Wintara dan Nilasari menepi ke pinggiran perkampungan tak lama setelah kepergian Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari. Kulit mereka masih meninggalkan bekas hitam dan rasa perih akibat terbakar.“Aku merasa jika pemuda bernama Bimantara dan gadis bernama Sekar Dewi itu sengaja menyentuh kita untuk mencelakai kita,” ujar Wintara dengan mata memelotot.“Aku juga berpikir hal yang sama, Kakang,” sahut Malawati dengan tatapan tajam, “kulit kita tiba-tiba saja terbakar setelah mereka berdua menyentuh kita. Rasa panas yang saat ini kurasakan mengingatkanku pada rasa panas yang dihasilkan dari ramuan pemusnah siluman yang pernah kurasakan dari pertarunganku dengan Sekar Dewi dan Aditara.”“Sepertinya mereka menaruh curiga pada kita kalau kita berdua adalah siluman ular yang sudah membuat kekacauan selama ini. Pendekar bernama Aditara itu jelas bukan pendekar bodoh. Tujuan mereka bertemu kita tadi tidak lain untuk membuktikan kecurigaan mereka. Setelah mereka berhasil membuktikannya, mereka
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari tengah mengamati keadaan perkampungan dari atap penginapan. Mereka berada di dalam perlindungan kubah gaib yang mampu menghilangkan hawa keberadaan. Ketiganya terkejut ketika mendapati tempat ini menjadi sunyi senyap dalam waktu singkat. Para warga dalam sekejap memasuki rumah masing-masing, sedang para pendekar segera menyebar dan berkeliling ke semua titik perkampungan hingga ke pinggiran.“Sesuai dugaanku, para pendekar di tempat ini sudah mempersiapkan segala sesuatu jika dua siluman ular itu menyerang malam ini,” ujar Limbur Kancana, “berdasarkan penglihatanku, para warga segera memasuki ruangan bawah tanah di rumah mereka untuk berlindung.” “Apa mungkin Wintara dan Nilasari akan tetap menyerang malam ini, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari. Ia merasa khawatir terhadap keadaan Malawati.“Sepertinya mereka berdua memilih berhati-hati dalam mengambil tindakan setelah saat ini. Salah satu tiruanku melihat jika Wintara dan Nilasari memilih menjauh d
Begitu Lingga tiba di dasar kolam, ia dengan cepat mengentak tubuh, kemudian melompat dengan sekuat tenaga. Tubuhnya melesat cepat ke arah atas hingga muncul dari permukaan air. Akan tetapi, ia nyatanya tidak mendarat di pinggiran kolam seperti sebelum memasuki kolam tersebut, melainkan berada di sebuah kawasan asing di mana pendekar muda itu berada.“Kenapa aku bisa berada di sini?” tanya Lingga seraya mengawasi keadaan sekeliling yang dipenuhi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Cahaya matahari tampak mengintip dicelah dedaunan yang rimbun.Lingga mendekat ke arah pemuda berbaju putih di depannya, tetapi pemuda itu justru berjalan lebih dahulu. Ketika akan menepuk pundaknya, Lingga justru terkejut ketika tangannya menembus raga pemuda tersebut.“Apa yang terjadi?” Lingga terdiam beberapa saat, mengamati kedua tangannya saksama. Inagatannya melayang pada saat dirinya pernah menghadapai keadaan yang sama beberapa waktu lalu. “Mungkinkah aku kembali ke masa lalu seperti waktu itu? Ta
Tarusbawa mulai melompat di atas batu. Kaki kanannya mendarat di telapak tangan kanan, begitupun saat giliran kaki kirinya meloncat. Ketika mendarat kembali di batu, ia memutar tubuh satu kali dengan tumpuan kaki kiri di mana kaki kanannya tertuju ke atas sejajar dengan kaki kiri.Tarusbawa memukul ruang kosong di depan dengan gerakan yang sangat cepat, kemudian melakukan pukulan ke atas, berpindah ke kanan dan kiri. Gerakan tersebut menghasilkan angin yang berembus kencang ke sekeliling, membuat air terpercik ke sekitar, menciptakan pusaran air yang mengelilinginya.Selesai dengan gerakan memukul, Tarusbawa menendang arah depan, belakang, atas dan bawah dengan gerakan kian cepat. Tebasan angin seketika menerjang ke semua arah mata angin. Sosoknya berubah menjadi sekelebat bayangan yang bergerak cepat di tengah pusaran air dan embusan angin yang sangat kencang.Lingga memandang dengan penuh takjub. Tatapannya tak lepas dari sosok pemuda berbaju putih di depannya yang kini mulai melaya
