Limbur Kancana tiba-tiba berhenti, menimbang keputusan beberapa waktu. Dengan terbukanya hubungan antara Bangasera dan Wintara serta Nilasari, semakin memungkinkan jika keduanya akan menggunakan racun kalong setan untuk menghadapi pergerakan pendekar golongan putih yang akhir-akhir ini justru menyatu untuk membereskan kekacauan yang ada. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka para pendekar golongan putih tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk menang. “Paman,” panggil Lingga.Limbur Kancana mengamati para warga yang berbondong-bondong menuju sebuah tanah lapang dengan arahan beberapa pendekar. “Au rasa kita harus membicarakan hal ini dengan Ganawirya lebih dahulu karena hanya dialah yang mengetahui bahan-bahan ramuan itu sekaligus bagaimana membuatnya.”“Sepertinya para pendekar akan menyampaikan sesuatu pada para warga,” ujar Sekar Sari.Tak lama setelahnya, terdengar kentungan ditabuh keras-keras. Para warga yang masih berada di sekitar rumah setengah berlari menuju arah yang
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari berada di perkampungan hingga malam tiba. Ketiganya bisa merasakan ketegangan yang melanda hampir semua warga. Suasana begitu sepi hingga yang terdengar hanya suara serangga malam. Para penjaga tampak mondar-mandir di sekitar perkampungan.Lingga mengawasi keadaan luar dari jendela. Kepalan tangannya menguat begitu mengingat perkataan para warga mengenai dirinya. Jujur saja hal itu benar-benar menganggunya meski di saat yang sama dirinya berusaha untuk tidak memedulikan hal itu.“Salah satu tiruanku sudah hampir sampai menuju bukit yang ditengarai adalah tempat Wintara dan Nilasari disegel. Persiapkan diri kalian karena sesaat lagi kita akan segera bertukar tempat dan pakailah pakaian yang sudah aku siapkan sebelumnya,” ujar Limbur Kancana yang tengah duduk bersila di atas dipan.“Baik, Paman.”“Baik, Kakang Guru.”Lingga segera mengganti busannya menjadi serba hitam, tak terkecuali Sekar Sari.Limbur Kancana kembali bersemedi, memusatkan seluruh
Lingga mendekat ke arah Limbur Kancana yang tengah duduk berjongkok di depan lubang. Dalam sekejap, pemuda itu seperti kembali dibawa pada masa lima puluh tahun silam. Ia dengan jelas bisa melihat Tarusbawa yang sedang menyegel Wintara dan Nilasari ke dalam dua lubang yang berbeda, lalu menutup lubang itu dengan batu.Lingga terkesiap ketika dirinya kembali berada di masa saat ini. Sejauh mata memandang, tidak ada batu yang dirinya lihat di tempat ini, padahal ia sangat yakin jika dua lubang yang menganga ini adalah tempat terkurungnya Wintara dan Nilasari.Lingga menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Apa yang dilihat dan dirasakannya saat ini seolah membawanya pada sebuah kesimpulan. “Paman, apa mungkin ....”Limbur Kancana berdiri, berjalan ke salah satu lubang. “Wintara dan Nilasari yang kita hadapi saat ini nyatanya adalah Wintara dan Nilasari yang dihadapi Tarusbawa lima puluh tahun silam. Dan sepertinya Tarusbawa juga mengetahui hal tersebut, terbukti dengan kedatangann
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari sontak terkejut saat melihat kehadiran Bangasera. Ketiganya bersiaga penuh meski sudah berada di dalam kubah pelindung.Sementara itu, Bangasera mendongak sambil memejamkan mata, memusatkan sekaligus menajamkan seluruh indranya. Ia bisa mencium bau samar kehadiran beberapa orang di tempat ini. “Sepertinya tempat ini baru saja didatangi tamu tak diundang. Aku juga bisa merasakan darah dari para ular silumanku yang tewas.”Bangasera mengamati keadaan sekeliling saksama, menghirup udara dengan mata terpejam seraya tersenyum bengis. “Firasatku mengatakan jika aku sedang diawasi oleh beberapa orang di suatu tempat, tapi aku sama sekali tidak melihat keberadaan siapa pun di tempat ini. Siapa pun yang mengawasiku saat ini pastilah bukan pendekar sembarangan.”Bangasera tiba-tiba tertawa, menatap tajam ke sekeliling arah. Pikirannya seketika tertuju pada sosok pendekar berbaju hitam yang dirinya duga adalah Limbur Kancana. “Sepertinya malam ini adalah mal
