Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat.
“Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.
“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.
“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.
Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.
“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas dendam yang Kael miliki.
Kael menatap pedang naga itu dengan rasa kagum, asap hitam mulai keluar dari pedang yang Kael pegang. Disusul dengan kemunculan bayangan naga hitam yang megaum menunjukan kekuatan besarnya.
Kakek Ling yang melihat itu merinding hingga dingin terasa, aura membunuh yang begitu kuat, “Sepertinya kekuatan legenda itu benar, tapi ada yang aneh dengan aura hitam yang begitu kual, aku belum pernah mendengar tentang pedang naga hitam,” batin Kakek Ling yang masih terpaku melihat Pedang Naga Hitam
“Aku memilihmu anak muda, lakukan balas dendam yang kau inginkan,” suara naga hitam yang menggema membuat awan gelap muncul disertai angin kencang.
Kael melihat kegerian itu, seluruh badanya terasa seperti terkoyak, ia terus menahan. Tapi ternyata kekuatan pedang naga tidak bisa ia terima. Seketika Kael pingsan dan bayangan naga hitam menghilang, seta langit yang tadinya gelap kini berubah jadi sedia kala.
Kakek Ling langsung menghampiri Kael dan berusaha menyembuhkan luka tenaga dalamnya, yang tak seimbang. Pedang naga hitam itu sudah kembali kesedia kala sepertinya Kael belum cukup kuat untuk menerima kekuatan besar pedang naga.
“Sepertinya kekuatanmu masih lemah,” kata Kakek Ling yang memapah Kael untuk beristirahat setelah apa yang terjadi.
Kael terbaring lemas, ia memejamkan mata. Seketika kesadarannya menghilang ia berada di tempat asing di alam bawah sadarnya. “Tempat apa ini?” batin Kael yang seketika langsung sadar melihat sosok naga hitam yang sedang memandangnya.
“Ini alam bawah sadar mu, kau telah membangkitkanku, tapi kau tidak cukup kuat untuk bisa menggunakan ku, belajarlah ilmu pedang dari kakek yang sedang merawatmu tadi, aku melihat jika kakek itu sudah tingkat master. Jika kau sudah setingkat dengan dia, baru kau bisa menggunakanku.”
Setelah mendengar itu semua Kael langsung sadar, ternyata hari sudah pagi, Kakek Ling tak ada di dalam rumah. Pesan yang cukup jelas dari sang naga membuat Kael berlari mencari Kakek Ling.
Dengan nafas terenggah Kael menghampiri Kakek Ling yang sedang duduk santai dibawah pohon. “Kakek, aku ingin berlatih pedang.”
Kakek Ling mengangguk perlahan, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia masih mempertanyakan kesiapan Kael. Kakek Ling, dengan gerakan lambat namun penuh kontrol, bangkit dari tempat duduknya dan mengambil posisi berdiri di depan Kael. “Baiklah, kalau begitu, kita akan mulai dengan latihan dasar pengendalian tenaga dalam. Ingat, pedang ini memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang terlihat. Jika kau tidak bisa mengendalikan dirimu, pedang ini akan mengambil alih.”
Kael menarik napas dalam-dalam. Dia telah mendengar cerita tentang pendekar yang mencoba menguasai Pedang Naga dan berakhir dengan kegilaan atau kematian. Pedang ini tidak hanya menguji kekuatan fisik, tetapi juga mental.
“Angkat pedangmu,” perintah Kakek Ling sambil mengambil sikap siap bertarung.
Kael mengangkat Pedang Naga dengan kedua tangannya, pedang itu nampak seperti pedang biasa, kekuatan besar didalamnya seakan menghilang.
“Kendalikan nafasmu. Jangan biarkan emosimu mendominasi gerakanmu,” ujar Kakek Ling, lalu menyerang Kael dengan gerakan cepat dan tak terduga.
Kael berusaha keras menangkis serangan itu, namun ia masih terlalu lambat. Kakek Ling, meskipun sudah tua, masih bergerak seperti angin. Pedangnya tidak pernah mengarah langsung ke Kael, tetapi setiap gerakan tampak seperti kilatan yang bisa menyerang kapan saja. Kael mundur dengan cepat, berusaha mencari celah untuk membalas serangan.
“Jangan tergesa-gesa!” seru Kakek Ling.
