Pendekar golongan hitam itu mulai kembali ke keadaan semula. pria itu perlahan menoleh pada Limbur Kancana menggali kembali ingatan yang terjadi padanya semalam. “Se-semalam, aku dan teman-temanku diserang oleh dua ekor siluman ular. Banyak dari teman-temanku yang menjadi korban. Sepertinya hanya aku yang berhasil selamat.”“Dua siluman ular?” Limbur Kancana memastikan apa yang barusan dirinya dengar, menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di kedua bota matanya. Di saat yang sama, Lingga, Sekar Sari dan Malawati ikut terkejut mendengar penjelasan tersebut.Limbur Kancana diam sejenak, menoleh ke sisi lain. Matanya menyipit, tenggelam dalam lamunan. Sesuai dugaannya, dua siluman ular itu akan kembali mengisap kekuatan lawan untuk memulihkan diri. Hanya saja, ia cukup terkejut ketika dua siluman ular itu ikut menjadikan para pendekar golongan hitam sebagai korban. Di sisi lain, jawaban tersebut membuatnya mengetahui keadaan anggota Cakar Setan setelah mendapat serangan dari Li
Kekuatan aneh itu nyatanya berasal dari Kartasura yang saat ini tengah membelah air terjun dengan kedua tangannya. Pria itu tertawa pelan saat menemukan sebuah jalan yang berada di balik air terjun. Tujuannya untuk membangkitkan kembali Wira dan Danuseka akhirnya tinggal beberapa langkah lagi.Pria yang bersama Kartasura berjalan lebih dahulu, disusul Kartasura yang kemudian menutup kembali air terjun. Keduanya berjalan di jalan setapak yang sekelilingnya di penuhi oleh tanaman merambat. Tetes air berjatuhan dari atap yang penuh dengan lumut hijau. Jejak kaki keduanya bersahutan dengan suara deburan air terjun dari luar.Kartasura dan pria yang sudah dalam pengaruh kelelelawarnya tiba di sebuah kolam berair bening tak lama kemudian. Sinar matahari tampak terperangkap di permukaan telaga. Angin sepoi-sepoi berembus pelan, menggerakkan tanaman hijau di sekeliling kolam. Atap ruangan itu nyatanya terdiri dari akar-akar tanaman besar.Kartasura berjalan menuju pinggiran kolam, berjongkok,
Untuk kedua kalinya Lingga merasakan kekuatan aneh yang menyebar dari suatu arah. Pemuda itu berhenti sesaat di pintu warung makan, mengawasi keadaan sekeliling.“Ada apa, Kakang?” tanya Sekar Sari yang terpaksa ikut berhenti di belakang Lingga.“Tidak ada.” Lingga menggeleng, kembali berjalan mengikuti Limbur Kancana yang sudah lebih dahulu masuk ke warung makan bersama pendekar dari golongan hitam.Tiga orang pelayan wanita yang melihat kehadiran Lingga seketika menoleh pada pemuda itu, memperhatikan gerak-geraknya hingga duduk di samping Limbur Kancana. Sekar Sari dan Malawati yang melihat hal itu seketika memelototi ketiga pelayan itu.Sekar Sari dan Malawati buru-buru mendekat pada Lingga. Kedua gadis itu saling menyikut dan melempar tatapan ketus satu sama lain karena ingin berhadapan langsung dengan Lingga. Keduanya baru diam saat Limbur Kancana memelototi mereka.Makan siang berjalan dengan hening meski Sekar Sari dan Malawati tampak sibuk memelototi pada pelayan wanita dan me
“Siapa yang baru saja berbicara padaku?” tanya Lingga. Pandangannya segera mengawasi keadaan sekeliling. Suara itu begitu sangat dekat, tetapi yang berada di sampingnya saat ini hanyalah Sekar Sari dan Malawati saja, sedang orang-orang di sekitarnya berada agak jauh dan terlihat sibuk dengan urusan masing-masing.“Ada apa, Kakang?” Sekar Sari dan Malawati bertanya dalam waktu bersamaan. Kedua gadis itu saling menatap satu sama lain, kemudian memutar bola mata.“Apa kalian mendengar suara tadi?” Lingga balik bertanya. “Aku mendengar suara seorang pria yang memintaku untuk pergi ke suatu tempat.”“Tapi hanya kami berdua yang sejak tadi berada di dekatmu, Kakang,” kata Sekar Sari, “dan aku sama sekali tidak mengatakan apa pun.”Lingga menggaruk rambut yang tak gatal, kembali mengawasi keadaan sekeliling. Ia sangat yakin jika ada seseorang yang berbicara padanya barusan. Namun, di saat yang sama dirinya juga tidak melihat ada orang lain di sampingnya selain Sekar Sari dan Malawati. “Seper
