Share

Pendekar Pedang Naga
Pendekar Pedang Naga
Author: PengkhayalMalam

1. Pembantaian

last update Last Updated: 2025-02-03 12:23:54

Malam itu, langit desa Batu terlihat muram. Awan hitam pekat menggantung di atas desa, seakan memberi pertanda buruk. Hembusan angin dingin membawa keheningan yang mencekam, seolah seluruh alam tahu bahwa malam itu akan menjadi malam berdarah. Kael, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, sedang duduk di luar rumah bersama keluarganya. Mereka baru saja selesai makan malam, dan obrolan ringan antara ayahnya, ibu, dan adik perempuannya, mengisi suasana hangat di tengah dinginnya malam.

"Besok, kita akan pergi ke ladang lebih pagi," kata ayah Kael, suaranya tenang namun tegas. "Panen kali ini harus maksimal sebelum cuaca benar-benar buruk."

Kael mengangguk sambil menatap adiknya yang masih kecil. Lana yang sedang bermain-main dengan boneka jerami buatan ibu mereka. Senyum di wajahnya membuat Kael merasakan kehangatan, meskipun cuaca semakin mendingin. Dia sangat menyayangi Lana.

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar dari kejauhan. Kael yang sensitif segera berdiri dan mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ayahnya juga berdiri, alisnya berkerut, merasakan ketegangan yang sama. Dalam beberapa detik, bayangan sosok-sosok gelap muncul dari balik pepohonan yang mengelilingi desa. Mata Kael membelalak saat dia melihat mereka datang—bandit.

Bandit-bandit itu tidak seperti kelompok biasa yang kadang-kadang melewati desa untuk meminta jatah. Mereka mengenakan jubah hitam dengan pola aneh, dan wajah mereka tertutup topeng logam kasar. Yang paling mencolok dari semuanya adalah pemimpin mereka—seorang pria tinggi dengan tato kalajengking merah mencolok di tangannya. Cahaya api dari obor yang dibawa bandit-bandit itu memantulkan kilatan aneh dari tatonya, membuatnya terlihat mengerikan.

“Kael! Bawa Lana masuk!” teriak ayahnya.

Tanpa berpikir panjang, Kael meraih tangan Lana dan membawanya masuk ke dalam rumah. Suara jeritan dari rumah-rumah tetangga mulai terdengar di luar, semakin memekakkan telinga. Kael memeluk Lana erat-erat sambil berbisik, "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa kata-katanya mungkin tidak lebih dari janji kosong.

Tiba-tiba pintu rumah mereka didobrak dengan kasar. Kael berbalik dan melihat tiga bandit memasuki rumah mereka dengan senjata terhunus. Ayah Kael berusaha melawan dengan senjata seadanya, sebuah arit yang biasa digunakan untuk memotong rumput. Namun, upaya itu sia-sia. Dalam beberapa detik, ayahnya tersungkur dengan luka parah di tubuhnya.

Ibu Kael berteriak, tetapi sebelum ia sempat berlari ke arah suaminya, salah satu bandit mengayunkan pedangnya dan—dengan satu tebasan—segalanya hancur dalam sekejap. Kael membeku, hatinya meronta dalam ketakutan dan kesedihan yang tak terhingga. Dia tidak bisa bergerak, tubuhnya terasa terpaku di tempat.

Tiba-tiba, pemimpin bandit dengan tato kalajengking merah itu masuk. Dengan senyuman licik di wajahnya, dia melangkah mendekati Kael dan Lana. "Bocah ini pasti putra mereka," gumamnya sambil menatap Kael. "Sayang sekali, kau harus menyaksikan semua ini."

Kael mencoba bergerak, mencoba melindungi adiknya, tetapi satu pukulan dari pria bertato itu membuatnya tersungkur. Pukulan itu sangat kuat hingga membuat pandangan Kael kabur. Suara tangisan Lana yang menyayat hati adalah hal terakhir yang dia dengar sebelum segalanya berubah gelap.

---

Kael terbangun di tengah malam yang sunyi. Tubuhnya terasa sakit di seluruh bagian, tetapi bukan itu yang membuat hatinya hancur. Saat membuka matanya, dia menyaksikan pemandangan yang membuatnya berharap dia tak pernah terbangun. Di hadapannya, tubuh orang tuanya terbaring tak bernyawa di lantai. Di sudut ruangan adik kecilnya yang selalu ceria, juga tak lagi bernapas. Matanya yang polos terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi.

