Pria botak pemilik rumah itu perlahan mengerjap, berusaha membuka mata di saat cahaya matahari menerobos dari atap rumah yang berlubang. Ia berusaha duduk, terbatuk beberapa kali hingga tubuhnya bergetar. Lingga dengan sigap memeganginya.“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di rumahku?” tanya pria botak itu sembari memijat kepalanya yang serasa berputar. Begitu penglihatannya kembali seperti semula, ia terkejut ketika melihat keadaan rumahnya yang berantakan.Pria botak itu segera turun dari dipan dan terjatuh karena kakinya belum bisa menahan bobot tubuh. “Ramuan-ramuanku hancur.”“Minumlah.” Malawati menyodorkan segelas air.Pria botak itu meneguknya hingga habis, memegang tangan Lingga dengan kuat untuk berdiri. Matanya berkaca-kaca saat melihat barang-barang di sekelilingnya hancur, terutama kendi-kendi berisi ramuan yang kini entah ke mana isinya.“Apa yang terjadi denganmu, Paman?” tanya Lingga, “saat kami berkunjung ke rumah ini, keadaan rumahmu sudah kacau balau. Kami me
“Harusnya kami yang bertanya padamu, Kakang,” kata Sekar Sari dengan raut khawatir, mengamati Lingga yang sejak tadi bertingkah aneh.Lingga mundur beberapa langkah, kembali mengawasi keadaan di depannya yang berupa tebing curam. Entah bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini, padahal seingatnya ia sedang berada di sekitar rumah pria botak penjual ramuan obat.“Apa yang terjadi denganku?” tanya Lingga, “bagaimana aku bisa berada di tempat ini?”Malawati dan Sekar Sari menoleh satu sama lain untuk sesaat.“Kau tiba-tiba saja berjalan ke tempat ini, Kakang. Kau bahkan mengabaikan panggilanku dan panggilan Malawati,” terang Sekar Sari, “kau seperti tengah ditarik sesuatu untuk sampai ke tempat ini. Untunglah aku dan Malawati bisa menghentikanmu tepat waktu.”“Kakang, sepertinya kau membutuhkan istirahat. Wajahmu sedikit pucat dan kau terlihaat seperti orang yang kebingungan sejak tadi.” Malawati ikut berbicara.“Itu benar, Kakang,” sahut Sekar Sari, “beristirahatlah sampai keadaanmu k
“Apa maksudmu, Malawati?” tanya Sekar Sari dengan tatapan dingin. Ia sedikit melempar pisau hingga ujungnya menempel di meja. Malawati menyilangkan kedua tangan di depan dada, menoleh ke arah luar. “Orang tuaku, keluargaku, teman-temanku meninggal karena penyerangan pendekar golongan hitam lima tahun lalu. Aku pikir bukan hanya aku yang merasakan masa-masa mengerikan itu. Kau juga pasti merasakan sakitnya kehilangan keluarga di depan matamu sendiri, Sekar Dewi. Jika saja pewaris kujang emas itu menampakkan diri untuk menolong kita atau menyerahkan diri agar penyerangan itu dihentikan, aku pikir kejadiannya tidak akan menjadi lebih buruk.” Malawati menoleh pada Sekar Sari. “Jika pewaris kujang emas itu sudah membangkitkan kujang emas dan mampu mengalahkan anggota Cakar Setan, mengapa dia harus tetap bersembunyi? Bukankah dia sudah sangat kuat dengan pusaka kujang emas itu? Lalu apa lagi yang dia tunggu saat ini? Berlatih agar lebih kuat? Benar-benar menyebalkan.” Sekar Sari menunduk,
Malam semakin menggurita. Dari pekatnya hutan, samarnya cahaya bulan, suara serangga malam, dua ekor ular tengah bergerak cepat menaiki sebatang pohon. Begitu sudah mencapai puncak, dua ular itu berubah wujud menjadi Wintara dan Nilasari. “Kita sudah sampai di wilayah Jaya Tonggoh, Nilasari,” ujar Wintara dengan senyum bengis. Dari jaraknya saat ini, ia bisa merasakan banyaknya pendekar yang berada di tempat itu. “Benar, Kakang,” sahut Nilasari, “aku benar-benar tidak sabar untuk mengisap kekuatan para pendekar itu. Dengan begitu, aku akan segera melenyapkan gadis bernama Sekar Dewi, termasuk pendekar yang bernama Aditara yang selalu bersamanya.” “Sayangnya, kita tidak akan menelan mereka malam ini, Nilasari.” Wintara melompat turun, berjalan menuju arah gerbang Jaya Tonggoh. Nilasari ikut meloncat, buru-buru menyejajarkan langkah dengan Wintara. “Apa maksudmu, Kakang? Bukankah kau mengatakan jika kita harus menelan kekuatan para pendekar secepat mungkin untuk meningkatkan kekuatan