Pria botak pemilik rumah itu perlahan mengerjap, berusaha membuka mata di saat cahaya matahari menerobos dari atap rumah yang berlubang. Ia berusaha duduk, terbatuk beberapa kali hingga tubuhnya bergetar. Lingga dengan sigap memeganginya.“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di rumahku?” tanya pria botak itu sembari memijat kepalanya yang serasa berputar. Begitu penglihatannya kembali seperti semula, ia terkejut ketika melihat keadaan rumahnya yang berantakan.Pria botak itu segera turun dari dipan dan terjatuh karena kakinya belum bisa menahan bobot tubuh. “Ramuan-ramuanku hancur.”“Minumlah.” Malawati menyodorkan segelas air.Pria botak itu meneguknya hingga habis, memegang tangan Lingga dengan kuat untuk berdiri. Matanya berkaca-kaca saat melihat barang-barang di sekelilingnya hancur, terutama kendi-kendi berisi ramuan yang kini entah ke mana isinya.“Apa yang terjadi denganmu, Paman?” tanya Lingga, “saat kami berkunjung ke rumah ini, keadaan rumahmu sudah kacau balau. Kami me
“Harusnya kami yang bertanya padamu, Kakang,” kata Sekar Sari dengan raut khawatir, mengamati Lingga yang sejak tadi bertingkah aneh.Lingga mundur beberapa langkah, kembali mengawasi keadaan di depannya yang berupa tebing curam. Entah bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini, padahal seingatnya ia sedang berada di sekitar rumah pria botak penjual ramuan obat.“Apa yang terjadi denganku?” tanya Lingga, “bagaimana aku bisa berada di tempat ini?”Malawati dan Sekar Sari menoleh satu sama lain untuk sesaat.“Kau tiba-tiba saja berjalan ke tempat ini, Kakang. Kau bahkan mengabaikan panggilanku dan panggilan Malawati,” terang Sekar Sari, “kau seperti tengah ditarik sesuatu untuk sampai ke tempat ini. Untunglah aku dan Malawati bisa menghentikanmu tepat waktu.”“Kakang, sepertinya kau membutuhkan istirahat. Wajahmu sedikit pucat dan kau terlihaat seperti orang yang kebingungan sejak tadi.” Malawati ikut berbicara.“Itu benar, Kakang,” sahut Sekar Sari, “beristirahatlah sampai keadaanmu k
“Apa maksudmu, Malawati?” tanya Sekar Sari dengan tatapan dingin. Ia sedikit melempar pisau hingga ujungnya menempel di meja. Malawati menyilangkan kedua tangan di depan dada, menoleh ke arah luar. “Orang tuaku, keluargaku, teman-temanku meninggal karena penyerangan pendekar golongan hitam lima tahun lalu. Aku pikir bukan hanya aku yang merasakan masa-masa mengerikan itu. Kau juga pasti merasakan sakitnya kehilangan keluarga di depan matamu sendiri, Sekar Dewi. Jika saja pewaris kujang emas itu menampakkan diri untuk menolong kita atau menyerahkan diri agar penyerangan itu dihentikan, aku pikir kejadiannya tidak akan menjadi lebih buruk.” Malawati menoleh pada Sekar Sari. “Jika pewaris kujang emas itu sudah membangkitkan kujang emas dan mampu mengalahkan anggota Cakar Setan, mengapa dia harus tetap bersembunyi? Bukankah dia sudah sangat kuat dengan pusaka kujang emas itu? Lalu apa lagi yang dia tunggu saat ini? Berlatih agar lebih kuat? Benar-benar menyebalkan.” Sekar Sari menunduk,
Malam semakin menggurita. Dari pekatnya hutan, samarnya cahaya bulan, suara serangga malam, dua ekor ular tengah bergerak cepat menaiki sebatang pohon. Begitu sudah mencapai puncak, dua ular itu berubah wujud menjadi Wintara dan Nilasari. “Kita sudah sampai di wilayah Jaya Tonggoh, Nilasari,” ujar Wintara dengan senyum bengis. Dari jaraknya saat ini, ia bisa merasakan banyaknya pendekar yang berada di tempat itu. “Benar, Kakang,” sahut Nilasari, “aku benar-benar tidak sabar untuk mengisap kekuatan para pendekar itu. Dengan begitu, aku akan segera melenyapkan gadis bernama Sekar Dewi, termasuk pendekar yang bernama Aditara yang selalu bersamanya.” “Sayangnya, kita tidak akan menelan mereka malam ini, Nilasari.” Wintara melompat turun, berjalan menuju arah gerbang Jaya Tonggoh. Nilasari ikut meloncat, buru-buru menyejajarkan langkah dengan Wintara. “Apa maksudmu, Kakang? Bukankah kau mengatakan jika kita harus menelan kekuatan para pendekar secepat mungkin untuk meningkatkan kekuatan