“Itu siluman ular yang lain!” teriak salah satu pendekar sembari membantu rekannya berdiri.Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga serta para pendekar yang lain segera menjauh beberapa tombak. Semuanya menatap dua siluman di depan mereka dengan tatapan terkejut.“Ini gawat,” ujar Wirayuda, “satu siluman ular saja sudah membuat kita kerepotan, ditambah saat ini siluman lain tiba-tiba muncul.”“Dasar lemah!” rutuk Ekawira, “harusnya kau senang karena musuh mendatangi kita dengan sendirinya. Dengan begitu kita bisa menghabisi mereka sekaligus di sini.”“Kau sepertinya tidak bisa mengukur kemampuan lawan, Ekawira.” Wirayuda membalas sengit. “Bukankah kau sendiri kesulitan untuk menghadapi satu siluman ular itu? Bagaimana mungkin kau bisa dengan sembrono mengatakan akan menghadapi dua siluman ular sekaligus?”“Dua siluman itu jauh lebih kuat dari dugaanku maupun laporan yang sudah diberikan para bawahanku. Meski waktu masih menunjukkan siang, tapi kekuatan mereka tidak bisa dianggap remeh.
Para pendekar yang mendapatkan tanda dari empat petinggi golongan putih itu segera menjauh dari Wintara dan Nilasari. Mereka kembali bersiap di tempat masing-masing untuk menunggu tanda berikutnya.Wintara dan Nilasari bersiap untuk melayangkan serangan dengan membuka mulut lebar-lebar. Akan tetapi, serangan mereka berhasil dipatahkan dengan serangan dari empat pedang yang dilayangkan Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga hingga mencipta gelombang angin yang kuat ke sekeliling.Wintara dan Nilasari terdorong beberapa langkah ke belakang. Keduanya kembali bersiap untuk melayangkan serangan. Akan tetapi, dari debu dan asap yang menghalangi pandangan mereka, tiba-tiba saja muncul empat pedang lawan yang melesat ke arah mereka.Dua pedang mendarat di punggung dan perut bagian samping Wintara, sedangkan dua pedang lain mendarat di puncak kepala Nilasari dan bagian ekornya. Dalam sekejap, muncul kobaran api dari tempat tertancapnya pedang-pedang tersebut.“AH!” Wintara dan Nilasari memek
Bangasera segera mengubah wujudnya menjadi seekor ular kecil, lalu menuruni jurang untuk mengejar para pendekar yang berusaha menangkap Wintara dan Nilasari. Ia bergerak sangat cepat di antara deretan batu terjal dan dahan-dahan pohon. Dari kejauhan, pria setengah siluman itu bisa melihat para pendekar yang menyebar ke sekeliling hutan di bawahnya.Bangasera bergerak cepat ke salah satu sisi, mengawasi beberapa pendekar yang tengah melakukan pencarian di atas puncak pohon. Begitu para pendekar itu akan berpindah tempat, Bangasera berubah menjadi ular berukuran besar dan langsung menjerat salah satu pendekar, lalu menariknya menjauh dari pendekar lain.Pendekar itu berontak sekuat tenaga, tetapi tenaganya dengan cepat melemah karena patukan di lehernya. Tubuhnya menjadi kaku meski mulutnya masih bisa bergerak tanpa suara.Bangasera mengubah wujud menjadi manusia, menarik baju pendekar itu dengan kuat.“Kau.” Pendekar itu terperangah hingga matanya membulat sangat lebar. “Kau anggota Ca
Sekar Sari mengamati tubuh bagian luar pria yang berbaring di depannya dari atas hingga bawah. “Pria ini sepertinya tak sadarkan diri karena terkena racun ular. Bukan hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Untung saja aku masih bisa mengeluarkan semua racun dalam tubuhnya tepat waktu sehingga dia masih bisa diselamatkan. Sisanya hanya luka karena benturan keras.” “Aku sepertinya pernah melihat pria ini,” ujar Limbur Kancana seraya mengamati pria di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Pria ini adalah salah satu pendekar yang berhadapan dengan Wintara di perkampungan tadi.” Lingga dan Sekar Sari seketika menoleh pada Limbur Kancana. “Apa yang sebenarnya terjadi di perkampungan, Paman?” Lingga bertanya. “Apa Paman berhasil membongkar kedok Wintara dan Nilasari pada pendekar golongan putih?” “Awalnya pertemuan itu berlangsung dengan lancar sampai akhirnya nama Ganawirya disebut oleh salah satu petinggi pendekar golongan putih,” jawab Limbur Kancana, “tak lama setelah itu,
“Seperti yang pernah kita duga sebelumnya, Wintara dan Nilasari ternyata memiliki hubungan dengan salah satu anggota Cakar Setan. Dan bangasera adalah salah satu anggota Cakar Setan yang paling memungkinkan untuk berhubungan dengan mereka. Penjelasan pria ini menguatkan hal itu pada kita,” ujar Limbur Kancana.Limbur Kancana berjalan menuju Telaga Asri. “Jika kita tidak bisa menemukan Tarusbawa dalam waktu cepat, kita akan semakin terdesak dengan keadaan saat ini, terlebih Bangasera ternyata berada di belakang Wintara dan Nilasari. Ditambah Kartasura sudah berhasil membebaskan Wira dan Danuseka dari jurus pengunci raga.”“Apa maksudnya dengan Kartasura sudah berhasil membebaskan Wira dan Danuseka dari jursu pengunci raga, Paman?” Lingga tercekat ketika mendengarnya.“Kakang, apa kau masih mengingat pria bernama Darta yang dikabarkan menghilang setelah membuat kekacauan dengan orang asing yang dibawanya pada paman Sudata?
