Sekar Sari masih berdiam diri di tempat selama beberapa detik lamanya. Saat akan mendekat ke perkampungan kembali, gadis itu dengan cepat mengurungkan niatannya. “Aku sebaiknya kembali ke tempat Kakang Lingga dan para warga untuk memastikan keadaan mereka.”Sekar Sari kembali meneruskan perjalanan. Pikiran gadis itu masih terpaku pada sosok seorang gadis yang berlari meninggalkan perkampungan. Dari jaraknya tadi, ia kesulitan untuk melihat wajah jelmaan ular siluman itu. Akan tetapi, dari pertarungan itu dirinya bisa mengambil kesimpulan jika ramuan pemusnah siluman yang dibuatnya memiliki khasiat untuk melawan siluman ular itu.“Aku hanya tinggal menyempurnakan ramuan itu.” Sekar Sari tersenyum, sedikit bernapas lega. “Tapi aku yakin jika siluman ular itu akan kembali mengincarku untuk balas dendam.”“Sekar Sari,” panggil Lingga dari arah berlawanan. Pemuda itu menyusul ke perkampungan karena Sekar Sari tidak kembali dalam waktu cukup lama, terlebih saat dirinya melihat cahaya terang
“Itu ....” Lingga tiba-tiba kikuk ketika menyadari kesalahannya. Ia menoleh ke samping saat Malawati mengamatinya saksama.Di sisi lain, Sekar Sari ikut merasakan ketegangan yang terjadi. Jika sampai Malawati curiga dan bertindak macam-macam, jelas ia, Lingga dan Limbur Kancana akan dirugikan. Bisa saja gadis berbaju hijau itu akan berpikir-pikir macam-macam.“Sepertinya aku salah memanggil.” Lingga mengusap tengkuk sesaat. “Sekar Sari adalah salah satu temanku di perkampunganku dulu. Karena namanya mirip dengan Sekar Dewi, aku seringkali salah memanggil namanya.”“Itu sudah sering terjadi,” tambah Sekar Sari, meyakinkan, “aku sudah sering mendengar Kakang ... Bimantara salah menyebut namaku.”Malawati diam sesaat, menoleh pada Lingga dan Sekar Sari bergantian, kemudian mengangguk. Gadis itu menoleh pada mulut gua sesaat, melirik Limbur Kancana yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Ia tidak memungkiri jika ketiga orang di dekatnya mencurigakan, seakan tengah menyembunyikan sesuatu
Di luar gua, Lingga terus mengkhawatirkan keadaan Limbur Kancana yang masih belum memberikan tanda-tanda akan kembali. Pemuda itu berjalan ke kiri dan kanan, dengan sesekali mengarah pada perkampungan. Suasana sangat hening hingga ia bisa mendengar suara tarikan dan embusan napasnya sendiri.“Aku benar-benar mengkhawatirkan keadaan paman.” Lingga mengembus napas panjang, lantas melompat ke atas puncak pohon. Pemandangan yang ia lihat hanyalah hamparan pepohonan dan titik api kecil dari arah perkampungan.Lingga melompat turun dari puncak pohon, menoleh pada tiruan Limbur Kancana yang hanya diam dengan sesekali memperhatikannya. Ia sempat berpikir untuk menyusul Limbur Kancana. Hanya saja, pilihan itu jelas sangat berbahaya.“Aku harus melakukan sesuatu untuk membantu paman.” Lingga menarik napas dalam, mengendalikan dirinya agar lebih tenang. Pemuda itu menyentuh bahu tiruan Limbur Kancana, memejamkan mata, kemudian mengirim tenaga dalamnya.Lingga berusaha memusatkan pikiran dan memb
Tumbukan dua kekuatan itu lagi-lagi menciptakan deru angin yang mengembus kencang ke sekeliling, ditambah dengan asap putih yang menyelimuti sekitar. Limbur Kancana tiba-tiba keluar dari kekangan asap putih dengan tangan yang langsung menghantam kepala siluman ular itu hingga terlempar ke belakang dengan kuat. Dari cahaya yang berkumpul di kedua tangannya, tiba-tiba tercipta sebuah kubah merah.Wintara yang menyadari hal itu segera bergerak cepat untuk meloloskan diri dari kungkungan kubah seraya melemparkan tombak hitam ke langit. Akan tetapi, ia mendapat tendangan kuat di kepala dari dua tiruan Limbur Kancana yang mendadak munucl hingga kembali mundur. Saat tubuhnya akan sepenuhnya terkurung dalam kubah, dari arah hutan Nilasari tiba-tiba muncul dan langsung melemparkan susuk-susuk hitamnya.Dua tiruan Limbur Kancana seketika lenyap seperti debu tertiup angin, begitupun dengan kubah merah yang pecah berhamburan setelah terkena serangan ekor Nilasari dan ratusan tombak hitam yang dim
