Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat.
“Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.
“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.
“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.
Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.
“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas dendam yang Kael miliki.
Kael menatap pedang naga itu dengan rasa kagum, asap hitam mulai keluar dari pedang yang Kael pegang. Disusul dengan kemunculan bayangan naga hitam yang megaum menunjukan kekuatan besarnya.
Kakek Ling yang melihat itu merinding hingga dingin terasa, aura membunuh yang begitu kuat, “Sepertinya kekuatan legenda itu benar, tapi ada yang aneh dengan aura hitam yang begitu kual, aku belum pernah mendengar tentang pedang naga hitam,” batin Kakek Ling yang masih terpaku melihat Pedang Naga Hitam
“Aku memilihmu anak muda, lakukan balas dendam yang kau inginkan,” suara naga hitam yang menggema membuat awan gelap muncul disertai angin kencang.
Kael melihat kegerian itu, seluruh badanya terasa seperti terkoyak, ia terus menahan. Tapi ternyata kekuatan pedang naga tidak bisa ia terima. Seketika Kael pingsan dan bayangan naga hitam menghilang, seta langit yang tadinya gelap kini berubah jadi sedia kala.
Kakek Ling langsung menghampiri Kael dan berusaha menyembuhkan luka tenaga dalamnya, yang tak seimbang. Pedang naga hitam itu sudah kembali kesedia kala sepertinya Kael belum cukup kuat untuk menerima kekuatan besar pedang naga.
“Sepertinya kekuatanmu masih lemah,” kata Kakek Ling yang memapah Kael untuk beristirahat setelah apa yang terjadi.
Kael terbaring lemas, ia memejamkan mata. Seketika kesadarannya menghilang ia berada di tempat asing di alam bawah sadarnya. “Tempat apa ini?” batin Kael yang seketika langsung sadar melihat sosok naga hitam yang sedang memandangnya.
“Ini alam bawah sadar mu, kau telah membangkitkanku, tapi kau tidak cukup kuat untuk bisa menggunakan ku, belajarlah ilmu pedang dari kakek yang sedang merawatmu tadi, aku melihat jika kakek itu sudah tingkat master. Jika kau sudah setingkat dengan dia, baru kau bisa menggunakanku.”
Setelah mendengar itu semua Kael langsung sadar, ternyata hari sudah pagi, Kakek Ling tak ada di dalam rumah. Pesan yang cukup jelas dari sang naga membuat Kael berlari mencari Kakek Ling.
Dengan nafas terenggah Kael menghampiri Kakek Ling yang sedang duduk santai dibawah pohon. “Kakek, aku ingin berlatih pedang.”
Kakek Ling mengangguk perlahan, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia masih mempertanyakan kesiapan Kael. Kakek Ling, dengan gerakan lambat namun penuh kontrol, bangkit dari tempat duduknya dan mengambil posisi berdiri di depan Kael. “Baiklah, kalau begitu, kita akan mulai dengan latihan dasar pengendalian tenaga dalam. Ingat, pedang ini memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang terlihat. Jika kau tidak bisa mengendalikan dirimu, pedang ini akan mengambil alih.”
Kael menarik napas dalam-dalam. Dia telah mendengar cerita tentang pendekar yang mencoba menguasai Pedang Naga dan berakhir dengan kegilaan atau kematian. Pedang ini tidak hanya menguji kekuatan fisik, tetapi juga mental.
“Angkat pedangmu,” perintah Kakek Ling sambil mengambil sikap siap bertarung.
Kael mengangkat Pedang Naga dengan kedua tangannya, pedang itu nampak seperti pedang biasa, kekuatan besar didalamnya seakan menghilang.
“Kendalikan nafasmu. Jangan biarkan emosimu mendominasi gerakanmu,” ujar Kakek Ling, lalu menyerang Kael dengan gerakan cepat dan tak terduga.
Kael berusaha keras menangkis serangan itu, namun ia masih terlalu lambat. Kakek Ling, meskipun sudah tua, masih bergerak seperti angin. Pedangnya tidak pernah mengarah langsung ke Kael, tetapi setiap gerakan tampak seperti kilatan yang bisa menyerang kapan saja. Kael mundur dengan cepat, berusaha mencari celah untuk membalas serangan.
“Jangan tergesa-gesa!” seru Kakek Ling.
