“Gawat,” ujar Lingga ketika melihat dua siluman ular itu kini melilit Tarusbawa.“Harus kuakui kalau kau cukup tangguh untuk seorang pendekar muda,” puji Wintara seraya terkekeh kencang. “Hanya saja kau telah salah memilih lawan. Kami berdua bukanlah lawan yang bisa kau kalahkan dengan mudah. Aku bisa mendengar tulang-tulangmu yang patah saat ini.”Nilasari mendengkus kesal. “Dasar laki-laki besar mulut! Kau bahkan tidak bisa melepaskan diri dari kuncian ini. Aku pastikan kau akan mati sebentar lagi.”Wintara dan Nilasari semakian erat melilit Tarusbawa. Keduanya memutari tubuh pendekar berbaju putih itu dengan lidah menjulur dan mulut terbuka lebar.Lingga hanya mampu melihat jalannya pertarungan tanpa bisa melakukan apa pun. Ia penasaran dengan pertempuran yang akan terjadi selanjutnya, terlebih ketika mengingat rantai putih yang sempat dikeluarkan Tarusbawa ketika berlatih di tengah sungai.Tarusbawa menghimpun kekuatan di seluruh tubuhnya bersamaan dengan matanya mulai terpejam. R
Tarusbawa kembali terdorong ke belakang ketika gagal menahan gempuran serangan ekor Wintara dan Nilasari dari atas. Tubuhnya berguling-guling dan baru berhenti ketika ia menancapkan tombaknya dengan kuat ke tanah. Tetes darah tumpah dari dahi dan wajah.Tarusbawa lagi-lagi terdorong ketika tak bisa menahan serangan ekor Wintara dan Nilasari. Saat akan membalas serangan, ia justru mendapat serangan tak terduga dari atas. Kedua kakinya seketika melesak ke dalam tanah meski serangan musuh masih bisa ditahan.Wintara dan Nilasari menyerang Tarusbawa dari arah berlawanan dengan hujan tombak dan susuk. Tarusbawa menepis dengan kedua tangan meski beberapa serangan berhasil mendarat di tubuhnya. Bersama dengan luka dan darah yang kian menetes, pendekar berbaju putih itu terus menghadang serangan.Tarusbawa membuat sebuah kubah pelindung di sekelilingnya. Serangan tombak dan susuk hitam dari Wintara dan Nilasari seketika terlempar ke sekeliling. Dua ekor siluman itu segera menerjang dari sisi
“Apa yang terjadi denganku?” Tarusbawa menatap kedua kakinya yang semakin terisap ke dalam tanah. Di satu sisi, jeratan rantainya pada Wintara dan Nilasari mulai melemah.“Tanahnya mengisap Tarusbawa,” ujar Lingga dengan tatapan terkejut. Ia terdiam ketika melihat Wintara dan Nilasari berhasil merenggangkan kurungan rantai Tarusbawa. “Jurus apa yang mereka pakai?”Wintara dan Nilasari memekik kencang, kemudian bergerak cepat memutari Tarusbawa seraya mengeluarkan serangan dari mulut mereka.Tarusbawa berusaha menepis serangan tersebut dengan rantai putihnya di sela tubuhnya yang terus terisap ke dalam tanah. Pendekar berbaju putih itu bisa merasakan kekuatannya melemah dan kekuatan musuh yang lambat laun kembali seperti semula. Ia sepertinya terlalu jemawa hingga masuk dalam jebakan musuh.Wintara dan Nilasari melompat tinggi ke atas. Gerakan mereka masih dibatasi oleh rantai yang menjerat mereka. Keduanya saling melilit tubuh, kemudian melayangkan gabungan serangan ekor dengan kuat.
