Matahari beranjak dari ufuk timur, memberi sinar dan kehangatan ke seantero tanah Pasundan. Para warga dari sebuah perkampungan berbondong-bondong ke luar dari rumah begitu kentungan ditabuh keras-keras. Para pendekar meminta warga berkumpul di tanah lapang. Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari dengan pakaian warga biasa ikut memadati barisan warga.Sejujurnya, Lingga masih dibuat penasaran dengan suara yang dirinya dengar semalam. Akan tetapi, ketika mengamati Limbur Kancana dan Sekar Sari yang tampak biasa, ia menyadari jika hanya dirinyalah yang mendengar suara tersebut.Lingga beberapa kali mengamati keadaan sekeliling melalui jendela kamar, berharap dua cahaya akan kembali muncul seperti kejadian beberapa waktu lalu. Akan tetapi, dua cahaya itu sama sekali tidak menampakkan diri hingga pagi menjelang.Sebuah rombongan tiba-tiba saja memasuki perkampungan, lantas bergabung dengan para pendekar yang sudah berkumpul di depan para warga.“Mulai saat ini, di setiap perkampungan akan
Di saat yang sama, Sekar Sari merasa sangat geram dengan keadaannya saat ini. Gadis itu merasa bahwa dirinya masih belum berguna dalam perjalanan ini. Ketakutannya untuk berpisah dengan Lingga dan anggapan bahwa dirinya adalah beban membuatnya sangat tertekan. Limbur Kancana menghimpun kekuatan. Tak lama setelahnya, satu tongkat muncul di tangan kiri dan kanannya. Ia kemudian memberikan benda itu pada Lingga. “Aku hanya akan menggunakan tongkat ini untuk kepentinganku sendiri.” “Kakang Guru, apa aku bisa ikut menyimpan tongkat itu juga?” pinta Sekar Sari, “aku berjanji untuk menjaga tongkat itu dengan baik. Aku hanya akan menggunakannya untuk mempelajari ramuan penawar racun kalong setan itu, Kakang Guru.” Limbur Kancana diam sejenak, menimbang. “Baiklah. Kau harus memegang teguh janjimu, Sekar Sari. Jangan sampai tongkat ini jatuh ke tangan musuh.” “Aku mengerti, Kakang Guru.” Limbur Kancana kembali menghimpun kekuatan. Ia lantas memberika tongkat yang berukuran lebih kecil pada
Begitu kembali membuka mata, Lingga seketika berada di sebuah ruangan yang memiliki banyak asap putih. Di saat yang sama suara lonceng semakin keras terdengar. “Aku berada di ruangan ini kembali.” Lingga seketika mendongak ke atas. Meski sudah pernah melihat hal ini sebelumnya, tetapi keterkejutan masih terlukis jelas di wajahnya ketika melihat kujang emas tengah melayang-layang di udara. Pemuda itu menoleh ke kiri dan kanan, kemudian memutuskan untuk berjalan ke depan. Sayangnya, ia justru menabrak dinding tak kasat mata hingga kembali mundur. “Dinding-dinding ini masih menghalangiku untuk menjangkau kujang emas.” Lingga menggertakkan gigi. “Latihan kerasku selama ini nyatanya belum banyak membuat kemajuan.” “Hatimu masih seringkali goyah dan mudah terbawa arus angin, Lingga. Saat ini kau tidak ubahnya seperti tunas kecil yang baru saja tumbuh dari biji.” Suara Gusti Nilakendra menggema di seluruh ruangan. Suara lonceng dan langkah kakinya terdengar bersahutan. Lingga seketika ter
Lingga terombang-ambing ke kiri dan kanan bersamaan dengan arus yang terus menyeretnya ke dasar telaga. Tak sekali raganya menabrak bebatuan tajam. Akan tetapi, ia tidak melakukan apa pun selain membiarkan aliran air terus membawanya, membiarkan rasa sakit datang dan berkuasa di atas raganya. Lingga mendarat di dasar telaga dengan tubuh yang masih terombang-ambing ke kiri dan kanan. Hal itu terus berlangsung selama beberapa waktu hingga akhirnya raganya menetap di satu garis yang lurus dengan permukaan telaga. Secara tiba-tiba, dengungan keras yang menyakiti telinganya menghilang. Lingga mulai membuka mata dan seketika tercengang saat dirinya tidak bisa melihat apa pun selain kegelapan. Secara tiba-tiba dua titik cahaya muncul dan kian membesar seiring jarak yang menipis. Dua sinar tersebut perlahan menghilangkan semua kegelapan di sekelilingnya. Lingga terhenyak ketika melihat sekelilingnya dipenuhi oleh semua kenangan yang sudah dirinya lewati hingga saat ini. Ia sontak menahan na