Kael mencoba mengikuti nasihat itu. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memusatkan pikirannya, berusaha mendengarkan getaran dari pedang di tangannya. Aneh, tapi dia mulai merasakan sesuatu—seperti aliran energi yang mengalir melalui gagang pedang ke tubuhnya. Dengan sedikit kendali, dia menggerakkan pedang itu dalam pola-pola yang dia pelajari selama berbulan-bulan. Gerakannya mulai menyatu dengan aliran energi dari pedang tersebut.
Kakek Ling menghindari serangan itu dengan mudah, namun raut wajahnya berubah. “Kau masih terlalu terburu-buru, Kael. Emosi mengendalikanmu, bukan sebaliknya.”
Kael terhenti, napasnya terengah-engah. Dia bisa merasakan pedang itu menolak gerakannya ketika emosinya tidak terkendali. Tiba-tiba, pedang itu terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah menolak untuk digunakan oleh seseorang yang tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Amarah Kael berubah menjadi frustrasi. Bagaimana dia bisa mengendalikan kekuatan sebesar ini ketika pikirannya terus-menerus diserang oleh rasa dendam?
Kakek Ling menatapnya dengan pandangan penuh pengertian, namun juga dengan kebijaksanaan yang dalam. “Kael, kau harus konsentrasi menguasi gerakanmu, kuda-kuda juga penting,"
Kael diam, mencoba mencerna kata-kata Kakek Ling. ia tahu harus menambah kekauatan fizsiknya, ia sadar jika ia jauh dari kata bisa. untuk mengendalikan kekauatannya saja ia asangat kesulitan.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Kael, suaranya melemah.
"Latihan fisik dan Latih hatimu seperti kau melatih pedangmu,” jawab Kakek Ling lembut. “Pelajari cara untuk menemukan kedamaian, bahkan di tengah-tengah badai. Jika kau bisa melakukannya, kau tidak hanya akan menguasai pedang ini, tetapi juga dirimu sendiri.”
Kael mengangguk. Meskipun kata-kata Kakek Ling masuk akal, itu adalah tugas yang jauh lebih sulit daripada apa yang dia bayangkan. Mengendalikan emosinya, untuk bisa megendalikan diri agar menguasai geraka pedangnya.
Latihan dilanjutkan, hari demi hari, dengan fokus yang berbeda. Kakek Ling tidak hanya melatih teknik-teknik bertarung, tetapi juga seni meditasi dan pengendalian emosi. Setiap kali Kael merasa amarahnya memuncak, dia diminta untuk berhenti dan duduk, memusatkan pikirannya pada napas dan menenangkan hatinya. Proses ini lambat, dan sering kali membuat Kael frustasi. Namun, sedikit demi sedikit, dia mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ketika dia mengayunkan pedangnya, gerakannya menjadi lebih halus dan penuh kontrol. Pedang Naga pun mulai meresponsnya dengan lebih baik.
Suatu sore, setelah berlatih seharian penuh, Kael duduk di tepi sungai, menatap pantulan dirinya di air. Dia merasakan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pedang Naga terbaring di sampingnya, berkilau di bawah cahaya matahari yang mulai terbenam.
“Aku akan menguasaimu, Pedang Naga,” bisiknya pelan. “Tapi sebelum itu, aku harus menguasai diriku sendiri.”
Kakek Ling, yang mengawasi dari kejauhan, tersenyum tipis. Dia tahu bahwa Kael berada di jalur yang benar. "Semoga kau benar-benar bisa menemukan kekuatan sejati, Kael," gumamnya pelan.
Keesokan paginya, latihan kembali dimulai. Kali ini, Kakek Ling membawa Kael ke puncak gunung yang sepi, jauh dari keramaian. Angin bertiup kencang di tempat itu, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Di puncak gunung itu, mereka bisa melihat seluruh lembah di bawah, tampak kecil dan damai. Namun Kael tahu, di bawah kedamaian itu, bahaya dari aliran hitam terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi.
“Hari ini, kita akan memulai tahap akhir dari latihanmu,” kata Kakek Ling, suaranya tegas namun lembut. “Kau sudah menguasai dasar-dasar ilmu pedang dan mulai memahami bagaimana mengendalikan emosi. Tapi kekuatan Pedang Naga tidak akan sepenuhnya terbuka sampai kau bisa memadukan ilmu pedangmu dengan kekuatan batin yang sesungguhnya.”
Kael mengerutkan kening, tak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. “Maksud Kakek, aku belum sepenuhnya menguasai Pedang Naga?”
Kakek Ling menggeleng. “Belum, Kael," jelas Kakek Ling yang tahu jika Kael jaug dari sempurna.
