Malam itu, langit desa Batu terlihat muram. Awan hitam pekat menggantung di atas desa, seakan memberi pertanda buruk. Hembusan angin dingin membawa keheningan yang mencekam, seolah seluruh alam tahu bahwa malam itu akan menjadi malam berdarah. Kael, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, sedang duduk di luar rumah bersama keluarganya. Mereka baru saja selesai makan malam, dan obrolan ringan antara ayahnya, ibu, dan adik perempuannya, Lana, mengisi suasana hangat di tengah dinginnya malam.
"Besok, kita akan pergi ke ladang lebih pagi," kata ayah Kael, suaranya tenang namun tegas. "Panen kali ini harus maksimal sebelum cuaca benar-benar buruk."
Kael mengangguk sambil menatap adiknya yang masih kecil, Lana, yang sedang bermain-main dengan boneka jerami buatan ibu mereka. Senyum di wajahnya membuat Kael merasakan kehangatan, meskipun cuaca semakin mendingin. Dia sangat menyayangi Lana, dan sejak kecil, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu melindungi adiknya dari bahaya apa pun.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar dari kejauhan. Kael yang sensitif segera berdiri dan mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ayahnya juga berdiri, alisnya berkerut, merasakan ketegangan yang sama. Dalam beberapa detik, bayangan sosok-sosok gelap muncul dari balik pepohonan yang mengelilingi desa. Mata Kael membelalak saat dia melihat mereka datang—bandit.
Bandit-bandit itu tidak seperti kelompok biasa yang kadang-kadang melewati desa untuk meminta jatah. Mereka mengenakan jubah hitam dengan pola aneh, dan wajah mereka tertutup topeng logam kasar. Yang paling mencolok dari semuanya adalah pemimpin mereka—seorang pria tinggi dengan tato kalajengking merah mencolok di tangannya. Cahaya api dari obor yang dibawa bandit-bandit itu memantulkan kilatan aneh dari tatonya, membuatnya terlihat mengerikan.
“Kael! Bawa Lana masuk!” teriak ayahnya.
Tanpa berpikir panjang, Kael meraih tangan Lana dan membawanya masuk ke dalam rumah. Suara jeritan dari rumah-rumah tetangga mulai terdengar di luar, semakin memekakkan telinga. Kael memeluk Lana erat-erat sambil berbisik, "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa kata-katanya mungkin tidak lebih dari janji kosong.
Tiba-tiba pintu rumah mereka didobrak dengan kasar. Kael berbalik dan melihat tiga bandit memasuki rumah mereka dengan senjata terhunus. Ayah Kael berusaha melawan dengan senjata seadanya, sebuah arit yang biasa digunakan untuk memotong rumput. Namun, upaya itu sia-sia. Dalam beberapa detik, ayahnya tersungkur dengan luka parah di tubuhnya.
Ibu Kael berteriak, tetapi sebelum ia sempat berlari ke arah suaminya, salah satu bandit mengayunkan pedangnya dan—dengan satu tebasan—segalanya hancur dalam sekejap. Kael membeku, hatinya meronta dalam ketakutan dan kesedihan yang tak terhingga. Dia tidak bisa bergerak, tubuhnya terasa terpaku di tempat.
Tiba-tiba, pemimpin bandit dengan tato kalajengking merah itu masuk. Dengan senyuman licik di wajahnya, dia melangkah mendekati Kael dan Lana. "Bocah ini pasti putra mereka," gumamnya sambil menatap Kael. "Sayang sekali, kau harus menyaksikan semua ini."
Kael mencoba bergerak, mencoba melindungi adiknya, tetapi satu pukulan dari pria bertato itu membuatnya tersungkur. Pukulan itu sangat kuat hingga membuat pandangan Kael kabur. Suara tangisan Lana yang menyayat hati adalah hal terakhir yang dia dengar sebelum segalanya berubah gelap.
---
Kael terbangun di tengah malam yang sunyi. Tubuhnya terasa sakit di seluruh bagian, tetapi bukan itu yang membuat hatinya hancur. Saat membuka matanya, dia menyaksikan pemandangan yang membuatnya berharap dia tak pernah terbangun. Di hadapannya, tubuh orang tuanya terbaring tak bernyawa di lantai. Di sudut ruangan, Lana, adik kecilnya yang selalu ceria, juga tak lagi bernapas. Matanya yang polos terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi.
