah tua dan penuh lubang kecil di dasar dan sisinya.“Ambil air dari sungai di bawah bukit, dan isi wadah batu itu sampai penuh,” kata Kakek Ling, menunjuk ke sebuah cekungan batu besar di dekat pohon.Kael menatap ember itu, lalu wadah batu. Jaraknya cukup jauh. Tapi yang lebih aneh—ember itu jelas tak akan bisa menampung air karena bocor di banyak tempat.“Tapi... ini akan langsung tumpah sebelum aku sampai sini,” protes Kael.Kakek Ling hanya menatapnya datar. “Lakukan.”Kael menggertakkan gigi, mengambil ember itu, dan berjalan menuruni bukit ke arah sungai. Ia mengisi air, dan seperti yang diduganya, air mulai bocor sebelum ia kembali separuh jalan. Ia tetap berjalan, menumpahkan sebagian besar air se