“Apa benar dua orang itu adalah jelmaan ular siluman yang kau maksud?” tanya Limbur Kancana seraya mengamati Wintara dan Nilasari lekat-lekat. Ia teringat saat pertama kali berjumpa dengan kedua orang itu di mana kedua orang itu memancarkan getaran aneh. “Be-benar, aku tidak mungkin berbohong.” Pendekar golongan hitam itu terbata-bata. Wajahnya mendadak pucat pasi seperti mayat. Keringat dengan cepat membasahi tubuh karena ia tiba-tiba teringat pembantaian yang dilakukan dua siluman ular itu. Ada amarah dan ketakutan yang dirasakannya saat ini. Limbur Kancana menoleh pada pria di sampingnya yang mendadak ketakutan. Ia berharap pria itu memang berkata terus terang. Hanya saja, dirinya harus tetap membuktikannya sendiri. “Kau tentu tahu apa balasan dari seseorang yang berani membohongiku.” “A-aku tentu tahu.” Pendekar golongan hitam itu menutup mata. Limbur Kancana memerintahkan satu tiruannya untuk mengawasi Wintara dan Nilasari dari jauh. Ia kemudian segera melumpuhkan pendekar gol
“Kami akan mengikuti pertemuan esok hari sebagai wakil dari padepokan kami,” jawab Nilasari dengan tatapan jengkel pada Sekar Sari.Wintara terdiam ketika merasakan getaran kuat yang dipancarkan sosok yang dikenalnya sebagai Aditara. Untuk sekali lagi, ia juga merasakan sesuatu yang tak biasa dari pemuda yang mengenalkan dirinya sebagai Bimantara. Bulu kuduknya berdiri sesaat. “Dari padepokan mana kalian berasal?” Sekar Sari memandang sinis Nilasari. Kedua tangannya sudah bersiap untuk menempel ramuan pemusnah siluman pada Nilasari dan Wintara. Ia benar-benar jengkel karena Nilasari terus-menerus memandang Lingga.“Kami berasal dari Padepokan Dewa Sanca,” jawab Nilasari asal.“Padepokan Dewa Sanca,” gumam Limbur Kancana dengan tatapan terkejut. Seluruh teka-teki yang berkeliaran dalam pikirannya seketika terhubung dan membawanya pada sebuah kesimpulan. Ruang gelap dalam pikirannya dengan cepat dipenuhi cahaya yang mampu menjelaskan semua pertanyaan yang menggantung selama ini. Ia bur
Wintara dan Nilasari menepi ke pinggiran perkampungan tak lama setelah kepergian Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari. Kulit mereka masih meninggalkan bekas hitam dan rasa perih akibat terbakar.“Aku merasa jika pemuda bernama Bimantara dan gadis bernama Sekar Dewi itu sengaja menyentuh kita untuk mencelakai kita,” ujar Wintara dengan mata memelotot.“Aku juga berpikir hal yang sama, Kakang,” sahut Malawati dengan tatapan tajam, “kulit kita tiba-tiba saja terbakar setelah mereka berdua menyentuh kita. Rasa panas yang saat ini kurasakan mengingatkanku pada rasa panas yang dihasilkan dari ramuan pemusnah siluman yang pernah kurasakan dari pertarunganku dengan Sekar Dewi dan Aditara.”“Sepertinya mereka menaruh curiga pada kita kalau kita berdua adalah siluman ular yang sudah membuat kekacauan selama ini. Pendekar bernama Aditara itu jelas bukan pendekar bodoh. Tujuan mereka bertemu kita tadi tidak lain untuk membuktikan kecurigaan mereka. Setelah mereka berhasil membuktikannya, mereka
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari tengah mengamati keadaan perkampungan dari atap penginapan. Mereka berada di dalam perlindungan kubah gaib yang mampu menghilangkan hawa keberadaan. Ketiganya terkejut ketika mendapati tempat ini menjadi sunyi senyap dalam waktu singkat. Para warga dalam sekejap memasuki rumah masing-masing, sedang para pendekar segera menyebar dan berkeliling ke semua titik perkampungan hingga ke pinggiran.“Sesuai dugaanku, para pendekar di tempat ini sudah mempersiapkan segala sesuatu jika dua siluman ular itu menyerang malam ini,” ujar Limbur Kancana, “berdasarkan penglihatanku, para warga segera memasuki ruangan bawah tanah di rumah mereka untuk berlindung.” “Apa mungkin Wintara dan Nilasari akan tetap menyerang malam ini, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari. Ia merasa khawatir terhadap keadaan Malawati.“Sepertinya mereka berdua memilih berhati-hati dalam mengambil tindakan setelah saat ini. Salah satu tiruanku melihat jika Wintara dan Nilasari memilih menjauh d
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me