“Bagaimana aku bisa melakukannya, Kakek?” Kael bertanya dengan serius. “Bagaimana aku bisa memadukan tenaga dalamku dengan Pedang Naga?”
Kakek Ling tersenyum kecil, lalu mengangkat pedangnya sendiri. “Semua dimulai dengan keyakinan, Kael. Keyakinan bahwa kau mampu mengatasi segala rintangan, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam dirimu. Kau harus percaya bahwa kau layak menguasai pedang ini, dan bahwa kekuatanmu tidak akan disalahgunakan.”
Kael mengangguk, meski dalam hatinya dia masih merasa cemas. Dia selalu yakin pada satu hal—keinginannya untuk membalas dendam. Tapi apakah itu sudah cukup?
Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa
Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka
Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa
Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran
Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain
Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene
Pembagian kelas telah usai, dan kini saatnya para murid memasuki kelas mereka untuk pertama kalinya. Kael berjalan memasuki ruang kelas bersama Arsel, yang meskipun berada di sisinya, tetap terasa seperti sosok asing. Saat keduanya melewati ambang pintu, suara bisik-bisik segera memenuhi ruangan."Dia yang tidak punya roh pedang, kan?""Kenapa dia ada di akademi ini?""Buang-buang tempat saja."Kael sudah menduga ini akan terjadi. Dari awal, dia tahu keberadaannya di sini akan menjadi bahan pembicaraan. Akademi Pedang adalah tempat bagi mereka yang memiliki roh pedang, kekuatan yang menjadi fondasi para pendekar. Kael—seseorang yang gagal membangkitkan roh pedangnya—berdiri di antara mereka seolah ia pantas berada di sini.Ia mengabaikan tatapan merendahkan yang diarahkan kepadanya dan melangkah menuju tempat duduk yang kosong. Sebelum ia bisa duduk, sebuah kaki tiba-tiba menghadang jalannya.Kael tersentak dan nyaris tersandung.Tawa kecil terdengar dari arah sekelompok murid di dek
Farel terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah, tetapi alih-alih kesal, ia malah tersenyum lebar."Seperti biasa… Aku belum pernah bisa melawanmu, Kakak," katanya, masih tersengal. "Tapi serius… kenapa kau malah di kelas rendah?"Dia menoleh ke Arsel, yang masih berdiri tegak, nyaris tanpa tanda-tanda kelelahan setelah duel sengit barusan. Mata Arsel tetap dingin, tetapi ada kilatan sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa Kael pahami sepenuhnya."Jangan panggil aku seperti itu di sini," ujar Arsel pelan, nadanya tenang namun penuh ketegasan.Kael membelalakkan mata, terkejut dengan kata-kata Arsel. Ia baru sadar kalau selama ini Farel tak pernah memanggil Arsel Kakak.Farel tertawa kecil, mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Tapi itu tidak mengubah fakta, kan? Dengan kekuatanmu, kau seharusnya ada di kelas atas."Dia menatap Arsel dengan penuh pertanyaan, tetapi Arsel hanya menghela napas pelan sebelum berbalik, berjalan menjauh seolah duel tadi tidak ada art
Kael menegang. Pertanyaan itu langsung menusuk ke inti pikirannya. Bagaimana Asmar tahu? Dengan sisa tenaganya, Kael mencoba duduk tegak, meski tubuhnya masih terasa lemah. Matanya menatap tajam ke arah lelaki paruh baya itu. "Apa maksudmu?" Asmar hanya tersenyum tipis. "Aku sudah lama mengamati akademimu, Nak. Dan serangan tadi malam bukan sekadar serangan acak. Itu adalah ujian." Kael mengernyit. "Ujian?" Asmar mengangguk. "Para penyerang itu tidak datang untuk menghancurkan akademimu. Mereka datang untuk mengukur kekuatan murid-murid di sana… dan mencari seseorang yang cukup kuat untuk tujuan mereka." Jantung Kael berdegup lebih cepat. "Mereka… sedang mencari seseorang?" "Ya," jawab Asmar dengan tenang. "Dan kau salah satu yang mereka incar." Ruangan terasa semakin sunyi. Kael ingin menyangkal, tapi semuanya mulai masuk akal. Serangan mendadak, cara musuh menghilang begitu cepat, pengkhianat di dalam akademi… semuanya terasa seperti bagian dari rencana yang lebih b