Kesedihan yang mendalam menyelimuti Kael, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Tubuhnya terasa mati rasa, hatinya hancur berkeping-keping. Dalam keputusasaan, satu hal yang memenuhi pikirannya.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Kael berusaha bangkit. Dia tahu dia tidak bisa tinggal di desa ini lebih lama lagi. Bandit-bandit itu masih berkeliaran, mungkin akan kembali untuk memeriksa desa. Dalam keadaan setengah sadar dan tubuh penuh luka, Kael merangkak keluar dari rumahnya yang kini hanya berupa reruntuhan. Suara api yang membakar rumah-rumah tetangganya terdengar sayup-sayup di kejauhan.

Kael melarikan diri ke hutan yang mengelilingi desa. Rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin menyiksa, tetapi hatinya yang terluka lebih parah. Dengan langkah gontai, dia berjalan semakin jauh ke dalam hutan, hingga akhirnya kakinya tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Dia jatuh dan pingsan di bawah pohon besar, dengan perasaan kosong yang tak dapat dia ungkapkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ree Ichi
wah buku baru..... semangat kak!! ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pendekar Pedang Naga   2. Kekuatan Baru

    Pagi hari di dalam hutan terasa dingin, dan ketika Kael membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tetapi setidaknya dia bisa bernapas dengan lebih tenang. Di sudut ruangan, seorang kakek tua dengan rambut putih panjang sedang duduk, menatapnya dengan mata penuh perhatian. "Kau sudah bangun," kata kakek itu dengan suara lembut. "Tenanglah, kau aman di sini."Kael ingin berbicara, ingin bertanya siapa kakek ini dan bagaimana dia bisa berada di sini, tetapi mulutnya terasa kering. Kakek itu menyodorkan semangkuk air hangat. "Minumlah. Kau butuh istirahat."Dengan lemah, Kael mengambil mangkuk itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa segar dari air tersebut memberi sedikit kekuatan bagi tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mencoba berbicara. "Siapa... siapa Anda?" suaranya serak dan lemah.Kakek itu tersenyum tipis. "Namaku Ling. Aku menemukanku di tengah hutan, dalam keadaan sekarat. Untung saja aku tiba tepat waktu."

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   3. Pedang Naga

    Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat. “Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas d

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   4. Pertarungan Dengan Bandit

    Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   5. Akademi Pedang Kerajaan

    Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka

    Last Updated : 2025-02-03
  • Pendekar Pedang Naga   6. Surat Rekomdasi asli atau palsu

    Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa

    Last Updated : 2025-02-22
  • Pendekar Pedang Naga   7. Izin Masuk

    Keheningan itu pecah saat Guru Besar mulai bicara, "Kalian tidak perlu takut, masuklah. Surat ini asli."Suasana yang tegang akhirnya mencair. Kael pun masuk setelah Guru Besar mengizinkannya. Melihat itu, keramaian mulai terurai, dan orang-orang kembali berbaris untuk diperiksa. Namun, ketegangan masih terasa di udara, seperti sisa-sisa badai yang enggan menghilang sepenuhnya.Saat Farel hendak ikut masuk, tiba-tiba penjaga menghentikannya. "Maaf, tapi sepertinya kau belum menunjukkan surat rekomendasimu."Penjaga yang berbicara lebih lembut membuat Farel menunjukkan suratnya dengan tenang. Ia tak lagi terpancing emosi dan masuk menyusul Arsel serta Kael yang sudah lebih dulu ada di dalam. Mereka bertiga berjalan mengikuti Guru Besar, langkah mereka bergema di lorong panjang dengan cahaya obor yang berkelip samar."Aku kenal dengan Ling. Lain kali, kalau ada waktu, aku ingin mendengar cerita tentangnya," ucap Guru Besar, membuat Kael kaget. Ia tak menyangka bahwa Kakek Ling bukan oran

    Last Updated : 2025-02-23
  • Pendekar Pedang Naga   8. Tingkat Kekuatan

    Saat para murid baru akademi pedang berkumpul di aula utama untuk pembagian kelas, suasana penuh dengan harapan dan ketegangan. Mata-mata berbinar menatap para instruktur yang berdiri di atas panggung, menunggu keputusan yang akan menentukan nasib mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan, beberapa murid berdiri dengan percaya diri, sementara yang lain tampak gelisah.Di tengah lautan murid, Kael berdiri dengan tenang. Berbeda dengan yang lain, matanya tidak menyala penuh semangat atau gugup. Tangannya terlipat di dada, ekspresinya datar saat memperhatikan satu per satu murid lain yang tampak antusias. Ujian kali ini akan mengukur tingkat roh pedang mereka, membagi mereka ke dalam kelas berdasarkan kekuatan dari yang paling rendah hingga yang paling hebat.Saat para murid lain berbicara tentang harapan dan ambisi mereka, Kael diam. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Sejak pertama kali menemukan roh pedangnya, ia menyadari sesuatu yang aneh—roh itu tidak pernah merespons. Saat yang lain

