Malawati mengangkat puing bangunan di depannya lekat-lekat, lantas berjalan mengelilingi bangunan itu hingga beberapa kali. Saat merasakan tidak akan menemukan apa pun, pandangan gadis itu tiba-tiba saja tertuju pada sesuatu di bawah timbunan reruntuhan.Malawati kembali mendekat, berjongkok untuk kemudian menjauhkan puing-puing bangunan. Gadis itu menemukan dua lembar kain yang biasa digunakan untuk ikat kepala. “Ikat kepala putih bercorak hitam dan ikat kepala bercorak putih.”Malawati seketika terhenyak ketika dirinya seperti ditampar kilasan waktu. Peristiwa saat dirinya bersama seorang gadis yang tengah membeli kain-kain ini tiba-tiba mengusik pikiran. Hilangnya ingatannya yang tiba-tiba memang tidak hanya terjadi kali ini saja. Peristiwa ini bisa dibilang pernah terjadi padanya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, tanpa diduga ingatannya kembali dengan sendirinya.“Bukankah kain putih polos ini adalah kain yang aku beli untuk kuberikan pada seseorang?” Malawati tercenung sesaat, ke
Nun jauh dari wilayah Jaya Tonggoh, seekor ular tengah bergerak cepat di tengah rerimbunan pohon dan remangnya cahaya bulan. Ular itu memasuki sebuah gua, kemudian berubah wujud menjadi Bangasera.“Sepertinya kalian masih belum sadarkan diri,” ujar Bangasera ketika melihat Wintara dan Nilasari masih terbaring di tanah dengan tubuh yang sebagian terbakar. “Dengan luka ini, setidaknya butuh satu minggu untuk kalian kembali pulih.”Bangasera menoleh ke mulut gua. “Pasukan Wulung, pasukan Argaseni dan Pasukan Brajawesi ternyata sudah lama memasuki wilayah selatan dan bahkan melebarkan pencarian ke arah laut. Aku harus semakin berhati-hati dan bertindak cepat. Ditambah aku mendengar dari pasukanku jika pasukan Kartasura juga mulai bergerak. Sepertinya Kartasura sudah berhasil menemukan cara untuk mengembalikan kedua cecunguknya.”Bangasera mendekat pada Wintara dan Nilasari, mengamati kedua siluman berwujud manusia di depannya lekat-lekat. “Aku masih sangat penasaran siapa pria berbaju hit
“Ramuan itu benar-benar membuatku kehilangan kekuatan dengan sangat cepat, Kakang. Meski aku mengganti kulitku berkali-kali pun, rasa panas dan terbakar itu masih tetap terasa bahkan sampai saat ini,” bisik Nilasari.“Beruntung kita berdua tidak tewas di tempat itu, Nilasari. Mau tak mau kita harus mengakui jika Bangasera sangat berjasa dalam hidup kita.”Bangasera berbalik. “Apa kalian berdua mengenal siapa pendekar berbaju hitam itu?”“Awalnya aku mengira jika pendekar berbaju hitam itu adalah pendekar bernama Aditara yang kami lawan tempo hari, terlebih bisa saja dia dan kedua orang yang bersamanya sudah mengetahui siapa kami sebenarnya. Hanya saja, aku tidak merasakan hawa kehadiran dan bau Aditara pada pendekar itu,” ucap Wintara.“Dua orang yang bersamanya?” Bangasera kembali berbalik.“Pendekar bernama Aditara itu selalu bersama seorang pemuda bernama Bimantara dan seorang gadis yang bernama Sekar Dewi.”Bangasera terdiam sejenak, lantas bergumam, “Firasatku mengatakan jika pen
Matahari terus merangkak menuju pertengahan langit di saat Lingga terus bergumul dengan dua harimau putih yang dikeluarkan Limbur Kancana di dalam kubah tak kasat mata. Pemuda itu bergerak lincah untuk menghindar sekaligus melayangkan serangan.Sekujur tubuh Lingga sudah dipenuhi keringat dengan napas yang mulai terengah-engah. Pemuda itu menyeka peluh, berusaha menghimpun serangan di tengah mata yang terus mengawasi kedua harimau yang memutarinya.Lingga mengentak tubuh sekali, lantas melompat ke atas ketika dua harimau putih itu menyerang dari depan dan belakang dalam waktu bersamaan. Pemuda itu seketika memutar tubuh bersamaan dengan tangan yang bergerak cepat untuk menepis serangan dua harimau yang kini mengarah dari arah bawah.Lingga memutar tubuh ke belakang, mendarat di dinding kubah, kemudian melesat cepat ke arah dua harimau dengan tangan yang terbentang lebar ke samping. Dalam satu ayunan tangan, seketika tercipta embusan angin cepat yang langsung menerjang kedua harimau pu
