“Apa yang terjadi denganku?” Tarusbawa menatap kedua kakinya yang semakin terisap ke dalam tanah. Di satu sisi, jeratan rantainya pada Wintara dan Nilasari mulai melemah.“Tanahnya mengisap Tarusbawa,” ujar Lingga dengan tatapan terkejut. Ia terdiam ketika melihat Wintara dan Nilasari berhasil merenggangkan kurungan rantai Tarusbawa. “Jurus apa yang mereka pakai?”Wintara dan Nilasari memekik kencang, kemudian bergerak cepat memutari Tarusbawa seraya mengeluarkan serangan dari mulut mereka.Tarusbawa berusaha menepis serangan tersebut dengan rantai putihnya di sela tubuhnya yang terus terisap ke dalam tanah. Pendekar berbaju putih itu bisa merasakan kekuatannya melemah dan kekuatan musuh yang lambat laun kembali seperti semula. Ia sepertinya terlalu jemawa hingga masuk dalam jebakan musuh.Wintara dan Nilasari melompat tinggi ke atas. Gerakan mereka masih dibatasi oleh rantai yang menjerat mereka. Keduanya saling melilit tubuh, kemudian melayangkan gabungan serangan ekor dengan kuat.
Tarusbawa menghadap memutar tubuh hingga kepalanya menghadap tanah. Dengan entakam kaki kuat, ia segera menukik ke bawah dengan raga yang memutar. Di sekelilingnya seketika tercipta angin kencang yang langsung mengurung Wintara dan Nilasari.“Tolong aku, Kakang.” Nilasari memohon dengan suara bercampur tangis ketika merasa dirinya tidak bisa lepas dari kurungan rantai dan angin.“Bertahanlah, Nilasari!” Wintara berteriak di saat dirinya sudah kehabisan kekuatan dan akal untuk melepaskan diri dari lilitan rantai dan penjara angin.Melihat tidak ada kesempatan untuk lolos, dengan sangat terpaksa Wintara mengiba pada Tarusbawa. “Lepaskan kami, Tarusbawa. Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kami asalkan kau melepaskan aku dan adikku sekarang. Kami mengaku kalah.”“Kakang Wintara,” gumam Wintara dengan tangis yang semakin bercucuran.“Kami melakukannya karena kami dendam pada para pendekar golongan putih dan warga karena mereka sudah membunuh orang tua kami dan membuat hidup kami
Lingga seketika menghentikan langkah ketika jaraknya sudah cukup dekat dengan Tarusbawa. “Tarusbawa bisa merasakan hawa keberadaanku sekarang.”“Aku berterima kasih padamu karena kau sudah membantuku untuk melenyapkan dua siluman ular yang sudah meresahkan penduduk tatar Pasundan selama ini.” Tarusbawa membungkuk hormat.Lingga terhenyak ketika cahaya putih di wajah Tarusbawa mulai menghilang. Tarusbawa adalah seorang pemuda tampan dengan rahang tajam dan tatapan tegas.“Aku yang harusnya berterima kasih padamu karena kau sudah mengajariku banyak hal,” ujar Lingga.Tarusbawa kembali membungkuk hormat meski keterkejutan masih belum lepas darinya. Dari suara yang terdengar barusan, ia bisa menduga jika sosok yang mengikutinya dan menolongnya masih tergolong muda. Dipikir lebih dalam, dirinya sama sekali tidak pernah mengenal seseorang dengan suara tersebut.“Aku benar-benar berterima kasih padamu.”Satu cahaya putih dan satu cahaya emas tiba-tiba saja muncul dari atas Lingga, memutari p
Limbur Kancana masih diam dengan wajah datar.Sekar Sari segera mengendalikan diri, berdiri tegak. “Kakang Guru, aku sama sekali tidak melihat Kakang Lingga di kamarnya.”“Tidak ada di kamarnya?” selidik Limbur Kancana, “apa kau tidak sedang berbohong?”“Tidak, Kakang Guru. Aku jelas tidak mungkin berani melakukannya.” Sekar Sari menggeleng, melirik lubang kecil di sampingnya.Limbur Kancana segera memasuki rumah, diikuti oleh Sekar Sari. Pendekar berbaju putih itu seketika menyibak tirai lusuh yang menjadi pembatas kamar Lingga dan ruangan tengah. Saat terbuka, dua cahaya tiba-tiba saja terbang ke arah Limbur Kancana, lalu menerobos keluar rumah.“Segera periksa sekeliling rumah,” perintah Limbur Kancana tanpa menoleh dari kamar.“Baik, Kakang Guru.” Sekar Sari segera memeriksa bagian dapur, sumur, pekerangan hingga atap rumah. Gadis itu melakukan hingga berkali-kali untuk memastikan pencariannya.“Aku sama sekali tidak melihat Kakang Lingga di tempat mana pun, Kakang Guru,” terang S