Kael dan Arsel berdiri diam di tengah kegelapan, mencoba mencari tanda-tanda kehadiran sosok yang mereka kejar. Namun, bayangan itu benar-benar menghilang—seolah-olah ditelan oleh malam. "Tidak mungkin," bisik Arsel. "Aku yakin dia ada di sini beberapa detik yang lalu." Kael menggenggam pedangnya lebih erat. "Ini bukan pertama kalinya seseorang menghilang begitu saja. Kita sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak biasa." Arsel mengangguk. "Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati." Mereka berdua mundur perlahan, memutuskan untuk kembali ke kamar sebelum seseorang menyadari keberadaan mereka di luar asrama. Namun, tepat saat mereka berbalik, sesuatu menarik perhatian Kael. Di tanah, di tempat bayangan itu menghilang, ada secarik kain hitam tersangkut di ranting semak. Kael berlutut dan mengambilnya. Kain itu terasa kasar, seolah berasal dari jubah berat yang sering digunakan untuk perjalanan jauh atau penyamaran. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah bau samar
Di akademi, persiapan untuk Kompetisi Antar Akademi semakin intens. Setiap tingkat diharuskan mengajukan perwakilan terbaik mereka untuk bertanding dalam berbagai cabang—pertarungan, strategi, dan kecepatan berpikir. Para murid sibuk berlatih, aula utama dipenuhi suara dentingan senjata, percikan energi sihir, serta diskusi serius tentang taktik dan strategi.Kael, yang sebelumnya terganggu oleh pikirannya tentang para bandit, mencoba fokus. Ia tahu bahwa kompetisi ini adalah kesempatan besar—bukan hanya untuk membuktikan kemampuannya, tetapi juga untuk menjadi lebih kuat."Baiklah, semua berkumpul!" suara Guru Besar menggema di halaman akademi, memanggil para murid terbaik dari setiap tingkat. "Kami akan mengumumkan siapa saja yang terpilih untuk mewakili akademi dalam kompetisi tahun ini!"Kerumunan langsung hening. Semua menahan napas, menunggu pengumuman itu.Kael mengepalkan tangannya. Apakah ia cukup layak untuk dipilih? Atau justru harus menonton dari pinggir lapangan?Guru Bes
Malam itu, mereka kembali ke asrama. Mereka tidak banyak bicara, hanya beristirahat setelah hari yang melelahkan. Kael berdiri di dekat jendela, menatap bulan. Pertandingan Antar Akademi sudah dekat. Latihan mereka mungkin telah berakhir, tetapi pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.Guru besar memberikan waktu untuk bersiap. Kael memanfaatkan waktu luang untuk kembali mencari informasi tentang para bandit. Sudah lama ia tidak pergi ke tempat itu, dan pikirannya terus dipenuhi rasa penasaran. Saat ia bersiap untuk pergi, Arsel, sahabatnya, memperhatikannya dengan curiga. "Kau mau ke mana, Kael?" tanyanya, menyilangkan tangan di dada. "Ke tempat kemarin, di gang dekat pasar," jawab Kael sambil menyesuaikan sarung pedangnya. Arsel mengerutkan kening. "Apa kau masih menyelidiki para bandit?" Kael mengangguk. "Iya. Aku penasaran, jadi aku akan kembali ke sana." Arsel mendesah, lalu tersenyum tipis. "Aku ikut." Tanpa menunggu persetujuan, ia sudah menyambar senjatanya
Hari-hari berikutnya menjadi neraka bagi Kael dan timnya. Setiap pagi, mereka harus berlari melintasi gunung di belakang akademi. Siang hari dihabiskan dengan latihan fisik brutal, mengangkat batu besar, menahan postur bertarung selama berjam-jam, dan serangan tanpa henti ke balok kayu hingga tangan mereka mati rasa. Sore harinya, latihan teknik dimulai. Guru Besar menghadapkan mereka pada berbagai skenario pertempuran—melawan banyak musuh, menghadapi tekanan tanpa istirahat, bahkan pertarungan dalam kegelapan. "Dalam Pertandingan Antar Akademi, tidak ada yang akan menyesuaikan diri dengan kelemahan kalian," kata Guru Besar. "Jika ingin menang, kalian harus bisa bertarung dalam kondisi apa pun." Di hari kelima, Kael mulai merasakan batas fisiknya. Kakinya nyaris tidak bisa berdiri, tangannya gemetar, dan napasnya terasa berat. Guru Besar tidak membiarkannya berhenti. "Bangun, Kael. Lawanmu belum tumbang." Kael terhuyung, tetapi ia memaksa tubuhnya berdiri. Lawan di depa
