Lama bersiaga nyatanya Tarusbawa tidak menemukan siapa pun dan apa pun di tempat ini. Kewaspadaannya mulai menurun meski tatapannya masih mengawasi keadaan sekeliling. Pemuda itu mengembus napas panjang, berusaha menenangkan diri. Untuk kedua kalinya ia merasakan seseorang sedang mengawasinya. Akan tetapi, ketika sudah menajamkan seluruh indra, dirinya sama sekali lagi-lagi tidak mendapati sosok penguntit itu.Tarusbawa kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Pemuda itu meninggalkan Telaga Asri, berjalan ke arah mulut gua. Langkah kakinya memercik suara di tengah deburan air terjun yang mulai terdengar.“Bagaimana jadinya jika aku berendam di Telaga Asri saat ini?” tanya Lingga seraya mendekat ke arah kolam berarih jernih itu. Ketika sudah berada di pinggir telaga, ia justru terkejut ketika tidak mendapati bayangannya di sana.Lingga menoleh ke arah mulut gua di mana Tarusbawa sudah tidak terlihat lagi. Pemuda itu mengambil ancang-ancang untuk melompat ke dalam telaga. Saat tubu
Lingga kontan melompat untuk menangkap para pendekar yang terbang ke arahnya. Akan tetapi, tubuhnya ditembus begitu saja oleh pendekar itu.Tarusbawa menangkap satu per satu pendekar yang terpelanting ke arahnya. Pemuda itu lalu meletakkan ketiga pendekar itu di tanah, memeriksa keadaan mereka. “Mereka bertiga masih hidup. Mereka hanya tidak sadarkan diri.”Tarusbawa membuat sebuah kubah gaib untuk melindungi ketiga pendekar itu. Ia menghimpun kekuatan di kedua kaki. Saat kakinya mengentak tanah, tubuhnya seketika melesat cepat ke atas bukit. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat dua siluman ular itu masih bertarung dengan lima orang pendekar yang tersisa.“Jurus harimau putih,” ujar Lingga dengan tatapan kagum. Pemuda itu segera menghimpun kekuatan di kedua kaki, bersiap untuk melompat. Namun, secara tiba-tiba ia sudah berada di sisi medan pertempuran, menyaksikan lima pendekar bergelut dengan dua siluman ular itu yang melayangkan serangan ekor ke sekeliling arah.Lima pendekar it
Tarusbawa memandang Wintara dan Nilasari dengan tatapan tegas. Kedua tangannya terkepal erat karena amarah yang meluap-luap. Ia sudah melihat puluhan pendekar meregang nyawa selama dalam pencarian, ditambah mendengar ratusan warga dan pendekar yang sudah menjadi korban keganasan dua siluman itu.Tarusbawa berusaha tenang meski amarah terus memuncak ketika melihat dua sosok jelamaan siluman ular di depannya tampak tidak merasa bersalah dengan para korban yang sudah berguguran. “Jadi kalian berdua adalah sosok jelmaan dua siluman ular yang sudah banyak membunuh para pendekar dan warga. Aku tidak akan membiarkan kalian kembali berbuat kekacauan lebih jauh dari ini.”“Jika benar, apa yang kau inginkan dariku?” tanya Wintara.“Aku akan melenyapkan kalian berdua.”Wintara berdecak, maju beberapa langkah. “Kau sombong sekali. Kau pikir dengan kemampuanmu sekarang kau bisa mengalahkan kami berdua?”Wintara terkekeh, memelotot tajam. “Apa kau tidak melihat puluhan pendekar yang sudah kami habi
Lingga mengamati jalannya pertarungan dari sisi tebing. Tatapannya berpindah dari Taruswaba dan tiruannya pada Wintara dan Nilasari secara bergantian. Pertempuran dalam jarak dekat itu terus berlangsung hingga beberapa waktu ke depan. Setiap kali benturan jurus dan kekuatan beradu, gelombang angin seketika menerjang ke sekeliling.Keempat sosok itu terus berusaha saling melumpuhkan lawan. Mereka berubah menjadi empat bayangan hitam yang saling berkelebat, berbenturan di udara beberapa kali, lalu kembali mendarat di tanah dengan keadaan saling berhadap-hadapan.Tarusbawa dan tiruannya kembali menghimpun kekuatan di tangan, dan dalam satu kali entakkan kaki di tanah, keduanya melesat maju seraya menyerang dengan gerakan tombak yang sangat cepat hingga tangan mereka seolah menjadi ratusan.Wintara dan Nilasari membalas serangan tersebut dengan tombak dan susuk hitam mereka. Akan tetapi, serangan Tarusbawa dan tiruannya tak mampu dibendung hingga mereka terus terdesak ke belakang.Tarusba
