Lingga menoleh pada Limbur Kancana yang masih bersemedi. “Aku harus memberi tahu paman kalau aku sudah menemukan keberadaan Tarusbawa.”
Begitu kakinya melangkah, tiba-tiba saja Lingga kembali mengingat percakapan dengan Limbur Kancana dan Sekar Sari di perkampungan sesaat setelah kepulangan mereka dari bukit.
“Esok hari, aku akan memberikan setengah ramuan itu pada para petinggi golongan putih, sekaligus mengabarkan pada mereka mengenai kenyataan bahwa Wintara dan Nilasari yang kita hadapi saat ini adalah Wintara dan Nilasari yang dihadapi Tarusbawa lima puluh tahun silam. Selama aku pergi, kau harus terus berlatih untuk menyempurnakan jurus barumu, Lingga.”
Lingga tiba-tiba menoleh pada tempat Sekar Sari berada. Gadis itu sepertinya masih berkutat dengan kesibukannya. Lingga kembali mengingat sesaat setelah percakapan berakhir di mana Limbur Kancana sudah menghilang.
Sekar Sari menunduk sesaat. “Kakang, bisakah kau men
Matahari perlahan keluar dari peraduan. Cahayanya mengusir kegelapan di langit dan bumi. Suara kokok ayam dan lenguhan kerbau dan kambing serta cicit burung mulai terdengar bersahutan, menjadi tanda bagi warga untuk kembali pada kegiatan masing-masing.Warga Jaya Tonggoh mulai keluar dari bangunan setengah jadi yang masih dalam tahap pembangunan. Setelah hancurnya Jaya Tonggoh karena pertempuran antara para pendekar dengan Wintara dan Nilasari, warga berbondong-bondong kembali membangun tempat tinggal mereka. Perkara makanan sehari-hari, para pendekarlah yang akan bertugas memberikannya pada mereka di waktu-waktu tertentu. Di dalam gua, tepatnya di salah sudut telaga, Limbur Kancana tampak sedang mengamati pantulan dirinya di permukaan air. Semalaman ia sudah mengerahkan semua kekuatannya untuk mencari keberadaan Tarusbawa. Hanya saja usahanya belum membuahkan hasil. Salah satu tiruannya memang sempat melihat pergerakan seseorang di tengah hutan, tetapi tak lama setelahnya pergeraka
Galih Jaya mengangguk. “Menurut pendekar lain, saat penyerangan terjadi, perkampungan dipenuhi oleh ular-ular beracun. Untungnya tidak ada korban jiwa karena para pendekar sudah berhasil mengamankan para warga lebih dulu. Para pendekar yang terluka pun berhasil diobati para tabib tepat waktu.”“Mereka pasti pasukan Bangasera.” Wirayuda berdecak, memukul dinding kayu di sampingnya hingga bergetar kuat. Matanya mendelik tajam, nyaris keluar dari tempatnya. “Sepertinya Bangasera memang sengaja menyuruh dua ular dua siluman ular itu untuk membuat kekacauan. Dengan begitu, dia bisa melenggang bebas untuk mencari keberadaan pemuda pewaris kujang emas itu tanpa halangan dari para pendekar golongan putih.”“Dia benar-benar licik!” Wirayuda berbalik, mengepal tangan kuat-kuat. Pikirannya seperti benang kusut saat ini. Permasalahan dua siluman itu nyatanya semakin diperkeruh dengan pergerakan pasukan pendekar golongan hitam yang kembali menjadi-jadi. Besar kemungkinan pasukan pendekar golongan
“Aku sudah memeriksa bukit itu,” jawab Limbur Kancana.“Untuk apa kau melakukannya, Pendekar Hitam?”“Untuk memastikan bahwa dugaanku mengenai Wintara dan Nilasari adalah benar. Awalnya aku juga menduga jika Wintara dan Nilasari yang mengacau di rimba persilatan saat ini adalah keturunan dari Dewa Sanca dan Dewi Sanca. Hanya saja setelah memastikan tempat mereka disegel, aku menyimpulkan jika mereka adalah sosok yang sama dengan sosok yang sudah mengacau lima puluh tahun lalu.”Wirayuda kembali terdiam, berjalan ke samping kiri dan kanan dengan tatapan yang tertuju pada Limbur Kancana. Ia masih cukup sulit untuk menerima perkataan pendekar berbaju hitam itu mengenai Wintara dan Nilasari. Akan tetapi, mengingat semua perbuatannya dalam membantu melawan dua siluman ular itu, dirinya menganggap bahwa sosok itu pastilah tidak sedang berbicara omong kosong.“Untuk mengalahkan Wintara dan Nilasari dibutuhkan kekuatan yang sangat besar, terlebih mereka berdua memiliki hubungan dengan salah s
Di dalam ruangan, Wirayuda masih berusaha mencerna peristiwa yang baru saja terjadi padanya. Pendekar itu berjalan ke arah jendela, mengamati kegiatan warga dan para pendekar yang bahu membahu berkutat dalam membangun dan menyelesaikan rumah. Kepalanya seperti akan meledak karena dipenuhi oleh kilasan kejadian bersama sosok pendekar hitam tadi.“Kenapa kau bisa menaruh kepercayaan padaku, Pendekar Hitam? Dan kenapa kau bisa seyakin itu padaku? Apa yang sebenarnya kau rencanakan dan kau inginkan dariku?”Wirayuda berbalik, menatap setiap sudut ruangan dengan saksama. “Aku melakukan semua ini tidak lain agar aku tidak dianggap sebagai pendekar yang hanya memikirkan urusan perut dan kekuasaan semata. Untuk itulah, aku harus memaksakan diri untuk menguras tenaga dan pikiran untuk mencari cara agar dua siluman itu segera musnah dari bumi ini. Dengan begitu, aku bisa leluasa mencari keberadaan pemuda pewaris kujang emas itu tanpa harus terbebani dengan pend