Tarusbawa menghadap memutar tubuh hingga kepalanya menghadap tanah. Dengan entakam kaki kuat, ia segera menukik ke bawah dengan raga yang memutar. Di sekelilingnya seketika tercipta angin kencang yang langsung mengurung Wintara dan Nilasari.“Tolong aku, Kakang.” Nilasari memohon dengan suara bercampur tangis ketika merasa dirinya tidak bisa lepas dari kurungan rantai dan angin.“Bertahanlah, Nilasari!” Wintara berteriak di saat dirinya sudah kehabisan kekuatan dan akal untuk melepaskan diri dari lilitan rantai dan penjara angin.Melihat tidak ada kesempatan untuk lolos, dengan sangat terpaksa Wintara mengiba pada Tarusbawa. “Lepaskan kami, Tarusbawa. Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kami asalkan kau melepaskan aku dan adikku sekarang. Kami mengaku kalah.”“Kakang Wintara,” gumam Wintara dengan tangis yang semakin bercucuran.“Kami melakukannya karena kami dendam pada para pendekar golongan putih dan warga karena mereka sudah membunuh orang tua kami dan membuat hidup kami
Lingga seketika menghentikan langkah ketika jaraknya sudah cukup dekat dengan Tarusbawa. “Tarusbawa bisa merasakan hawa keberadaanku sekarang.”“Aku berterima kasih padamu karena kau sudah membantuku untuk melenyapkan dua siluman ular yang sudah meresahkan penduduk tatar Pasundan selama ini.” Tarusbawa membungkuk hormat.Lingga terhenyak ketika cahaya putih di wajah Tarusbawa mulai menghilang. Tarusbawa adalah seorang pemuda tampan dengan rahang tajam dan tatapan tegas.“Aku yang harusnya berterima kasih padamu karena kau sudah mengajariku banyak hal,” ujar Lingga.Tarusbawa kembali membungkuk hormat meski keterkejutan masih belum lepas darinya. Dari suara yang terdengar barusan, ia bisa menduga jika sosok yang mengikutinya dan menolongnya masih tergolong muda. Dipikir lebih dalam, dirinya sama sekali tidak pernah mengenal seseorang dengan suara tersebut.“Aku benar-benar berterima kasih padamu.”Satu cahaya putih dan satu cahaya emas tiba-tiba saja muncul dari atas Lingga, memutari p
Limbur Kancana masih diam dengan wajah datar.Sekar Sari segera mengendalikan diri, berdiri tegak. “Kakang Guru, aku sama sekali tidak melihat Kakang Lingga di kamarnya.”“Tidak ada di kamarnya?” selidik Limbur Kancana, “apa kau tidak sedang berbohong?”“Tidak, Kakang Guru. Aku jelas tidak mungkin berani melakukannya.” Sekar Sari menggeleng, melirik lubang kecil di sampingnya.Limbur Kancana segera memasuki rumah, diikuti oleh Sekar Sari. Pendekar berbaju putih itu seketika menyibak tirai lusuh yang menjadi pembatas kamar Lingga dan ruangan tengah. Saat terbuka, dua cahaya tiba-tiba saja terbang ke arah Limbur Kancana, lalu menerobos keluar rumah.“Segera periksa sekeliling rumah,” perintah Limbur Kancana tanpa menoleh dari kamar.“Baik, Kakang Guru.” Sekar Sari segera memeriksa bagian dapur, sumur, pekerangan hingga atap rumah. Gadis itu melakukan hingga berkali-kali untuk memastikan pencariannya.“Aku sama sekali tidak melihat Kakang Lingga di tempat mana pun, Kakang Guru,” terang S
Limbur Kancana dan Sekar Sari mulai memasuki gua. Air terjun yang sempat terbagi dua kembali menyatu. Keduanya mengamati keadaan sekeliling dengan bantuan cahaya yang dipancarkan dari dua sinar yang memimpin jalan di depan.Limbur Kancana dan Sekar Sari tiba di sebuah tanah lapang. Cahaya bulan yang terpampang di atas permukaan telaga mengalihkan perhatian mereka pada Lingga yang terbaring di sisi telaga. Dua cahaya itu memutari pemuda itu beberapa kali sebelum akhirnya berputar-putar di atas telaga.“Lingga.”“Kakang Lingga.” Limbur Kancana dan Sekar Sari segera melompat ke sisi telaga, mengamati Lingga saksama. Limbur Kancana menepuk-nepuk pipi pemuda itu beberapa kali. Di saat yang sama, dua cahaya itu memutari mereka beberapa kali hingga akhirnya menghilang secara tiba-tiba.“Kakang Lingga baik-baik saja, Kakang Guru. Sepertinya dia hanya kelelahan,” ujar Sekar Sari setelah meliha
Sekar Sari dan Darta sudah duduk berhadapan di ruangan tengah. Limbur Kancana sendiri tetap berada di kamar untuk mengawasi Lingga sekaligus mendengar obrolan.Darta meletakkan gelas di atas meja, mengembus napas panjang. Ia bergidik karena merasakan pahit di mulut. “Baiklah, aku akan menceritakan padamu apa yang terjadi padaku, Nyai. Saat aku akan membersihkan perpustakaan pagi hari, aku menemukan seorang pria tengah berada di sana. Pria itu tiba-tiba mengancamku dan memerintahkanku untuk mencari kitab yang berisi cara untuk mengembalikan seseorang yang sudah terkena jurus pengunci raga.”“Jurus pengunci raga?” Sekar Sari terhenyak sesaat, tetapi buru-buru menguasai diri.Di sisi lain, Limbur Kancana juga terkejut ketika mendengar perkataan tersebut. Pikirannya tiba-tiba melayangkan pada kejadian pusaka kujang emas bangkit di mana saat itu Lingga berhasil menggunakan jurus pengunci raga.“Bagaimana ciri-ciri dari pria itu?” tanya Sekar Sari kemudian.“Pria itu berusia kisaran 30 tahu