Kesedihan yang mendalam menyelimuti Kael, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Tubuhnya terasa mati rasa, hatinya hancur berkeping-keping. Dalam keputusasaan, satu hal yang memenuhi pikirannya.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Kael berusaha bangkit. Dia tahu dia tidak bisa tinggal di desa ini lebih lama lagi. Bandit-bandit itu masih berkeliaran, mungkin akan kembali untuk memeriksa desa. Dalam keadaan setengah sadar dan tubuh penuh luka, Kael merangkak keluar dari rumahnya yang kini hanya berupa reruntuhan. Suara api yang membakar rumah-rumah tetangganya terdengar sayup-sayup di kejauhan.
Kael melarikan diri ke hutan yang mengelilingi desa. Rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin menyiksa, tetapi hatinya yang terluka lebih parah. Dengan langkah gontai, dia berjalan semakin jauh ke dalam hutan, hingga akhirnya kakinya tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Dia jatuh dan pingsan di bawah pohon besar, dengan perasaan kosong yang tak dapat dia ungkapkan.
Pagi hari di dalam hutan terasa dingin, dan ketika Kael membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tetapi setidaknya dia bisa bernapas dengan lebih tenang. Di sudut ruangan, seorang kakek tua dengan rambut putih panjang sedang duduk, menatapnya dengan mata penuh perhatian. "Kau sudah bangun," kata kakek itu dengan suara lembut. "Tenanglah, kau aman di sini."Kael ingin berbicara, ingin bertanya siapa kakek ini dan bagaimana dia bisa berada di sini, tetapi mulutnya terasa kering. Kakek itu menyodorkan semangkuk air hangat. "Minumlah. Kau butuh istirahat."Dengan lemah, Kael mengambil mangkuk itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa segar dari air tersebut memberi sedikit kekuatan bagi tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mencoba berbicara. "Siapa... siapa Anda?" suaranya serak dan lemah.Kakek itu tersenyum tipis. "Namaku Ling. Aku menemukanku di tengah hutan, dalam keadaan sekarat. Untung saja aku tiba tepat waktu."
Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat. “Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas d
Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa
Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka
Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran.Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan.Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya."Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram."Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?""Akademi kerajaan," jawab Kael si
Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran.Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan.Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya."Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram."Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?""Akademi kerajaan," jawab Kael si
Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka
Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa
Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat. “Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas d
Pagi hari di dalam hutan terasa dingin, dan ketika Kael membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tetapi setidaknya dia bisa bernapas dengan lebih tenang. Di sudut ruangan, seorang kakek tua dengan rambut putih panjang sedang duduk, menatapnya dengan mata penuh perhatian. "Kau sudah bangun," kata kakek itu dengan suara lembut. "Tenanglah, kau aman di sini."Kael ingin berbicara, ingin bertanya siapa kakek ini dan bagaimana dia bisa berada di sini, tetapi mulutnya terasa kering. Kakek itu menyodorkan semangkuk air hangat. "Minumlah. Kau butuh istirahat."Dengan lemah, Kael mengambil mangkuk itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa segar dari air tersebut memberi sedikit kekuatan bagi tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mencoba berbicara. "Siapa... siapa Anda?" suaranya serak dan lemah.Kakek itu tersenyum tipis. "Namaku Ling. Aku menemukanku di tengah hutan, dalam keadaan sekarat. Untung saja aku tiba tepat waktu."
Malam itu, langit desa Batu terlihat muram. Awan hitam pekat menggantung di atas desa, seakan memberi pertanda buruk. Hembusan angin dingin membawa keheningan yang mencekam, seolah seluruh alam tahu bahwa malam itu akan menjadi malam berdarah. Kael, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, sedang duduk di luar rumah bersama keluarganya. Mereka baru saja selesai makan malam, dan obrolan ringan antara ayahnya, ibu, dan adik perempuannya, Lana, mengisi suasana hangat di tengah dinginnya malam."Besok, kita akan pergi ke ladang lebih pagi," kata ayah Kael, suaranya tenang namun tegas. "Panen kali ini harus maksimal sebelum cuaca benar-benar buruk."Kael mengangguk sambil menatap adiknya yang masih kecil, Lana, yang sedang bermain-main dengan boneka jerami buatan ibu mereka. Senyum di wajahnya membuat Kael merasakan kehangatan, meskipun cuaca semakin mendingin. Dia sangat menyayangi Lana, dan sejak kecil, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu melindungi adiknya dari bahaya