    Last Updated : 2025-02-26
  • Pendekar Pedang Naga   9. Pembagian Kelas

    Begitu tangan Farel menyentuh Batu Roh Pedang, ruangan yang sebelumnya penuh bisikan mendadak sunyi. Kilatan cahaya muncul, lebih terang dari yang dihasilkan sebagian besar murid sebelumnya, membuat beberapa orang menahan napas. Cahaya itu tiba-tiba meredup begitu saja, seolah disedot kembali ke dalam batu. Tidak padam sepenuhnya, tapi juga tidak bersinar terang seperti seharusnya. Kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan para instruktur tampak saling bertukar pandang dengan raut bingung. "Kenapa begitu?" bisik salah satu murid. "Seharusnya kalau sudah menyala, itu tandanya roh pedangnya aktif, kan?" sahut yang lain. Kael mengerutkan kening. Arsel, di sebelahnya, menyilangkan tangan dan mendecak pelan. "Ini menarik," gumamnya. Instruktur yang bertanggung jawab akhirnya berdeham, mencoba mengembalikan suasana aula yang mulai penuh spekulasi. Meski terlihat ragu, ia akhirnya mencatat sesuatu di daftar murid. "Farel," panggilnya, suaranya tetap tegas. "Kelas mene

    Last Updated : 2025-03-01

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   66. Api dan Bayangan

    Malam sudah turun sempurna ketika Kael dan Arsel menyusup ke tepian desa Arvind. Api dari ladang yang dibakar para bandit menyala redup di kejauhan, cukup untuk membuat siluet musuh terlihat… dan cukup untuk menyembunyikan dua sosok dalam bayang-bayangnya.“Jangan langsung menyerang,” bisik Arsel. “Kita belum tahu berapa banyak dari mereka.”Kael mengangguk. Mereka melangkah pelan di antara rumah-rumah yang hangus. Bau kayu terbakar dan hembusan angin malam menyatu dengan suara teredam tawa kasar para bandit di kejauhan. Beberapa penduduk terlihat diikat di depan balai desa. Tak ada penjaga yang terlalu waspada. Mereka terlalu percaya diri.“Mereka bukan hanya bandit… lihat simbol itu.” Arsel menunjuk salah satu bendera kecil yang tertancap di tanah—gambar ular berlingkar pada tengkorak. “Kelompok pemburu sihir. Mereka pernah muncul di perbatasan barat.”Kael merapat ke dinding. Pandangannya tajam. “Berarti kita tidak boleh sembarangan. Kalau salah langkah, warga bisa jadi sande

  • Pendekar Pedang Naga   65. Latihan Elit Akademi

    Angin dingin menerpa wajah Kael saat ia melangkah ke tengah arena batu. Di seberangnya, Arsel telah bersiap, pedang naga emas bersinar hangat, kontras dengan aura gelap yang merayap dari pedang naga hitam di tangan Kael. Di atas mereka, kristal latihan berputar perlahan, memancarkan cahaya yang membentuk lingkaran medan gravitasi tidak stabil.Guru Besar berdiri di pinggir arena, tangannya terlipat. "Latihan ini sederhana. Bertahan selama satu jam di dalam medan kacau ini… tanpa saling membunuh."Arsel melirik Kael. “Siap?” Kael mengangguk, “Kukira tidak ada latihan elit yang masuk akal.”Begitu kristal bersinar penuh, medan pun berubah.Tubuh mereka seketika ditarik ke arah yang berbeda. Kekuatan naga dalam masing-masing pedang memberontak—pedang emas mendorong, pedang hitam menarik. Langkah mereka berat, gerakan terhambat, dan koordinasi jadi mimpi buruk.“Aku ke kiri!” teriak Arsel. “Kukira ini ke tengah!” Kael membalas, meleset sepersekian detik.Seketika, ledakan kecil dari