Kael mencoba mengikuti nasihat itu. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memusatkan pikirannya, berusaha mendengarkan getaran dari pedang di tangannya. Aneh, tapi dia mulai merasakan sesuatu—seperti aliran energi yang mengalir melalui gagang pedang ke tubuhnya. Dengan sedikit kendali, dia menggerakkan pedang itu dalam pola-pola yang dia pelajari selama berbulan-bulan. Gerakannya mulai menyatu dengan aliran energi dari pedang tersebut.
Kakek Ling menghindari serangan itu dengan mudah, namun raut wajahnya berubah. “Kau masih terlalu terburu-buru, Kael. Emosi mengendalikanmu, bukan sebaliknya.”
Kael terhenti, napasnya terengah-engah. Dia bisa merasakan pedang itu menolak gerakannya ketika emosinya tidak terkendali. Tiba-tiba, pedang itu terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah menolak untuk digunakan oleh seseorang yang tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Amarah Kael berubah menjadi frustrasi. Bagaimana dia bisa mengendalikan kekuatan sebesar ini ketika pikirannya terus-menerus diserang oleh rasa dendam?
Kakek Ling menatapnya dengan pandangan penuh pengertian, namun juga dengan kebijaksanaan yang dalam. “Kael, kau harus konsentrasi menguasi gerakanmu, kuda-kuda juga penting,"
Kael diam, mencoba mencerna kata-kata Kakek Ling. ia tahu harus menambah kekauatan fizsiknya, ia sadar jika ia jauh dari kata bisa. untuk mengendalikan kekauatannya saja ia asangat kesulitan.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Kael, suaranya melemah.
"Latihan fisik dan Latih hatimu seperti kau melatih pedangmu,” jawab Kakek Ling lembut. “Pelajari cara untuk menemukan kedamaian, bahkan di tengah-tengah badai. Jika kau bisa melakukannya, kau tidak hanya akan menguasai pedang ini, tetapi juga dirimu sendiri.”
Kael mengangguk. Meskipun kata-kata Kakek Ling masuk akal, itu adalah tugas yang jauh lebih sulit daripada apa yang dia bayangkan. Mengendalikan emosinya, untuk bisa megendalikan diri agar menguasai geraka pedangnya.
Latihan dilanjutkan, hari demi hari, dengan fokus yang berbeda. Kakek Ling tidak hanya melatih teknik-teknik bertarung, tetapi juga seni meditasi dan pengendalian emosi. Setiap kali Kael merasa amarahnya memuncak, dia diminta untuk berhenti dan duduk, memusatkan pikirannya pada napas dan menenangkan hatinya. Proses ini lambat, dan sering kali membuat Kael frustasi. Namun, sedikit demi sedikit, dia mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ketika dia mengayunkan pedangnya, gerakannya menjadi lebih halus dan penuh kontrol. Pedang Naga pun mulai meresponsnya dengan lebih baik.
Suatu sore, setelah berlatih seharian penuh, Kael duduk di tepi sungai, menatap pantulan dirinya di air. Dia merasakan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pedang Naga terbaring di sampingnya, berkilau di bawah cahaya matahari yang mulai terbenam.
“Aku akan menguasaimu, Pedang Naga,” bisiknya pelan. “Tapi sebelum itu, aku harus menguasai diriku sendiri.”
Kakek Ling, yang mengawasi dari kejauhan, tersenyum tipis. Dia tahu bahwa Kael berada di jalur yang benar. "Semoga kau benar-benar bisa menemukan kekuatan sejati, Kael," gumamnya pelan.
Keesokan paginya, latihan kembali dimulai. Kali ini, Kakek Ling membawa Kael ke puncak gunung yang sepi, jauh dari keramaian. Angin bertiup kencang di tempat itu, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Di puncak gunung itu, mereka bisa melihat seluruh lembah di bawah, tampak kecil dan damai. Namun Kael tahu, di bawah kedamaian itu, bahaya dari aliran hitam terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi.
“Hari ini, kita akan memulai tahap akhir dari latihanmu,” kata Kakek Ling, suaranya tegas namun lembut. “Kau sudah menguasai dasar-dasar ilmu pedang dan mulai memahami bagaimana mengendalikan emosi. Tapi kekuatan Pedang Naga tidak akan sepenuhnya terbuka sampai kau bisa memadukan ilmu pedangmu dengan kekuatan batin yang sesungguhnya.”
Kael mengerutkan kening, tak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. “Maksud Kakek, aku belum sepenuhnya menguasai Pedang Naga?”