“Gawat,” ujar Lingga ketika melihat dua siluman ular itu kini melilit Tarusbawa.“Harus kuakui kalau kau cukup tangguh untuk seorang pendekar muda,” puji Wintara seraya terkekeh kencang. “Hanya saja kau telah salah memilih lawan. Kami berdua bukanlah lawan yang bisa kau kalahkan dengan mudah. Aku bisa mendengar tulang-tulangmu yang patah saat ini.”Nilasari mendengkus kesal. “Dasar laki-laki besar mulut! Kau bahkan tidak bisa melepaskan diri dari kuncian ini. Aku pastikan kau akan mati sebentar lagi.”Wintara dan Nilasari semakian erat melilit Tarusbawa. Keduanya memutari tubuh pendekar berbaju putih itu dengan lidah menjulur dan mulut terbuka lebar.Lingga hanya mampu melihat jalannya pertarungan tanpa bisa melakukan apa pun. Ia penasaran dengan pertempuran yang akan terjadi selanjutnya, terlebih ketika mengingat rantai putih yang sempat dikeluarkan Tarusbawa ketika berlatih di tengah sungai.Tarusbawa menghimpun kekuatan di seluruh tubuhnya bersamaan dengan matanya mulai terpejam. R
Tarusbawa kembali terdorong ke belakang ketika gagal menahan gempuran serangan ekor Wintara dan Nilasari dari atas. Tubuhnya berguling-guling dan baru berhenti ketika ia menancapkan tombaknya dengan kuat ke tanah. Tetes darah tumpah dari dahi dan wajah.Tarusbawa lagi-lagi terdorong ketika tak bisa menahan serangan ekor Wintara dan Nilasari. Saat akan membalas serangan, ia justru mendapat serangan tak terduga dari atas. Kedua kakinya seketika melesak ke dalam tanah meski serangan musuh masih bisa ditahan.Wintara dan Nilasari menyerang Tarusbawa dari arah berlawanan dengan hujan tombak dan susuk. Tarusbawa menepis dengan kedua tangan meski beberapa serangan berhasil mendarat di tubuhnya. Bersama dengan luka dan darah yang kian menetes, pendekar berbaju putih itu terus menghadang serangan.Tarusbawa membuat sebuah kubah pelindung di sekelilingnya. Serangan tombak dan susuk hitam dari Wintara dan Nilasari seketika terlempar ke sekeliling. Dua ekor siluman itu segera menerjang dari sisi
“Apa yang terjadi denganku?” Tarusbawa menatap kedua kakinya yang semakin terisap ke dalam tanah. Di satu sisi, jeratan rantainya pada Wintara dan Nilasari mulai melemah.“Tanahnya mengisap Tarusbawa,” ujar Lingga dengan tatapan terkejut. Ia terdiam ketika melihat Wintara dan Nilasari berhasil merenggangkan kurungan rantai Tarusbawa. “Jurus apa yang mereka pakai?”Wintara dan Nilasari memekik kencang, kemudian bergerak cepat memutari Tarusbawa seraya mengeluarkan serangan dari mulut mereka.Tarusbawa berusaha menepis serangan tersebut dengan rantai putihnya di sela tubuhnya yang terus terisap ke dalam tanah. Pendekar berbaju putih itu bisa merasakan kekuatannya melemah dan kekuatan musuh yang lambat laun kembali seperti semula. Ia sepertinya terlalu jemawa hingga masuk dalam jebakan musuh.Wintara dan Nilasari melompat tinggi ke atas. Gerakan mereka masih dibatasi oleh rantai yang menjerat mereka. Keduanya saling melilit tubuh, kemudian melayangkan gabungan serangan ekor dengan kuat.
Tarusbawa menghadap memutar tubuh hingga kepalanya menghadap tanah. Dengan entakam kaki kuat, ia segera menukik ke bawah dengan raga yang memutar. Di sekelilingnya seketika tercipta angin kencang yang langsung mengurung Wintara dan Nilasari.“Tolong aku, Kakang.” Nilasari memohon dengan suara bercampur tangis ketika merasa dirinya tidak bisa lepas dari kurungan rantai dan angin.“Bertahanlah, Nilasari!” Wintara berteriak di saat dirinya sudah kehabisan kekuatan dan akal untuk melepaskan diri dari lilitan rantai dan penjara angin.Melihat tidak ada kesempatan untuk lolos, dengan sangat terpaksa Wintara mengiba pada Tarusbawa. “Lepaskan kami, Tarusbawa. Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kami asalkan kau melepaskan aku dan adikku sekarang. Kami mengaku kalah.”“Kakang Wintara,” gumam Wintara dengan tangis yang semakin bercucuran.“Kami melakukannya karena kami dendam pada para pendekar golongan putih dan warga karena mereka sudah membunuh orang tua kami dan membuat hidup kami
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me