Lingga perlahan mengerjapkan mata karena cahaya matahari mencumbu kesadarannya. Pemuda itu memijat kepala beberapa kali seraya duduk di atas dipan. Pandangannya segera mengedar ke sekeliling. “Aku berada di dalam kamarku?”Lingga segera beranjak dari kasur. Begitu kedua kakinya sudah menapak di tanah, tiba-tiba saja kepalanya digetok oleh Limbur Kancana dengan cukup keras.Lingga seketika mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit. Rasa lemas dan kantuknya dengan cepat menghilang. “Apa yang Paman lakukan padaku?”“Aku yang seharusnya bertanya padamu, Lingga.” Limbur Kancana bersiap menendang bokong Lingga, tetapi pemuda itu lebih dahulu melompat ke luar kamar.“Kenapa aku bisa berada di sini, Paman?” Lingga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia menggaruk rambut beberapa kali dan seketika tercengang ketika mengingat peristiwa yang dirinya alami semalam.“Kakang Lingga, syukurlah kau sudah siuman.” Sekar Sari setengah berlari dari pintu menuju ruangan tengah. Wajahnya tampak c
“Tarusbawa berhasil mengalahkan Wintara dan Nilasari dengan cara menyegel mereka di dua lubang yang berbeda di bukit tersebut. Dua lubang itu ditutup oleh dua batu yang sudah diselimuti oleh kekuatannya,” jelas Lingga.“Aku memang mendengar dari Tarusbawa bahwa dia sudah mengalahkan dua siluman ular itu di atas bukit. Hal itu terbukti dengan tidak ada lagi kekacauan yang diakibatkan oleh dua siluman ular itu di tatar Pasundan,” ucap Limbur Kancana.“Awalnya aku berpikir jika Wintara dan Nilasari adalah keturunan dari dua siluman ular yang dilawan oleh Tarusbawa lima puluh tahun lalu. Tapi aku sama sekali tidak mendengar dari mereka kalau mereka sudah memiliki keturunan,” lanjut Lingga.“Apa mungkin Wintara dan Nilasari yang mengacau di masa kita adalah Wintara dan Nilasari yang mengacau di masa lima puluh tahun lalu, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari.“Hanya ada satu cara untuk membuktikannya, kita harus mengunjungi bukit di mana mereka disegel oleh Tarusbawa,” jawab Limbur Kancana seray
Limbur Kancana berjalan menuju tengah perkampungan, melewati keramaian warga yang kian padat mengerumuni tempat pertemuan. Ia terpaksa menerobos masuk melalui belakang bangunan setelah berpura-pura menjadi sosok salah satu penjaga. Begitu memasuki tempat pertemuan, ia bisa melihat puluhan pendekar yang sudah berkumpul.“Wintara,” gumam Limbur Kancana saat melihat pemuda itu berada di barisan belakang. Keningnya berkerut ketika tidak mendapati sosok Nilasari. “Di mana Nilasari sekarang? Aku tidak melihatnya di barisan mana pun.”Limbur Kancana segera keluar dengan berpindah tempat dengan tiruannya yang berada di rumah ketika Wintara menoleh ke arahnya. Ia bisa merasakan kekuatan yang meluap-luap dari Wintara meski berusaha ditekan kuat oleh jelmaan siluman ular itu.“Sspertinya Wintara sudah banyak mengisap kekuatan para pendekar.”Limbur Kancana mengamati Jaya Tonggoh melalui penglihatan para tiruannya. Hanya saja, ia tidak bisa menemukan keberadaan Nilasari di mana pun. “Wintara dan
“Kau sejatinya tidak peduli dengan kesembuhan para korban dua siluman ular itu, Wiaryuda. Bagimu keberadaan pewaris kujang emas itu adalah hal terpenting saat ini,” ujar Jatiraga.“Hanya orang bodoh yang akan terjebak dengan akal bulusmu,” tambah Galisaka.Wirayuda tertawa terbahak-bahak hingga memegang perut. “Kalian bertiga berbicara seolah-seolah kalian adalah pendekar paling suci di dunia ini. Aku tahu jika kalian juga ingin mengetahui di mana pemuda pewaris kujang emas itu berada melalui Ganawirya. Sebelum kalian menghinaku, bercerminlah di air keruh.”Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga mulai menarik senjata masing-masing. Para pendekar yang berada di dalam ruangan ikut melakukan hal yang sama. Suasana mendadak hening di mana tatapan para pendekar mulai mengawasi orang-orang di sekitarnya. Ujung senjata dan mata yang menajam membuat hampir semua orang yang berada di dalam ruangan menjadi sangat waspada, kecuali Wintara yang begitu menikmati kejadian ini.Wintara mengamati e