Kakek Ling menggeleng. “Belum, Kael," jelas Kakek Ling yang tahu jika Kael jaug dari sempurna.
“Bagaimana aku bisa melakukannya, Kakek?” Kael bertanya dengan serius. “Bagaimana aku bisa memadukan tenaga dalamku dengan Pedang Naga?”
Kakek Ling tersenyum kecil, lalu mengangkat pedangnya sendiri. “Semua dimulai dengan keyakinan, Kael. Keyakinan bahwa kau mampu mengatasi segala rintangan, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam dirimu. Kau harus percaya bahwa kau layak menguasai pedang ini, dan bahwa kekuatanmu tidak akan disalahgunakan.”
Kael mengangguk, meski dalam hatinya dia masih merasa cemas. Dia selalu yakin pada satu hal—keinginannya untuk membalas dendam. Tapi apakah itu sudah cukup?
Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa
Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka
Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa
Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran
Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain
Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene
Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek
Farel terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah, tetapi alih-alih kesal, ia malah tersenyum lebar."Seperti biasa… Aku belum pernah bisa melawanmu, Kakak," katanya, masih tersengal. "Tapi serius… kenapa kau malah di kelas rendah?"Dia menoleh ke Arsel, yang masih berdiri tegak, nyaris tanpa tanda-tanda kelelahan setelah duel sengit barusan. Mata Arsel tetap dingin, tetapi ada kilatan sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa Kael pahami sepenuhnya."Jangan panggil aku seperti itu di sini," ujar Arsel pelan, nadanya tenang namun penuh ketegasan.Kael membelalakkan mata, terkejut dengan kata-kata Arsel. Ia baru sadar kalau selama ini Farel tak pernah memanggil Arsel Kakak.Farel tertawa kecil, mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi itu tidak mengubah fakta, kan? Dengan kekuatanmu, kau seharusnya ada di kelas atas."Dia menatap Arsel dengan penuh pertanyaan, tetapi Arsel hanya menghela napas pelan sebelum berbalik, berjalan menjauh seolah duel tadi tidak ada art
Malam sudah turun sempurna ketika Kael dan Arsel menyusup ke tepian desa Arvind. Api dari ladang yang dibakar para bandit menyala redup di kejauhan, cukup untuk membuat siluet musuh terlihat… dan cukup untuk menyembunyikan dua sosok dalam bayang-bayangnya.“Jangan langsung menyerang,” bisik Arsel. “Kita belum tahu berapa banyak dari mereka.”Kael mengangguk. Mereka melangkah pelan di antara rumah-rumah yang hangus. Bau kayu terbakar dan hembusan angin malam menyatu dengan suara teredam tawa kasar para bandit di kejauhan. Beberapa penduduk terlihat diikat di depan balai desa. Tak ada penjaga yang terlalu waspada. Mereka terlalu percaya diri.“Mereka bukan hanya bandit… lihat simbol itu.” Arsel menunjuk salah satu bendera kecil yang tertancap di tanah—gambar ular berlingkar pada tengkorak. “Kelompok pemburu sihir. Mereka pernah muncul di perbatasan barat.”Kael merapat ke dinding. Pandangannya tajam. “Berarti kita tidak boleh sembarangan. Kalau salah langkah, warga bisa jadi sande
Angin dingin menerpa wajah Kael saat ia melangkah ke tengah arena batu. Di seberangnya, Arsel telah bersiap, pedang naga emas bersinar hangat, kontras dengan aura gelap yang merayap dari pedang naga hitam di tangan Kael. Di atas mereka, kristal latihan berputar perlahan, memancarkan cahaya yang membentuk lingkaran medan gravitasi tidak stabil.Guru Besar berdiri di pinggir arena, tangannya terlipat. "Latihan ini sederhana. Bertahan selama satu jam di dalam medan kacau ini… tanpa saling membunuh."Arsel melirik Kael. “Siap?” Kael mengangguk, “Kukira tidak ada latihan elit yang masuk akal.”Begitu kristal bersinar penuh, medan pun berubah.Tubuh mereka seketika ditarik ke arah yang berbeda. Kekuatan naga dalam masing-masing pedang memberontak—pedang emas mendorong, pedang hitam menarik. Langkah mereka berat, gerakan terhambat, dan koordinasi jadi mimpi buruk.“Aku ke kiri!” teriak Arsel. “Kukira ini ke tengah!” Kael membalas, meleset sepersekian detik.Seketika, ledakan kecil dari