Lingga segera melompat ke arah orang itu dan tercekat ketika melihat seorang pendekar dengan deretan luka dan darah yang mengucur deras. Tubuhnya tampak lemah dengan napas yang terputus-putus. Tak jauh dari pria itu, terdapat dua orang pendekar lain yang sudah tak bernyawa.Lingga bermaksud untuk membantu pendekar itu, tetapi tangannya lagi-lagi menembus tubuh. Ia menoleh ke samping ketika mendapati Tarusbawa baru saja mendarat.“Apa yang terjadi denganmu, Kisanak?” tanya Tarusbawa seraya mengangkat kepala pendekar yang terkulai lemas itu. Tatapannya beralih pada dua pendekar yang tak jauh darinya. Ia mengamati keduanya saksama, terpejam sesaat.“Aku dan kedua temanku adalah pendekar yang ditugaskan untuk melenyapkan dua siluman ular yang terkenal dengan sebutan Dewa Sanca dan Dewi Sanca. Hanya saja seluruh rekan-rekan kami tewas di tangan dua siluman itu. Hanya kami bertiga yang berhasil selamat.” Pendekar itu tiba-tiba menangis, menoleh ke arah dua temannya yang sudah tidak menunjuk
Lama bersiaga nyatanya Tarusbawa tidak menemukan siapa pun dan apa pun di tempat ini. Kewaspadaannya mulai menurun meski tatapannya masih mengawasi keadaan sekeliling. Pemuda itu mengembus napas panjang, berusaha menenangkan diri. Untuk kedua kalinya ia merasakan seseorang sedang mengawasinya. Akan tetapi, ketika sudah menajamkan seluruh indra, dirinya sama sekali lagi-lagi tidak mendapati sosok penguntit itu.Tarusbawa kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Pemuda itu meninggalkan Telaga Asri, berjalan ke arah mulut gua. Langkah kakinya memercik suara di tengah deburan air terjun yang mulai terdengar.“Bagaimana jadinya jika aku berendam di Telaga Asri saat ini?” tanya Lingga seraya mendekat ke arah kolam berarih jernih itu. Ketika sudah berada di pinggir telaga, ia justru terkejut ketika tidak mendapati bayangannya di sana.Lingga menoleh ke arah mulut gua di mana Tarusbawa sudah tidak terlihat lagi. Pemuda itu mengambil ancang-ancang untuk melompat ke dalam telaga. Saat tubu
Lingga kontan melompat untuk menangkap para pendekar yang terbang ke arahnya. Akan tetapi, tubuhnya ditembus begitu saja oleh pendekar itu.Tarusbawa menangkap satu per satu pendekar yang terpelanting ke arahnya. Pemuda itu lalu meletakkan ketiga pendekar itu di tanah, memeriksa keadaan mereka. “Mereka bertiga masih hidup. Mereka hanya tidak sadarkan diri.”Tarusbawa membuat sebuah kubah gaib untuk melindungi ketiga pendekar itu. Ia menghimpun kekuatan di kedua kaki. Saat kakinya mengentak tanah, tubuhnya seketika melesat cepat ke atas bukit. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat dua siluman ular itu masih bertarung dengan lima orang pendekar yang tersisa.“Jurus harimau putih,” ujar Lingga dengan tatapan kagum. Pemuda itu segera menghimpun kekuatan di kedua kaki, bersiap untuk melompat. Namun, secara tiba-tiba ia sudah berada di sisi medan pertempuran, menyaksikan lima pendekar bergelut dengan dua siluman ular itu yang melayangkan serangan ekor ke sekeliling arah.Lima pendekar it
Tarusbawa memandang Wintara dan Nilasari dengan tatapan tegas. Kedua tangannya terkepal erat karena amarah yang meluap-luap. Ia sudah melihat puluhan pendekar meregang nyawa selama dalam pencarian, ditambah mendengar ratusan warga dan pendekar yang sudah menjadi korban keganasan dua siluman itu.Tarusbawa berusaha tenang meski amarah terus memuncak ketika melihat dua sosok jelamaan siluman ular di depannya tampak tidak merasa bersalah dengan para korban yang sudah berguguran. “Jadi kalian berdua adalah sosok jelmaan dua siluman ular yang sudah banyak membunuh para pendekar dan warga. Aku tidak akan membiarkan kalian kembali berbuat kekacauan lebih jauh dari ini.”“Jika benar, apa yang kau inginkan dariku?” tanya Wintara.“Aku akan melenyapkan kalian berdua.”Wintara berdecak, maju beberapa langkah. “Kau sombong sekali. Kau pikir dengan kemampuanmu sekarang kau bisa mengalahkan kami berdua?”Wintara terkekeh, memelotot tajam. “Apa kau tidak melihat puluhan pendekar yang sudah kami habi