“Saat keributan besar terjadi, kami para tabib tetap bertahan untuk menyelamatkan para korban ke tempat yang aman,” jawab salah satu tabib yang berada paling dekat dengan Sekar Sari, “saat ini pun, kami berusaha membawa korban dua siluman ke tempat para korban lain berada.”“Kenapa kalian tidak lari seperti yang lain?” tanya Sekar Sari.“Kami masih memiliki tanggung jawab untuk menyembuhkan mereka, Nyai. Para pendekar sudah mempercayakan mereka pada kami. Tentu kami tidak bisa lari dari tanggung jawab. Kami harus melaksanakan tugas kami hingga tuntas.”“Apa kau sedang mencari temanmu, Nyai?” tanya tabib yang satunya.“Benar, Kisanak.”“Para korban akibat ulah ular dua siluman itu semakin bertambah. Kami menemukan beberapa pendekar yang menjadi korban mereka di tempat pertarungan. Saat ini teman-teman kami sedang membawa mereka ke tempat ini, Nyai. Dengan keadaan Jaya Tonggoh yang porak poranda seperti saat ini, kami akan semakin kesulitan untuk menyembuhkan para korban.”Sekar Sari te
Selepas kepergian Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari, Wirayuda, Ekawira, Jatiraga serta para pendekar yang mengejar Wintara dan Nilasari kembali ke Jaya Tonggoh tepat saat matahari berada di puncak langit. Mereka harus menelan kekecewaan besar karena tidak berhasil menangkap kedua siluman ular itu setelah melakukan pencarian hingga ke setiap sudut hutan dan perkampungan terdekat.Empat petinggi golongan putih itu dan para pendekar berisitirahat di dekat reruntuhan pohon dan bangunan. Wajah penat begitu kentara di paras mereka.“Terkutuk! Dua siluman itu berhasil melarikan diri dariku!” Wirayuda mengentak tanah kuat-kuat dengan mata menatap nyalang. Ia bisa melihat para pendekar yang ikut dalam pengejaran sudah berada dalam titik lemah. Meski ia sangat berambisi untuk menangkap dua siluman ular itu, tetapi dirinya tetap berusaha berpikir jernih dengan menghentikan pencarian. Salah-salah para pendekar yang tersisa bisa menjadi mangsa yang mudah untuk dihabisi lawan.“Kalau saja ular
Para warga kembali ke Jaya Tonggoh saat matahari sudah hampir tiba di ufuk barat. Lembayung senja menjadi saksi bagaimana jerit tangis warga ketika menyaksikan rumah-rumah mereka hancur dan rata dengan tanah. Malam akhirnya tiba, tetapi mereka belum juga beranjak dari sisa-sisa puing bangunan.Warga dikumpulkan di tanah lapang oleh para pendekar. Lampu-lampu obor menerangi di setiap sisi wilayah perkampungan. Gagah dan megahnya Jaya Tonggoh lenyap dalam hitungan jam, meninggalkan kehancuran dan kepedihan bagi para penghuninya.Para warga tampak berbaris saat menerima hidangan yang dibagikan para pendekar. Mereka kembali duduk berkumpul bersama sanak keluarga, makan dalam diam. Ketakutan tampak jelas terpahat di wajah para penduduk, terlebih ketika mengingat bagaimana bentuk wujud siluman yang mendadak muncul tadi pagi. Muncul pertanyaan dalam benak mereka, mungkinkah dua siluman itu akan kembali menyerang?“Kami pastikan kami akan melindungi kalian semua di sini. Hal yang harus kalian