Lingga menoleh pada Limbur Kancana yang masih bersemedi. “Aku harus memberi tahu paman kalau aku sudah menemukan keberadaan Tarusbawa.”Begitu kakinya melangkah, tiba-tiba saja Lingga kembali mengingat percakapan dengan Limbur Kancana dan Sekar Sari di perkampungan sesaat setelah kepulangan mereka dari bukit.“Esok hari, aku akan memberikan setengah ramuan itu pada para petinggi golongan putih, sekaligus mengabarkan pada mereka mengenai kenyataan bahwa Wintara dan Nilasari yang kita hadapi saat ini adalah Wintara dan Nilasari yang dihadapi Tarusbawa lima puluh tahun silam. Selama aku pergi, kau harus terus berlatih untuk menyempurnakan jurus barumu, Lingga.”Lingga tiba-tiba menoleh pada tempat Sekar Sari berada. Gadis itu sepertinya masih berkutat dengan kesibukannya. Lingga kembali mengingat sesaat setelah percakapan berakhir di mana Limbur Kancana sudah menghilang.Sekar Sari menunduk sesaat. “Kakang, bisakah kau men
Matahari perlahan keluar dari peraduan. Cahayanya mengusir kegelapan di langit dan bumi. Suara kokok ayam dan lenguhan kerbau dan kambing serta cicit burung mulai terdengar bersahutan, menjadi tanda bagi warga untuk kembali pada kegiatan masing-masing.Warga Jaya Tonggoh mulai keluar dari bangunan setengah jadi yang masih dalam tahap pembangunan. Setelah hancurnya Jaya Tonggoh karena pertempuran antara para pendekar dengan Wintara dan Nilasari, warga berbondong-bondong kembali membangun tempat tinggal mereka. Perkara makanan sehari-hari, para pendekarlah yang akan bertugas memberikannya pada mereka di waktu-waktu tertentu. Di dalam gua, tepatnya di salah sudut telaga, Limbur Kancana tampak sedang mengamati pantulan dirinya di permukaan air. Semalaman ia sudah mengerahkan semua kekuatannya untuk mencari keberadaan Tarusbawa. Hanya saja usahanya belum membuahkan hasil. Salah satu tiruannya memang sempat melihat pergerakan seseorang di tengah hutan, tetapi tak lama setelahnya pergeraka
Galih Jaya mengangguk. “Menurut pendekar lain, saat penyerangan terjadi, perkampungan dipenuhi oleh ular-ular beracun. Untungnya tidak ada korban jiwa karena para pendekar sudah berhasil mengamankan para warga lebih dulu. Para pendekar yang terluka pun berhasil diobati para tabib tepat waktu.”“Mereka pasti pasukan Bangasera.” Wirayuda berdecak, memukul dinding kayu di sampingnya hingga bergetar kuat. Matanya mendelik tajam, nyaris keluar dari tempatnya. “Sepertinya Bangasera memang sengaja menyuruh dua ular dua siluman ular itu untuk membuat kekacauan. Dengan begitu, dia bisa melenggang bebas untuk mencari keberadaan pemuda pewaris kujang emas itu tanpa halangan dari para pendekar golongan putih.”“Dia benar-benar licik!” Wirayuda berbalik, mengepal tangan kuat-kuat. Pikirannya seperti benang kusut saat ini. Permasalahan dua siluman itu nyatanya semakin diperkeruh dengan pergerakan pasukan pendekar golongan hitam yang kembali menjadi-jadi. Besar kemungkinan pasukan pendekar golongan
“Aku sudah memeriksa bukit itu,” jawab Limbur Kancana.“Untuk apa kau melakukannya, Pendekar Hitam?”“Untuk memastikan bahwa dugaanku mengenai Wintara dan Nilasari adalah benar. Awalnya aku juga menduga jika Wintara dan Nilasari yang mengacau di rimba persilatan saat ini adalah keturunan dari Dewa Sanca dan Dewi Sanca. Hanya saja setelah memastikan tempat mereka disegel, aku menyimpulkan jika mereka adalah sosok yang sama dengan sosok yang sudah mengacau lima puluh tahun lalu.”Wirayuda kembali terdiam, berjalan ke samping kiri dan kanan dengan tatapan yang tertuju pada Limbur Kancana. Ia masih cukup sulit untuk menerima perkataan pendekar berbaju hitam itu mengenai Wintara dan Nilasari. Akan tetapi, mengingat semua perbuatannya dalam membantu melawan dua siluman ular itu, dirinya menganggap bahwa sosok itu pastilah tidak sedang berbicara omong kosong.“Untuk mengalahkan Wintara dan Nilasari dibutuhkan kekuatan yang sangat besar, terlebih mereka berdua memiliki hubungan dengan salah s