Limbur Kancana berhasil menghindar dengan cara melompat, lalu mendarat di ujung pedang Galisaka dengan tatapan tertuju pada Wintara.“Ah!” Wintara tiba-tiba berteriak ketika tubuh bagian sampingnya mulai dipenuhi asap hitam dan tak lama setelahnya api dengan cepat menjalar dari tempat yang sama.“Pemuda itu adalah jelmaan siluman ular yang bernama Wintara,” tunjuk Limbur Kancana, “aku baru saja melemparkan kendi yang berisi ramuan pemusnah siluman pada kalian semua. Dan hanya pemuda itulah yang meringis kesakitan karena ramuan itu.”Para pendekar seketika menatap Wintara yang tengah berusaha memadamkan api dari tubuhnya, mulai mengelilingi pemuda itu dengan senjata teracung.Rasa sakit yang Wintara rasakan sekarang memang tidak sebanding dengan rasa sakit yang pernah ia terima ketika berhadapan dengan pendekar bernama Aditara waktu itu. Luka yang diakibatkan ramuan pemusnah siluman yang dirinya terima saat ini hanya menyakitinya sementara. Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga serta
Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga segera menghimpun kekuatan dengan cepat. Tubuh mereka perlahan kembali terangkat. Satu per satu dari mereka melemparkan para pendekar yang ikut terisap keluar dari kubangan. Pendekar lain dengan segera menangkap pendekar yang dilemparkan tersebut.Empat petinggi pendekar golongan putih itu melayangkan serangan ke arah tanah. Dalam waktu singkat, mereka berhasil melepaskan diri dari jurus Wintara.“Kejar siluman itu!” perintah Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga seraya mengangkat tingg-tinggi senjata mereka masing-masing.Para pendekar golongan putih bergegas mengejar Wintara yang sudah berlari ke depan. Akan tetapi, tindakan mereka terhalang karena serangan tombak yang meluncur dari depan. Pendekar-pendekar itu berusaha menepis serangan meski beberapa di antara mereka terkena serangan tombak hingga ambruk di tanah.Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga melesat cepat di antara para pendekar golongan putih. Dalam waktu bersamaan, mereka m
Wintara tiba-tiba menjatuhkan diri hingga tanah berguncang keras. Matanya terpejam kuat di mana api masih berkobar dari mulut dan ekornya.“Serang siluman ular itu!” teriak salah satu pendekar seraya melesat maju. Para pendekar lain segera mengikuti jejaknya.Beragam senjata berhasil mendarat di tubuh Wintara tanpa adanya perlawanan sedikit pun. Akan tetapi, begitu para pendekar itu sudah berada di atas tubuh siluman ular itu untuk bersiap kembali menyerang, tiba-tiba saja Wintara bergerak sangat cepat untuk menelan mereka.Hampir semua pendekar yang menyerang berhasil dilahap Wintara hidup-hidup di mana hanya tiga pendekar saja yang berhasil menghindar dan menyelamatkan diri.“Siluman ular itu menipu kita!” teriak salah satu pendekar yang berada di atas puncak pohon.Wintara terkekeh meski mulutnya masih terasa sakit. Ia seketika memukul tanah dengan ekornya hingga para pendekar yang akan menyerang memilih untuk menghindar dengan cara melompat ke udara. Begitu musuh sudah berada di a
“Itu siluman ular yang lain!” teriak salah satu pendekar sembari membantu rekannya berdiri.Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga serta para pendekar yang lain segera menjauh beberapa tombak. Semuanya menatap dua siluman di depan mereka dengan tatapan terkejut.“Ini gawat,” ujar Wirayuda, “satu siluman ular saja sudah membuat kita kerepotan, ditambah saat ini siluman lain tiba-tiba muncul.”“Dasar lemah!” rutuk Ekawira, “harusnya kau senang karena musuh mendatangi kita dengan sendirinya. Dengan begitu kita bisa menghabisi mereka sekaligus di sini.”“Kau sepertinya tidak bisa mengukur kemampuan lawan, Ekawira.” Wirayuda membalas sengit. “Bukankah kau sendiri kesulitan untuk menghadapi satu siluman ular itu? Bagaimana mungkin kau bisa dengan sembrono mengatakan akan menghadapi dua siluman ular sekaligus?”“Dua siluman itu jauh lebih kuat dari dugaanku maupun laporan yang sudah diberikan para bawahanku. Meski waktu masih menunjukkan siang, tapi kekuatan mereka tidak bisa dianggap remeh.