Matahari beranjak dari ufuk timur, memberi sinar dan kehangatan ke seantero tanah Pasundan. Para warga dari sebuah perkampungan berbondong-bondong ke luar dari rumah begitu kentungan ditabuh keras-keras. Para pendekar meminta warga berkumpul di tanah lapang. Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari dengan pakaian warga biasa ikut memadati barisan warga.Sejujurnya, Lingga masih dibuat penasaran dengan suara yang dirinya dengar semalam. Akan tetapi, ketika mengamati Limbur Kancana dan Sekar Sari yang tampak biasa, ia menyadari jika hanya dirinyalah yang mendengar suara tersebut.Lingga beberapa kali mengamati keadaan sekeliling melalui jendela kamar, berharap dua cahaya akan kembali muncul seperti kejadian beberapa waktu lalu. Akan tetapi, dua cahaya itu sama sekali tidak menampakkan diri hingga pagi menjelang.Sebuah rombongan tiba-tiba saja memasuki perkampungan, lantas bergabung dengan para pendekar yang sudah berkumpul di depan para warga.“Mulai saat ini, di setiap perkampungan akan
Di saat yang sama, Sekar Sari merasa sangat geram dengan keadaannya saat ini. Gadis itu merasa bahwa dirinya masih belum berguna dalam perjalanan ini. Ketakutannya untuk berpisah dengan Lingga dan anggapan bahwa dirinya adalah beban membuatnya sangat tertekan. Limbur Kancana menghimpun kekuatan. Tak lama setelahnya, satu tongkat muncul di tangan kiri dan kanannya. Ia kemudian memberikan benda itu pada Lingga. “Aku hanya akan menggunakan tongkat ini untuk kepentinganku sendiri.” “Kakang Guru, apa aku bisa ikut menyimpan tongkat itu juga?” pinta Sekar Sari, “aku berjanji untuk menjaga tongkat itu dengan baik. Aku hanya akan menggunakannya untuk mempelajari ramuan penawar racun kalong setan itu, Kakang Guru.” Limbur Kancana diam sejenak, menimbang. “Baiklah. Kau harus memegang teguh janjimu, Sekar Sari. Jangan sampai tongkat ini jatuh ke tangan musuh.” “Aku mengerti, Kakang Guru.” Limbur Kancana kembali menghimpun kekuatan. Ia lantas memberika tongkat yang berukuran lebih kecil pada
Begitu kembali membuka mata, Lingga seketika berada di sebuah ruangan yang memiliki banyak asap putih. Di saat yang sama suara lonceng semakin keras terdengar. “Aku berada di ruangan ini kembali.” Lingga seketika mendongak ke atas. Meski sudah pernah melihat hal ini sebelumnya, tetapi keterkejutan masih terlukis jelas di wajahnya ketika melihat kujang emas tengah melayang-layang di udara. Pemuda itu menoleh ke kiri dan kanan, kemudian memutuskan untuk berjalan ke depan. Sayangnya, ia justru menabrak dinding tak kasat mata hingga kembali mundur. “Dinding-dinding ini masih menghalangiku untuk menjangkau kujang emas.” Lingga menggertakkan gigi. “Latihan kerasku selama ini nyatanya belum banyak membuat kemajuan.” “Hatimu masih seringkali goyah dan mudah terbawa arus angin, Lingga. Saat ini kau tidak ubahnya seperti tunas kecil yang baru saja tumbuh dari biji.” Suara Gusti Nilakendra menggema di seluruh ruangan. Suara lonceng dan langkah kakinya terdengar bersahutan. Lingga seketika ter
Lingga terombang-ambing ke kiri dan kanan bersamaan dengan arus yang terus menyeretnya ke dasar telaga. Tak sekali raganya menabrak bebatuan tajam. Akan tetapi, ia tidak melakukan apa pun selain membiarkan aliran air terus membawanya, membiarkan rasa sakit datang dan berkuasa di atas raganya. Lingga mendarat di dasar telaga dengan tubuh yang masih terombang-ambing ke kiri dan kanan. Hal itu terus berlangsung selama beberapa waktu hingga akhirnya raganya menetap di satu garis yang lurus dengan permukaan telaga. Secara tiba-tiba, dengungan keras yang menyakiti telinganya menghilang. Lingga mulai membuka mata dan seketika tercengang saat dirinya tidak bisa melihat apa pun selain kegelapan. Secara tiba-tiba dua titik cahaya muncul dan kian membesar seiring jarak yang menipis. Dua sinar tersebut perlahan menghilangkan semua kegelapan di sekelilingnya. Lingga terhenyak ketika melihat sekelilingnya dipenuhi oleh semua kenangan yang sudah dirinya lewati hingga saat ini. Ia sontak menahan na