Lingga duduk dengan pikiran yang masih tertuju pada gambaran-gambaran tersebut. Ia dengan cepat berdiri ketika mulai mengetahui sesuatu. “Dua cahaya itu? Ke mana mereka?”Lingga memutar tubuh, mencari keberadaan dua cahaya tersebut. “Dua cahaya itu pasti bisa memberikanku petunjuk mengenai kejadian-kejadian itu. Di mana mereka?”Lingga mengamati keadaan dengan saksama, memusatkan seluruh perhatian pada sekeliling. Akan tetapi, kedua cahaya itu sama sekali tidak terlihat di mana pun. Hanya kesunyianlah yang ia rasakan dan dapatkan saat ini.Lingga mengembus napas panjang, memutuskan kembali untuk berlatih. Akan tetapi, baru saja akan memasnag kuda-kuda, tiba-tiba muncul Sekar Sari dari arah semak-semak.“Kakang, apa kau tidak apa-apa?” tanya Sekar Sari dengan wajah malu-malu, “kau tampak pucat saat ini? Apa ada sesuatu yang menggangumu?” “Ah tidak. Aku ... aku ....” Lingga menggaruk tengkuk yang tak gatal, menjeda sejenak. “Apa kau melihat dua cahaya itu kembali?”“Dua cahaya?” Seka
Limbur Kancana tiba-tiba berhenti, menimbang keputusan beberapa waktu. Dengan terbukanya hubungan antara Bangasera dan Wintara serta Nilasari, semakin memungkinkan jika keduanya akan menggunakan racun kalong setan untuk menghadapi pergerakan pendekar golongan putih yang akhir-akhir ini justru menyatu untuk membereskan kekacauan yang ada. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka para pendekar golongan putih tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk menang. “Paman,” panggil Lingga.Limbur Kancana mengamati para warga yang berbondong-bondong menuju sebuah tanah lapang dengan arahan beberapa pendekar. “Au rasa kita harus membicarakan hal ini dengan Ganawirya lebih dahulu karena hanya dialah yang mengetahui bahan-bahan ramuan itu sekaligus bagaimana membuatnya.”“Sepertinya para pendekar akan menyampaikan sesuatu pada para warga,” ujar Sekar Sari.Tak lama setelahnya, terdengar kentungan ditabuh keras-keras. Para warga yang masih berada di sekitar rumah setengah berlari menuju arah yang
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari berada di perkampungan hingga malam tiba. Ketiganya bisa merasakan ketegangan yang melanda hampir semua warga. Suasana begitu sepi hingga yang terdengar hanya suara serangga malam. Para penjaga tampak mondar-mandir di sekitar perkampungan.Lingga mengawasi keadaan luar dari jendela. Kepalan tangannya menguat begitu mengingat perkataan para warga mengenai dirinya. Jujur saja hal itu benar-benar menganggunya meski di saat yang sama dirinya berusaha untuk tidak memedulikan hal itu.“Salah satu tiruanku sudah hampir sampai menuju bukit yang ditengarai adalah tempat Wintara dan Nilasari disegel. Persiapkan diri kalian karena sesaat lagi kita akan segera bertukar tempat dan pakailah pakaian yang sudah aku siapkan sebelumnya,” ujar Limbur Kancana yang tengah duduk bersila di atas dipan.“Baik, Paman.”“Baik, Kakang Guru.”Lingga segera mengganti busannya menjadi serba hitam, tak terkecuali Sekar Sari.Limbur Kancana kembali bersemedi, memusatkan seluruh
Lingga mendekat ke arah Limbur Kancana yang tengah duduk berjongkok di depan lubang. Dalam sekejap, pemuda itu seperti kembali dibawa pada masa lima puluh tahun silam. Ia dengan jelas bisa melihat Tarusbawa yang sedang menyegel Wintara dan Nilasari ke dalam dua lubang yang berbeda, lalu menutup lubang itu dengan batu.Lingga terkesiap ketika dirinya kembali berada di masa saat ini. Sejauh mata memandang, tidak ada batu yang dirinya lihat di tempat ini, padahal ia sangat yakin jika dua lubang yang menganga ini adalah tempat terkurungnya Wintara dan Nilasari.Lingga menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Apa yang dilihat dan dirasakannya saat ini seolah membawanya pada sebuah kesimpulan. “Paman, apa mungkin ....”Limbur Kancana berdiri, berjalan ke salah satu lubang. “Wintara dan Nilasari yang kita hadapi saat ini nyatanya adalah Wintara dan Nilasari yang dihadapi Tarusbawa lima puluh tahun silam. Dan sepertinya Tarusbawa juga mengetahui hal tersebut, terbukti dengan kedatangann
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me