Saat sorakan kemenangan masih menggema, Guru Besar berdiri dari tempat duduknya. Tatapannya terfokus pada Kael dan timnya. Para murid lain mungkin hanya melihat sekelompok anak berbakat yang memenangkan kompetisi, tetapi Guru Besar melihat lebih dari itu. Mereka bukan hanya kuat—mereka memiliki potensi yang luar biasa. Terutama Kael. "Aku harus mengawasi mereka lebih dekat," gumamnya. Tanpa menunggu lama, Guru Besar turun ke arena. Kael dan timnya baru saja selesai merayakan kemenangan mereka ketika suasana tiba-tiba menjadi hening. Semua murid menunduk hormat saat Guru Besar berjalan mendekati mereka. Kael menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakan. "Kael. Arsel. Rael. Daren." Suara Guru Besar menggema di seluruh arena. "Kalian telah menunjukkan sesuatu yang tidak dimiliki murid lain—kerja sama, strategi, dan tekad yang kuat." Kael dan yang lainnya saling berpandangan, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini. Lalu, Guru Besar menatap me
Sebelum Kael bisa mengatakan apa pun, Guru Besar menarik napas panjang dan mengurangi tekanannya. "Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan… tapi ingat satu hal." Ia menatap Kael dengan serius. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Kael menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini peringatan… atau ancaman. Satu hal yang pasti—Guru Besar mulai curiga. Dan itu berarti… Kael harus lebih berhati-hati mulai sekarang.Kael berjalan kembali ke ruang istirahat dengan pikiran yang penuh. Percakapan dengan Guru Besar tadi masih terngiang di kepalanya. "Jika kekuatanmu bukan berasal dari akademi, maka cepat atau lambat… seseorang akan datang mencarimu." Apa maksud dari peringatan itu? Saat ia masuk ke ruangan, Arsel langsung menghampirinya. "Hei, apa yang Guru Besar inginkan?" tanyanya penasaran. Rael dan Daren juga menoleh, menunggu jawaban. Kael menghela napas dan duduk di kursinya. "Tidak banyak. Dia hanya pena
Pemimpin Serigala Hitam terhuyung setelah serangan Kael menghantamnya dengan telak. Teknik bayangan yang menjadi andalan mereka mulai menghilang! Sorakan penonton menggema di seluruh arena. Pertarungan belum sepenuhnya selesai. Dua anggota Serigala Hitam masih berdiri, meskipun mereka kini kehilangan keunggulan taktik mereka. Kael tidak memberi mereka kesempatan untuk pulih! Dengan kecepatan luar biasa, ia menyusul salah satu lawan yang mencoba kabur ke belakang. "Kau tidak bisa lari!" Kael melompat, mendaratkan serangan keras ke dada lawannya! BRUGH! Lawan itu terpental keluar arena. "Peserta Serigala Hitam tereliminasi!" seru wasit. Kini hanya tersisa satu lawan terakhir. Sisa anggota tim Serigala Hitam menggertakkan giginya, matanya penuh ketakutan. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa seluruh timnya telah tumbang. "Tsk… Aku tidak akan kalah tanpa perlawanan!" teriaknya sambil menghunus senjatanya, sebelum ia sempat bergerak—Kael sudah ada di hadapannya! "Te
Serangan tim Serigala Hitam semakin intens! Mereka menggunakan ilusi, serangan bayangan, dan kecepatan luar biasa untuk mengacaukan formasi tim Kael. Kael merasa kesulitan—lawannya terus muncul dan menghilang, membuatnya sulit membaca arah serangan berikutnya. "Jika terus seperti ini, kita akan kalah tanpa sempat menyerang balik!" pikir Kael. Arsel menghindari serangan yang datang dari belakangnya dan berteriak, "Jangan terpancing! Mereka ingin kita menyerang asal-asalan!" Daren tetap tenang, matanya fokus membaca pola serangan musuh. "Ada jeda setengah detik setiap kali mereka berteleportasi… itu celahnya." Kael langsung menangkap maksud Daren. "Baik, kita ubah strategi!" Saat salah satu anggota Serigala Hitam muncul untuk menyerang, Kael berpura-pura terpojok. Lawan itu tertipu dan langsung maju untuk menyelesaikan serangan—tapi itu kesalahan fatal. Rael, yang sudah bersembunyi di bayangan, langsung menyerang dengan cepat! "Kena kau!" Serangan Rael menghantam tel