Lingga dan Limbur Kancana sengaja menjauh untuk melakukan latihan. Untuk menghindari kecurigaan Malawati, Sekar Sari sengaja membawa gadis itu pergi menjauh dari tempat latihan.Limbur Kancana segera membuat sebuah kubah tak kasat mata yang menghalangi pandangan orang-orang di sekitar. Tempatnya berada di sebuah tanah lapang yang berada di pedalam hutav. “Hari ini aku akan mengajarimu sebuah jurus baru, Lingga.”“Jurus baru?” Lingga mendadak bersemangat. “Cepat ajari aku, Paman.”“Jurus ini termasuk jurus tingkat lanjut dari jurus harimau putih. Jurus ini bernama jurus auman harimau putih dan termasuk ke dalam jurus yang memiliki tingkat kerumitan dan kesulitan yang tinggi untuk dikuasai. Jurus ini adalah jurus yang diciptakan oleh aki-aki bau itu. Aku harap kau bisa menguasainya dalam waktu cepat.”“Aki,” gumam Lingga dengan wajah yang mendadak serius, menunduk dengan tatapan yang tertuju pada kedua telapak tangan. Perhatiannya menjadi terpecah sesaat, dan ketika menoleh ke arah Limb
Sekar Sari yang akan mengeluarkan kendi berisi cairan hitam seketika terdiam. Pikirannya kembali terbang pada kejadian sesaat setelah pertarungannya dengan ular siluman itu di mana ia melihat seorang gadis berlari ke luar dari perkampungan. Entah mengapa pikirannya justru langsung tertuju pada Nilasari. Ia juga tidak melihat gadis itu di perkampungan pagi hari tadi. “Aku sama sekali tidak melihat mereka.”“Apa mungkin mereka sudah melarikan diri atau terluka di suatu tempat?” Malawati menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air. “Bukankah tujuan mereka untuk mengalahkan dua siluman ular itu?”“Aku rasa mereka bisa menjaga diri mereka sendiri,” kata Sekar Sari yang kemudian membuka tutup kendi berisi cairan hitam dengan napas tertahan. Ia harus kuat menahan bau busuk setiap kali hal itu terjadi. “Jika mereka berhasil selamat, kemungkinan besar kita akan bertemu kembali dengan mereka di Jaya Tonggoh.”“Apa kau merasa jika mereka berdua sedikit aneh?” tanya Malawati dengan wajah tertuju pa
Bulan menggantung di langit bersamaan dengan malam yang kembali tiba. Dua bayangan hitam tampak bergerak ke luar gua dan tak lama setelahnya menampilkan sosok Wintara dan Nilasari saat cahaya menyinari keduanya.“Waktunya sudah tiba, Nilasari,” ujar Wintara seraya terkekeh pelan, “meski kita belum sepenuhnya pulih, tapi kita harus bergerak cepat untuk segera pergi ke wilayah Jaya Tonggoh. Jika yang dikatakan Bangasera benar, kita bisa menemukan pasukan pendekar golongan hitam yang sedang bergerak ke wilayah selatan.”“Aku mengerti, Kakang. Aku juga sudah menantikan malam ini tiba.”Wintara dan Nilasari segera mengubah wujud menjadi ular siluman, lalu bergerak memasuki belantara hutan. Keduanya melewati deretan pepohonan di tengah temaramnya cahaya bulan. Dari kejauhan, kedua kakak beradik itu seperti dua bayangan yang bergerak sangat cepat.Wintara dan Nilasari berhenti ketika menemukan sekumpulan pendekar dalam jumlah cukup banyak sedang beristirahat di tengah hutan dengan api unggun
“Pemuda itu bernama Lingga,” jawab pria itu dengan keringat yang mulai bercucuran, “dia bertubuh tinggi, berkulit putih bersih dengan alis tebal. Dia selalu bersama dengan pendekar yang bernama Limbur Kancana. Terakhir kali dia berada di kawasan hutan Lebak Angin.” “Lingga?” gumam Wintara dan Nilasari bersamaan. “Lalu di pihak siapa kau sekarang?” tanya Wintara kemudian. “A-aku ... berada di bawah kepemimpinan anggota Cakar Setan yang bernama Argaseni.” “Jelaskan padaku lebih rinci mengenai Argaseni!” perintah Wintara seraya memelotot tajam. Pria itu memejamkan mata ketakutan. Bibirnya setengah terbuka dan bergetar di saat yang bersamaan. Ketika kembali membuka mata, tubuhnya tiba-tiba mengejang hingga lepas dari cengkeraman Wintara. “To-tolong,” ujar pria itu seraya memegangi lehernya sendiri di mana tubuhnya berguling-guling ke kiri dan kanan. Tingkahnya seperti ikan yang jauh dari air. “Apa yang terjadi dengan pria itu, Kakang?” tanya Nilasari. “Sepertinya anggota Cakar Set