Limbur Kancana dan Sekar Sari mulai memasuki gua. Air terjun yang sempat terbagi dua kembali menyatu. Keduanya mengamati keadaan sekeliling dengan bantuan cahaya yang dipancarkan dari dua sinar yang memimpin jalan di depan.Limbur Kancana dan Sekar Sari tiba di sebuah tanah lapang. Cahaya bulan yang terpampang di atas permukaan telaga mengalihkan perhatian mereka pada Lingga yang terbaring di sisi telaga. Dua cahaya itu memutari pemuda itu beberapa kali sebelum akhirnya berputar-putar di atas telaga.“Lingga.”“Kakang Lingga.” Limbur Kancana dan Sekar Sari segera melompat ke sisi telaga, mengamati Lingga saksama. Limbur Kancana menepuk-nepuk pipi pemuda itu beberapa kali. Di saat yang sama, dua cahaya itu memutari mereka beberapa kali hingga akhirnya menghilang secara tiba-tiba.“Kakang Lingga baik-baik saja, Kakang Guru. Sepertinya dia hanya kelelahan,” ujar Sekar Sari setelah meliha
Sekar Sari dan Darta sudah duduk berhadapan di ruangan tengah. Limbur Kancana sendiri tetap berada di kamar untuk mengawasi Lingga sekaligus mendengar obrolan.Darta meletakkan gelas di atas meja, mengembus napas panjang. Ia bergidik karena merasakan pahit di mulut. “Baiklah, aku akan menceritakan padamu apa yang terjadi padaku, Nyai. Saat aku akan membersihkan perpustakaan pagi hari, aku menemukan seorang pria tengah berada di sana. Pria itu tiba-tiba mengancamku dan memerintahkanku untuk mencari kitab yang berisi cara untuk mengembalikan seseorang yang sudah terkena jurus pengunci raga.”“Jurus pengunci raga?” Sekar Sari terhenyak sesaat, tetapi buru-buru menguasai diri.Di sisi lain, Limbur Kancana juga terkejut ketika mendengar perkataan tersebut. Pikirannya tiba-tiba melayangkan pada kejadian pusaka kujang emas bangkit di mana saat itu Lingga berhasil menggunakan jurus pengunci raga.“Bagaimana ciri-ciri dari pria itu?” tanya Sekar Sari kemudian.“Pria itu berusia kisaran 30 tahu
Sekar Sari mengikuti Malawati yang berjalan ke ujung kanan ruangan. Ia berpura-pura melihat beberapa korban yang tak jauh dari rekan-rekan gadis itu berada.“Gendis, Kakang Ajisoka, Kakang Amarsa, maafkan aku karena belum bisa membantu kalian sampai saat ini.” Malawati tiba-tiba saja menangis, menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku juga minta maaf karena aku belum bisa membalas dendam kalian bertiga. Aku benar-benar merasa tidak berguna saat ini.”Merasa diperhatikan seseorang, Malawati dengan cepat menghapus air mata, melirik ke arah Sekar Sari berada, mengemati gadis itu saksama. “Aku seperti pernah bertemu dengan gadis itu di suatu tempat. Wajahnya tidak asing bagiku.”Sekar Sari mengamati dua pria dan satu gadis yang berada di dekat Malawati, kemudian bergumam, “Jadi merekalah teman-teman seperguruan Malawati.”“Apa yang sedang kau lihat?” tanya Malawati yang mendapati Sekar Sari mengamati teman-teman seperguruannya.“Apa mereka adalah teman-temanmu?” Sekar Sari bertanya basa-bas
Lingga perlahan mengerjapkan mata karena cahaya matahari mencumbu kesadarannya. Pemuda itu memijat kepala beberapa kali seraya duduk di atas dipan. Pandangannya segera mengedar ke sekeliling. “Aku berada di dalam kamarku?”Lingga segera beranjak dari kasur. Begitu kedua kakinya sudah menapak di tanah, tiba-tiba saja kepalanya digetok oleh Limbur Kancana dengan cukup keras.Lingga seketika mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit. Rasa lemas dan kantuknya dengan cepat menghilang. “Apa yang Paman lakukan padaku?”“Aku yang seharusnya bertanya padamu, Lingga.” Limbur Kancana bersiap menendang bokong Lingga, tetapi pemuda itu lebih dahulu melompat ke luar kamar.“Kenapa aku bisa berada di sini, Paman?” Lingga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia menggaruk rambut beberapa kali dan seketika tercengang ketika mengingat peristiwa yang dirinya alami semalam.“Kakang Lingga, syukurlah kau sudah siuman.” Sekar Sari setengah berlari dari pintu menuju ruangan tengah. Wajahnya tampak c