  • Pendekar Pedang Naga   64. Menyerang Bayangan

    Beberapa hari setelah duel, Akademi menerima laporan dari wilayah utara: markas perbatasan diserang. Tapi anehnya, tidak ada tanda serangan frontal… hanya jejak kabut hitam dan tubuh-tubuh yang terbaring dalam tidur tanpa mimpi.Guru Besar memanggil Kael dan Arsel ke ruang dalam.“Kekuatan kalian sudah dilihat dunia… dan itu mengundang perhatian.”Ia menggelar gulungan tua di meja. Simbol yang sama dengan yang ada di surat Kakek Ling muncul—bayangan berbentuk tangan yang mencengkeram matahari.“Mereka yang dulu disebut sebagai *Bayangan Tertutup*… kelompok rahasia yang percaya bahwa kekacauan akan melahirkan dunia baru.”“Dan sekarang, mereka memburumu, Kael.” Tugas Rahasia PertamaKael dan Arsel ditugaskan menyelidiki perbatasan utara. Tapi kali ini, mereka tidak hanya berdua. Akademi mengirim satu tim elit: para pendekar muda, penyihir pelacak, dan bahkan satu penjaga rahasia dari istana.Namun sebelum berangkat, Guru Besar berkata kepada Kael, “Jangan hanya andalkan pedangmu. La

  • Pendekar Pedang Naga   63. Kembali Ke Akademi

    Angin musim gugur menyambut Kael saat ia melewati gerbang besar Akademi Pedang. Jubah hitamnya berkibar pelan, dan langkah kakinya mantap. Di pundaknya tergantung pedang naga hitam—bisu, namun terasa berbeda. Tidak lagi mendominasi Kael… tapi kini menyatu dengannya.Tidak banyak yang tahu apa yang terjadi di Gunung Tersembunyi. Tapi aura Kael membuat siapa pun yang melihatnya langsung diam. Ada sesuatu dalam matanya. Kedalaman. Keteguhan. Seolah ia telah menatap kegelapan—dan kembali membawa cahaya dari sana.Arsel adalah orang pertama yang menyambutnya. Ia sedang berlatih di halaman barat saat melihat sosok Kael dari kejauhan.“Akhirnya kau kembali.” Suara Arsel terdengar datar, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.Kael mengangguk. “Aku pulang.”Mereka tidak perlu banyak kata. Tapi Arsel bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Saat mereka bersalaman, ia terkejut.“Tanganmu… terasa seperti batu. Kau latihan atau bertarung melawan gunung?”Kael tersenyum kecil. “Keduanya.”Banyak

  • Pendekar Pedang Naga   62. Pertarungan Tanpa Pedang

    Pagi di gunung kembali dingin. Kabut masih menggantung rendah saat Kael membuka matanya, tubuhnya masih terasa berat, tapi jauh lebih baik. Yang pertama ia lihat adalah Kakek Ling, berdiri di depan pintu, tangan bersilang, matanya tajam seperti biasa.“Kau cukup tidur seperti batu. Sekarang saatnya kembali hidup.”Kael bangkit perlahan, duduk dengan nafas panjang.“Maaf… aku—”“Jangan minta maaf. Tapi jangan ulangi kebodohanmu juga,” potong Kakek Ling. “Kalau kau mau mati, tunggu sampai pelatihanku selesai. Baru setelah itu, kau bebas bunuh dirimu sendiri di medan perang.”Kael tersenyum kecut. Tapi ia tahu… itu bentuk perhatian. Kakek Ling mengganti metode. Kali ini bukan sekadar menggerakkan tubuh, tapi menyelaraskan kesadaran dan perasaan."Kekuatan naga hitam bukan sekadar serangan dan kekuatan kasar. Ia adalah kekuatan yang tumbuh dari bayanganmu sendiri. Kau harus belajar menyatu dengan itu—tanpa dikendalikan olehnya."Kael berjalan seorang diri menyusuri hutan di kaki gunung,

  • Pendekar Pedang Naga   61. Tamu Tak Diundang

    .Tak lama kemudian, sosok berjubah kelabu muncul dari balik kabut. Langkahnya tenang, senyumnya nyaris tak terlihat, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara seolah menjadi lebih dingin.“Sudah lama aku tak melihat tempat ini... dan kau, Kakek Ling.”Kakek Ling bergeming. Tatapannya menjadi dingin. “Aku tak pernah mengundangmu kembali.”“Tapi aku tahu kau sedang melatih seseorang spesial. Murid yang menyimpan naga hitam dalam tubuhnya…”Kael langsung memasang kuda-kuda. “Siapa kau?”Orang itu hanya menoleh dengan tenang. “Namaku tidak penting. Tapi kau boleh memanggilku... Veynar.”Ia berjalan mendekat, dan dalam satu gerakan cepat—tubuhnya melesat ke depan, menebas udara dengan tangan kosong.Kael nyaris tak sempat menangkis. Angin serangan itu menghantam tubuhnya hingga tergeser beberapa langkah.“Ini bukan tantangan, bocah. Ini... peringatan.”Kakek Ling maju selangkah, aura tekanan keluar dari tubuhnya. “Kau tak punya hak menyentuh muridku.”Veynar berhenti. L