Limbur Kancana terdorong ke belakang hingga menabrak Lingga yang sedang berjaga di dekat gua. Keduanya jatuh hingga berkalang tanah.“Paman, apa yang terjadi?” tanya Lingga.Limbur Kancana dengan cepat menggetok kepala Lingga, bangkit berdiri dengan tatapan yang tertuju ke sekeliling.Lingga ikut berdiri dengan wajah cemberut. “Kenapa Paman memukul kepalaku? Padahal aku sangat mengkhawatirkan Paman.”“Itu karena kewaspadaanmu masih sangat lemah.” Limbur Kancana menoleh ke sekeliling, melirik ke dalam gua. Pria itu terpejam untuk melihat bayangan peristiwa yang sudah terjadi pada tiruannya yang berada di sekitar sini. Ia tercekat sesaat ketika mendapat gambaran satu siluman ular berada di perkampungan, ditambah tiruannya yang menemani Sekar Sari ke perkampungan, lalu membawa seorang anak kecil ke dalam gua. “Ceritakan apa yang sudah terjadi.”Limbur Kancana berjalan menjauhi gua setelah membuat tiruan untuk berjaga di mulut gua. Lingga segera mengikuti dari belakang.Lingga menoleh sin
Bangasera tiba-tiba tertawa ketika melihat raut keterkejutan Wintara. Pria bersisik ular itu berjalan mendekat. “Sepertinya kalian berdua mendapat lawan yang tangguh hingga kesulitan untuk mengalahkan musuh kalian.”“Apa yang kau mau dariku?” Wintara segera berdiri, melirik Nilasari yang terkapar tak sadarkan diri. Ia menggertakkan gigi kuat-kuat saat melihat tubuh gadis itu terbakar di bagian lengan, leher, kaki dan sebagian wajah. Amarahnya mendadak meluap saat mengingat pertarungannya dengan sosok pendekar asing tadi.“Aku hanya ingin menolong kalian,” jawab Bangasera dengan senyum tipis, “sudah menjadi kewajibanku untuk menolong bawahanku sendiri.”“Kau!” tunjuk Wintara dengan wajah memerah menahan amarah.Bangasera tertawa menggelegar. “Sepertinya pendekar yang kau lawan bukanlah pendekar semebarangan. Dia cukup tangguh, bahkan sampai bisa melukaimu dan adikmu. Apa kau bisa menjelaskan padaku secara rinci bagaimana sosok pendekar yang kau lawan barusan, Wintara?”“Untuk apa aku m
“Bagus, itu berarti tidak sia-sia aku menolong kalian berdua beberapa waktu lalu.” Bangasera menoleh ke arah selatan. Seekor ular tiba-tiba muncul di bahunya, berdesis beberapa kali. Setelahnya, makhluk melata itu kembali menghilang.“Salah satu pasukan Wulung, Argaseni, Brajawesi sedang bergerak menuju wilayah selatan,” gumam Bangasera seraya memutar tubuh membelakangi Wintara dan Nilasari. “Lalu di mana pasukan Kartasura sekarang berada? Sampai saat ini aku hanya mendapati kumpulan kelelawarnya yang terus mengikuti pasukanku dan pasukan anggota Cakar Setan yang lain. Sepertinya dia ingin bertindak curang.”Bangasera kembali berbalik, menatap Wintara dan Nilasari bergantian. “Aku sangat berharap kalian bisa menghabisi Tarusbawa dengan segera. Hanya saja, dengan keadaan kalian saat ini, kalian membutuhkan waktu untuk memulihkan diri.”“Tanpa perlu kau katakan, kami tahu apa yang harus kami lakukan, Bangasera.” Nilasari memutar bola mata. “Jangan harap karena kau menolongku, aku dan Ka
Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari, Malawati dan para warga kembali ke perkampungan saat matahari mulai terbit dari ufuk timur. Keadaan tempat itu porak poranda laksana baru saja diterjang badai. Para tabib tampak sibuk mengumpulkan para pendekar yang menjadi korban di tengah perkampungan. Di sisi lain, para pendekar yang berhasil selamat ikut memadati perkampungan dan membantu beberapa warga yang juga menjadi korban.Beberapa wanita terlihat jatuh pingsan ketika melihat reruntuhan rumahnya. Anak-anak tampak menangis ketika ibu mereka tergeletak tak berdaya berkalang tanah.Melihat perkampungan yang hancur serta para korban yang bergelimpangan, membuat Lingga kembali mengingat kejadian penyerangan pasukan pendekar golongan hitam. Pemuda itu menggigit bibir bawah kuat-kuat, merutuk dirinya sendiri karena tidak bisa membantu apa pun dalam menangani masalah ini.“Kita harus segera pergi,” ujar Limbur Kancana serya menyentuh bahu Lingga.Lingga mengembus napas panjang, mengangguk paham. P