Beberapa hari setelah duel, Akademi menerima laporan dari wilayah utara: markas perbatasan diserang. Tapi anehnya, tidak ada tanda serangan frontal… hanya jejak kabut hitam dan tubuh-tubuh yang terbaring dalam tidur tanpa mimpi.Guru Besar memanggil Kael dan Arsel ke ruang dalam.“Kekuatan kalian sudah dilihat dunia… dan itu mengundang perhatian.”Ia menggelar gulungan tua di meja. Simbol yang sama dengan yang ada di surat Kakek Ling muncul—bayangan berbentuk tangan yang mencengkeram matahari.“Mereka yang dulu disebut sebagai *Bayangan Tertutup*… kelompok rahasia yang percaya bahwa kekacauan akan melahirkan dunia baru.”“Dan sekarang, mereka memburumu, Kael.” Tugas Rahasia PertamaKael dan Arsel ditugaskan menyelidiki perbatasan utara. Tapi kali ini, mereka tidak hanya berdua. Akademi mengirim satu tim elit: para pendekar muda, penyihir pelacak, dan bahkan satu penjaga rahasia dari istana.Namun sebelum berangkat, Guru Besar berkata kepada Kael, “Jangan hanya andalkan pedangmu. La
Angin musim gugur menyambut Kael saat ia melewati gerbang besar Akademi Pedang. Jubah hitamnya berkibar pelan, dan langkah kakinya mantap. Di pundaknya tergantung pedang naga hitam—bisu, namun terasa berbeda. Tidak lagi mendominasi Kael… tapi kini menyatu dengannya.Tidak banyak yang tahu apa yang terjadi di Gunung Tersembunyi. Tapi aura Kael membuat siapa pun yang melihatnya langsung diam. Ada sesuatu dalam matanya. Kedalaman. Keteguhan. Seolah ia telah menatap kegelapan—dan kembali membawa cahaya dari sana.Arsel adalah orang pertama yang menyambutnya. Ia sedang berlatih di halaman barat saat melihat sosok Kael dari kejauhan.“Akhirnya kau kembali.” Suara Arsel terdengar datar, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.Kael mengangguk. “Aku pulang.”Mereka tidak perlu banyak kata. Tapi Arsel bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Saat mereka bersalaman, ia terkejut.“Tanganmu… terasa seperti batu. Kau latihan atau bertarung melawan gunung?”Kael tersenyum kecil. “Keduanya.”Banyak
Pagi di gunung kembali dingin. Kabut masih menggantung rendah saat Kael membuka matanya, tubuhnya masih terasa berat, tapi jauh lebih baik. Yang pertama ia lihat adalah Kakek Ling, berdiri di depan pintu, tangan bersilang, matanya tajam seperti biasa.“Kau cukup tidur seperti batu. Sekarang saatnya kembali hidup.”Kael bangkit perlahan, duduk dengan nafas panjang.“Maaf… aku—”“Jangan minta maaf. Tapi jangan ulangi kebodohanmu juga,” potong Kakek Ling. “Kalau kau mau mati, tunggu sampai pelatihanku selesai. Baru setelah itu, kau bebas bunuh dirimu sendiri di medan perang.”Kael tersenyum kecut. Tapi ia tahu… itu bentuk perhatian. Kakek Ling mengganti metode. Kali ini bukan sekadar menggerakkan tubuh, tapi menyelaraskan kesadaran dan perasaan."Kekuatan naga hitam bukan sekadar serangan dan kekuatan kasar. Ia adalah kekuatan yang tumbuh dari bayanganmu sendiri. Kau harus belajar menyatu dengan itu—tanpa dikendalikan olehnya."Kael berjalan seorang diri menyusuri hutan di kaki gunung,