Limbur Kancana tenggelam dalam lamunan. Sosok Lingga benar-benar salinan sempurna dari dua sosok yang disebutkannya tadi. Tak hanya tubuh dan rupa, melainkan sedikit pembawaan kepribadian sekalipun dari salah satu sosok yang dikenal dekatnya. Sayangnya, ia dan seluruh anggota Pendekar Sayap Putih sudah berjanji untuk menutup rapat-rapat mengenai siapa Lingga sebenarnya dan hanya boleh memberi tahu pemuda itu dengan persetujuan dari Gusti Prabu Nilakendra maupun pihak-pihak yang ditunjuk olehnya.Limbur Kancana menggeleng beberapa kali. Begitu perhatiannya sudah kembali utuh, ia dikejutkan dengan serangan Lingga yang datang tiba-tiba. Sebuah tendangan kuat harus dirinya terima akibat kelalaiannya barusan hingga menyebabkannya terlempar ke belakang sampai nyaris menabrak pembatas kubah.“Kau sepertinya melamun, Paman.” Lingga mendarat di atas tubuh dua harimau milik Limbur Kancana, mengentak kaki sekali, lantas melayangkan serangan jarak jauh.“Jangan sombong dulu, Lingga.” Limbur Kanca
Sementara itu, Sekar Sari masih berkutat dengan kitab-kitab dan racikan ramuannya. Gadis itu merengut kesal karena belum menghasilkan ramuan apa pun sejak tadi, padahal ia masih memiliki tugas penting untuk membuat salinan dari ramuan penawar racun kalong setan sekaligus menyempurnakan ramuan penyembuh untuk korban Wintara dan Nilasari. Namun, hingga saat ini pekerjaannya belum membuahkan hasil apa pun, padahal ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari dan membuat ramuan sesuai dengan petunjuk.“Ini benar-benar sangat sulit.” Sekar Sari mengembus napas panjang, mengamati keadaan sekelilingnya yang berantakan, termasuk beberapa bagian tubuhnya. Gadis itu melirik ke arah ruang kosong di mana aliran dan tumbukan kekuatan terjadi. Secara sekilas, ia bisa melihat dua bayangan bergerak cepat.Sekar Sari kembali mengembus napas panjang, memutuskan berjalan ke sisi telaga. Gadis itu menatap pantulan dirinya di permukaan air. Untuk sekali lagi, ia mengeluarkan napas panjang, berhara
Sekar Sari tercenung saat melihat retakan besar di dinding gua bergeser ke samping hingga membentuk sebuah jalan. Gadis itu dengan ragu-ragu melongokkan kepala ke dalam untuk mengintip. Tanpa diduga, ia menemukan sebuah jalan setapak menuju sebuah tempat.“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa retakan ini tiba-tiba saja bergeser?” Sekar Sari terpaku di tempatnya dengan pikiran yang menimbang antara masuk atau justru melaporkan keanehan ini pada Limbur Kancana. “Kakang Guru tampaknya akan sulit diajak bicara sebelum latihan ini selesai. Haruskah aku menyelidiki tempat ini lebih dulu?”Sekar Sari mengembus napas panjang, memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Gadis itu menoleh ke sekeliling. Dinding gua terlihat diselimuti lumut hijau dan tanaman merambat. Cahaya matahari tampak terperangkap di celah-celah kecil atap gua. Dari arah depan, tiba-tiba angin berembus cukup kencang. Sekar Sari tak mendapati hal aneh dari tempat yang sedang dimasukinya. Meski begitu, gadis itu sepertinya be
Pertarungan Lingga dan Limbur Kancana terus berlangsung hingga matahari hampir sampai di pucak langit. Keduanya masih saling mengadu kekuatan, memamerkan kebolehan dan ketangkasan. Kubah pelindung dan gua setiap beberapa waktu sekali akan bergetar hebat. Meski begitu, belum ada dari keduanya yang ingin menyerah.Lingga jatuh berlutut dengan napas terengah-engah. Tenaganya benar-benar terkuras habis hingga kakinya bergetar hebat. Sekujur tubuhnya terasa lemah dan menjerit kesakitan. Berbanding terbalik dengan Limbur Kancana masih berdiri kokoh dengan sesekali menyeka keringat.“Paman benar-benar hebat.” Lingga kembali berdiri, memasang kuda-kuda untuk menyerang. Kakinya yang bergetar ia entakkan kuat-kuat ke tanah.“Kekuatanmu dan kebolehanmu memang sudah jauh meningkat, tetapi dengan kekuatanmu saat ini kau masih jauh dari cukup untuk mengalahkanku atau menghadapi anggota Cakar Setana seorang diri, Lingga.”Lingga tiba-tiba mengentak tubuh ke depan seraya menghimpun kekuatan dengan ke
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me