  • Pendekar Pedang Naga   60. Duel Dalam Senyap

    Sosok bertopeng itu melangkah pelan ke arah Kael. Tanah bergetar ringan tiap kali kakinya menginjak bumi. Di tangannya, senjata kristal hitam itu menyala samar—seolah berdenyut dengan napas makhluk asing.Kael mengangkat kuda-kudanya. Ia bisa merasakan hawa tekanan dari lawan ini. Berbeda dari bandit sebelumnya. Lebih… sadar.“Siapa kau?” tanya Kael, mencoba mengulur waktu.Tak ada jawaban. Hanya desiran napas berat dari balik topeng logam itu. Lalu, serangan datang secepat kilat.Blaaam!Kael nyaris tak sempat menangkis. Tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang. Debu naik tinggi. Lengan kirinya terasa kebas.“Cepat… dan kuat,” gumamnya, berdiri lagi.Bandit bertopeng maju lagi, dan duel pun pecah—pukulan, tendangan, dan ayunan senjata saling bertemu di tengah-tengah kepulan asap dan jerit warga yang masih bertahan.Kael tak melawan dengan kekuatan besar, tapi dengan kelincahan. Ia menghindar, memutar, memanfaatkan ketidakseimbangan lawannya. Tapi setiap kali senjata itu nyaris

  • Pendekar Pedang Naga   59. Serangan Di Kaki Gunung

    Pagi itu Kakek Ling membawa Kael ke jalur curam di lereng belakang gunung. Batu-batu tajam berserakan. Akar pohon menyembul seperti perangkap. Udara tipis dan berat.Kael sudah siap untuk lari, lompat, atau menahan beban berat.Tapi perintah Kakek Ling justru membuatnya bingung.“Kau akan menapaki jalur ini seribu langkah... tanpa mengatur napas lebih dari satu tarikan.”Kael memutar kepala. “Satu tarikan... untuk seribu langkah? Itu tidak mungkin.”“Tepat,” jawab Kakek Ling dengan tenang. “Itulah kenapa hanya sedikit yang bisa menyelesaikannya.”Kael memandang jalur itu, panjang dan penuh rintangan. “Dan kalau aku gagal?”“Kau ulangi dari awal.”Kael menarik napas panjang, lalu mengangguk.Langkah pertama dimulai. Satu tarikan napas. Kaki bergerak perlahan, matanya fokus pada tiap pijakan.Lima puluh langkah pertama berjalan baik. Tapi tubuh mulai berontak. Napasnya terasa menggantung. Paru-parunya menjerit.Langkah ke seratus… lalu dua ratus. Tubuhnya mulai gemetar. Kepala

  • Pendekar Pedang Naga   58. Suara Dalam Bayangan

    Fajar belum sepenuhnya muncul saat Kael keluar rumah. Udara dingin menusuk, tapi Kakek Ling sudah berdiri di halaman belakang, memandangi arah timur, seperti sedang membaca isyarat dari angin.Tanpa menyapa, ia menunjuk ke sebuah ember tua yang diletakkan di tanah. Ember itu jelas sudah tua dan penuh lubang kecil di dasar dan sisinya.“Ambil air dari sungai di bawah bukit, dan isi wadah batu itu sampai penuh,” kata Kakek Ling, menunjuk ke sebuah cekungan batu besar di dekat pohon.Kael menatap ember itu, lalu wadah batu. Jaraknya cukup jauh. Tapi yang lebih aneh—ember itu jelas tak akan bisa menampung air karena bocor di banyak tempat.“Tapi... ini akan langsung tumpah sebelum aku sampai sini,” protes Kael.Kakek Ling hanya menatapnya datar. “Lakukan.”Kael menggertakkan gigi, mengambil ember itu, dan berjalan menuruni bukit ke arah sungai. Ia mengisi air, dan seperti yang diduganya, air mulai bocor sebelum ia kembali separuh jalan. Ia tetap berjalan, menumpahkan sebagian besar air se

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status