.Tak lama kemudian, sosok berjubah kelabu muncul dari balik kabut. Langkahnya tenang, senyumnya nyaris tak terlihat, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara seolah menjadi lebih dingin.“Sudah lama aku tak melihat tempat ini... dan kau, Kakek Ling.”Kakek Ling bergeming. Tatapannya menjadi dingin. “Aku tak pernah mengundangmu kembali.”“Tapi aku tahu kau sedang melatih seseorang spesial. Murid yang menyimpan naga hitam dalam tubuhnya…”Kael langsung memasang kuda-kuda. “Siapa kau?”Orang itu hanya menoleh dengan tenang. “Namaku tidak penting. Tapi kau boleh memanggilku... Veynar.”Ia berjalan mendekat, dan dalam satu gerakan cepat—tubuhnya melesat ke depan, menebas udara dengan tangan kosong.Kael nyaris tak sempat menangkis. Angin serangan itu menghantam tubuhnya hingga tergeser beberapa langkah.“Ini bukan tantangan, bocah. Ini... peringatan.”Kakek Ling maju selangkah, aura tekanan keluar dari tubuhnya. “Kau tak punya hak menyentuh muridku.”Veynar berhenti. L
Sosok bertopeng itu melangkah pelan ke arah Kael. Tanah bergetar ringan tiap kali kakinya menginjak bumi. Di tangannya, senjata kristal hitam itu menyala samar—seolah berdenyut dengan napas makhluk asing.Kael mengangkat kuda-kudanya. Ia bisa merasakan hawa tekanan dari lawan ini. Berbeda dari bandit sebelumnya. Lebih… sadar.“Siapa kau?” tanya Kael, mencoba mengulur waktu.Tak ada jawaban. Hanya desiran napas berat dari balik topeng logam itu. Lalu, serangan datang secepat kilat.Blaaam!Kael nyaris tak sempat menangkis. Tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang. Debu naik tinggi. Lengan kirinya terasa kebas.“Cepat… dan kuat,” gumamnya, berdiri lagi.Bandit bertopeng maju lagi, dan duel pun pecah—pukulan, tendangan, dan ayunan senjata saling bertemu di tengah-tengah kepulan asap dan jerit warga yang masih bertahan.Kael tak melawan dengan kekuatan besar, tapi dengan kelincahan. Ia menghindar, memutar, memanfaatkan ketidakseimbangan lawannya. Tapi setiap kali senjata itu nyaris
Pagi itu Kakek Ling membawa Kael ke jalur curam di lereng belakang gunung. Batu-batu tajam berserakan. Akar pohon menyembul seperti perangkap. Udara tipis dan berat.Kael sudah siap untuk lari, lompat, atau menahan beban berat.Tapi perintah Kakek Ling justru membuatnya bingung.“Kau akan menapaki jalur ini seribu langkah... tanpa mengatur napas lebih dari satu tarikan.”Kael memutar kepala. “Satu tarikan... untuk seribu langkah? Itu tidak mungkin.”“Tepat,” jawab Kakek Ling dengan tenang. “Itulah kenapa hanya sedikit yang bisa menyelesaikannya.”Kael memandang jalur itu, panjang dan penuh rintangan. “Dan kalau aku gagal?”“Kau ulangi dari awal.”Kael menarik napas panjang, lalu mengangguk.Langkah pertama dimulai. Satu tarikan napas. Kaki bergerak perlahan, matanya fokus pada tiap pijakan.Lima puluh langkah pertama berjalan baik. Tapi tubuh mulai berontak. Napasnya terasa menggantung. Paru-parunya menjerit.Langkah ke seratus… lalu dua ratus. Tubuhnya mulai gemetar. Kepala
Fajar belum sepenuhnya muncul saat Kael keluar rumah. Udara dingin menusuk, tapi Kakek Ling sudah berdiri di halaman belakang, memandangi arah timur, seperti sedang membaca isyarat dari angin.Tanpa menyapa, ia menunjuk ke sebuah ember tua yang diletakkan di tanah. Ember itu jelas sudah tua dan penuh lubang kecil di dasar dan sisinya.“Ambil air dari sungai di bawah bukit, dan isi wadah batu itu sampai penuh,” kata Kakek Ling, menunjuk ke sebuah cekungan batu besar di dekat pohon.Kael menatap ember itu, lalu wadah batu. Jaraknya cukup jauh. Tapi yang lebih aneh—ember itu jelas tak akan bisa menampung air karena bocor di banyak tempat.“Tapi... ini akan langsung tumpah sebelum aku sampai sini,” protes Kael.Kakek Ling hanya menatapnya datar. “Lakukan.”Kael menggertakkan gigi, mengambil ember itu, dan berjalan menuruni bukit ke arah sungai. Ia mengisi air, dan seperti yang diduganya, air mulai bocor sebelum ia kembali separuh jalan. Ia tetap berjalan, menumpahkan sebagian besar air se