Para pendekar golongan hitam itu mulai melayangkan satu per satu serangan. Akan tetapi, serangan mereka sama sekali tidak berdampak apa pun pada Wintara dan Nilasari. Meski begitu, para pendekar itu tidak menyerah dan terus menghantam serangan bergantian.Wintara dan Nilasari saling melilit tubuh masing-masing, kemudian menyapu para pendekar dengan serangan ekor mereka yang lebih kuat dari sebelumnya. Para pendekar itu seketika terpelanting ke sekeliling hingga bertumbangan ke tanah. Hal itu segera dimanfaatkan Wintara dan Nilasari untuk melahap mereka. Meski begitu, masih ada beberapa pendekar yang berhasil menyelamatkan diri.“Kita harus memberi tahu Wulung dengan segera,” ujar salah satu pendekar yang berlari mememasuki kegelapan hutan. Ia menoleh pada tiga rekannya yang ikut berlari di sampingnya. “Sekarang berpencar.”“Baik,” sahut tiga rekan pria itu seraya berlari ke arah yang berbeda.“Ternyata dua siluman itu juga ikut menyerang kami.” Pendekar itu terhenyak ketika mendengar
Kartasura segera mengubah rupa menjadi kelelawar kecil, lalu terbang bersama kumpulan kelelawarnya menuju tempat yang ditunjuk. Di setiap sisi jalan, para pendekar tampak berjaga, hilir mudik mengawasi keadaan sekitar. Namun, sepertinya mereka tidak terlalu peka terhadap kawanan kelelawar yang menuju ke tengah wilayah Jaya Tonggoh. Kartasura dan kawanan kelelawarnya memasuki tempat yang dituju melalui celah kecil atap yang terbuka. Saat sudah berada di dalam, pria itu kembali mengubah wujud menjadi manusia. Ia lantas memerintahkan kumpulan kelelawarnya mencari kitab yang dibutuhkannya. Kartasura berjalan menuju pinggiran ruangan, menghidupkan satu obor, kemudian menggenggamnya seraya melewati kumpulan rak yang berisi kitab-kitab yang tersusun rapi di kiri, kanan, depan dan belakang. Sesuai dengan kabar yang dirinya terima dari salah satu pendekar golongan putih yang ia paksa untuk mengobati Wira dan Danuseka, tempat ini berisi ribuan kitab yang berisi berbagai jenis kitab dari beraga
Matahari sudah beranjak dari ufuk timur. Sinar lembut tampak terperangkap di beningnya embun di atas dedaunan. Jejak kaki silih berganti hadir menginjak jalan setapak. Udara segar dan hangatnya mentari beradu di waktu pagi. Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari dan Malawati tengah berjalan di jalanan setapak. Keempatnya kemudian keluar dari kungkungan pepohonan rindang, melibas pinggiran sungai di mana arusnya tampak cukup deras. Setelah selesai mengisi perut, keempat orang itu bergegas meneruskan perjalan menuju wilayah Jaya Tonggoh. Siang nanti, mereka harus sudah berada di tempat itu. “Aku sungguh tidak sabar untuk segera berada di tempat itu,” ujar Sekar Sari dengan senyum mengembang, “aku sudah menyiapkan beberapa persiapan untuk mengunjungi tempat yang kau sebutkan Malawati.” “Kau sudah mengatakannya berulang kali selama dalam perjalanan kita, Sekar Dewi.” Malawati memutar bola mata. “Aku benar-benar sudah bosan mendengarnya.” “Aku tahu kau hanya iri denganku,” ketus Sekar Sari
Pendekar golongan hitam itu mulai kembali ke keadaan semula. pria itu perlahan menoleh pada Limbur Kancana menggali kembali ingatan yang terjadi padanya semalam. “Se-semalam, aku dan teman-temanku diserang oleh dua ekor siluman ular. Banyak dari teman-temanku yang menjadi korban. Sepertinya hanya aku yang berhasil selamat.”“Dua siluman ular?” Limbur Kancana memastikan apa yang barusan dirinya dengar, menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di kedua bota matanya. Di saat yang sama, Lingga, Sekar Sari dan Malawati ikut terkejut mendengar penjelasan tersebut.Limbur Kancana diam sejenak, menoleh ke sisi lain. Matanya menyipit, tenggelam dalam lamunan. Sesuai dugaannya, dua siluman ular itu akan kembali mengisap kekuatan lawan untuk memulihkan diri. Hanya saja, ia cukup terkejut ketika dua siluman ular itu ikut menjadikan para pendekar golongan hitam sebagai korban. Di sisi lain, jawaban tersebut membuatnya mengetahui keadaan anggota Cakar Setan setelah mendapat serangan dari Li
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me