Pertarungan Lingga dan Limbur Kancana terus berlangsung hingga matahari hampir sampai di pucak langit. Keduanya masih saling mengadu kekuatan, memamerkan kebolehan dan ketangkasan. Kubah pelindung dan gua setiap beberapa waktu sekali akan bergetar hebat. Meski begitu, belum ada dari keduanya yang ingin menyerah.Lingga jatuh berlutut dengan napas terengah-engah. Tenaganya benar-benar terkuras habis hingga kakinya bergetar hebat. Sekujur tubuhnya terasa lemah dan menjerit kesakitan. Berbanding terbalik dengan Limbur Kancana masih berdiri kokoh dengan sesekali menyeka keringat.“Paman benar-benar hebat.” Lingga kembali berdiri, memasang kuda-kuda untuk menyerang. Kakinya yang bergetar ia entakkan kuat-kuat ke tanah.“Kekuatanmu dan kebolehanmu memang sudah jauh meningkat, tetapi dengan kekuatanmu saat ini kau masih jauh dari cukup untuk mengalahkanku atau menghadapi anggota Cakar Setana seorang diri, Lingga.”Lingga tiba-tiba mengentak tubuh ke depan seraya menghimpun kekuatan dengan ke
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari berkumpul setelah makan siang. Ketiganya duduk di tepian Telaga Asri. Deburan air terjun, jejak langkah yang mendekat serta suara yang berasal dari luar terdengar mengisi keheningan.“Para pendekar yang berada di luar sana tidak mungkin bisa memasuki gua ini dengan mudah,” kata Limbur Kancana seraya mengalihkan pandangan pada arah air terjun, kemudian kembali menatap Lingga dan Sekar Sari bergantian.“Aku sudah memberi tahu siapa sebenarnya Wintara dan Nilasari pada petinggi golongan putih yang bernama Wirayuda. Meski pada awalnya dia tidak mempercayainya, tetapi sepertinya dia tidak memiliki bukti apa pun untuk membantah perkataanku. Mau tidak mau dia harus mempercayainya dan segera mengabarkan hal itu pada seluruh petinggi golongan putih yang lain.”“Selain itu, menurut keterangan yang kudengar dari Wirayuda dan salah satu bawahannya, para petinggi golongan putih wilayah tengah bersedia membantu pendekar di wilayah selatan untuk menangani Wintar
Matahari beranjak cepat menuju ufuk barat. Langit hampir sepenuhnya diselimuti lembayung senja. Para warga Jaya Tonggoh mulai dilanda kekhawatiran begitu malam akan tiba meski kediaman mereka sudah bisa ditempati kembali. Sementara itu, para pendekar tampak bersiaga di setiap sudut perkampungan dan wilayah sekelilingnya.Di tempat berbeda, hal serupa juga ikut terjadi. Para warga akan berbondong-bondong memasuki rumah, menarik-narik binatang ternak, menenangkan anak-anak yang mulai merengek dan menangis, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Sementara itu, para pendekar akan mulai berlalu lalang untuk melakukan penjagaan.Di sisi lain, para pengembara tampak berdebat dengan para pendekar di pintu masuk perkampungan agar dibiarkan masuk. Setelah pembicaraan panjang, akhirnya mereka dipersilakan masuk dengan syarat memberikan barang-barang jaminan. Mereka ditempatkan di tempat khusus dengan penjagaan ketat dari para pendekar.Matahari sudah sepenuhnya tenggelam ke peraduan, menarik malam dan
Argaseni dan Brajawesi saling menatap dengan penuh amarah dan dendam. Ketika angin berembus melewati keduanya, dua anggota Cakar Setan itu secara bersamaan mengentak kaki, lantas melesat cepat ke depan, bersiap menyerang.Argaseni dan Brajawesi saling menyerang satu sama lain, mengerahkan jurus dan kekuatan untuk menentukan siapa yang paling unggul dari keduanya. Kedua pendekar golongan hitam itu saling membenturkan senjata masing-masing hingga mencipta gelombang dahsyat ke sekeliling.“Sebaiknya kau menyerah, Pria Kerbau,” cibir Argaseni dengan tawa meremehkan.“Harusnya aku yang mengatakan hal itu padamu, Argaseni. Kau masih saja tetap bodoh dan lalai terhadap sekelilingmu. Jika saja kau cerdik seperti yang kau katakan, tentu kau tidak akan membiarkanku mengetahui kabar penting darimu dengan mudah.” Brajawesi balas menghina.Argaseni berdecak, menekan tongkatnya kuat-kuat ke arah Brajawesi. “Dan kau juga tetap menyedihkan seperti biasanya, Pria Kerbau. Asal kau tahu, aku sengaja mem
“Wira dan Danuseka?” gumam Argaseni dan Brajawesi dengan raut keterkejutan yang belum hilang. Selepas pertarungan di Lebak Angin dan seluruh anggota Cakar Setan kembali seperti semula, keduanya memang tidak mendapati Wira dan Danuseka kembali ke wujud semula. Kartasura juga bergegas pergi meninggalkan Lembah Mayit dengan cepat setelahnya.Argaseni memegang tongkatnya kuat-kuat, kembali bergumam, “Selepas pergi dari Lembah Mayit, Kartasura seolah menghilang dari rimba persilatan. Kabar yang kudengar, dia berusaha mengembalikan keadaan Wira dan Danuseka seperti semula, sedang pencarian pemuda bernama Lingga diserahkan pada pasukan kelelawarnya. Jika Wira dan Danuseka sudah kembali, itu berarti Kartasura sudah berhasil mengembalikan mereka. Bagaimana cara Kartasura mengembalikan dua cecunguk busuknya?”Brajawesi menimpali ucapan Wulung, “Kabar yang kudengar sama sekali tidak berguna untukku, Wulung. Hidup atau mati pun Kartasura dan dua cecunguknya tidak berarti apa-apa untukku sedikit p
Wulung memutar-mutar tali pecutnya di atas kepala, mengentak udara dengan kedua kaki untuk mempercepat pergerakannya turun. Ia melayangkan tali pecutnya pada sosok berbaju hitam di depan, tetapi sosok itu masih mampu menghindar ke samping, lalu mempercepat laju lari.Wulung berdecak, menghimpun kekuatan cukup besar pada pecutnya. Saat ia melayangkan kembali senjatanya, tali pecutnya seketika diselimuti cahaya hitam kemerahan yang bergerak cepat memburu sosok berbaju hitam itu. Di saat bersamaan, kepala ular Argaseni dan kapak merah Brajawesi mengincar sosok yang sama.Sosok pendekar berbaju hitam itu keluar dari kungkungan hutan, melewati tanah lapang, bergerak sangat cepat. Begitu menoleh ke belakang, tiga serangan dari Wulung, Argaseni dan Brajawesi sudah terarah padanya. Benturan ketiga serangan itu seketika mencipta gelombang dahsyat yang menyebar ke sekeliling hingga menumbangkan pepohonan di sekitarnya. Asap hitam seketika membungbung tinggi dari bekas ketiga serangan itu bertem
Para pendekar kembali saling berbisik setelah mendengar penjabaran tersebut. Meski pada awalnya sulit menerima, tetapi setelah mengingat bantuan yang diberikan Pendekar Hitam saat pertarungan dengan Wintara dan Nilasari tempo hari serta penjelasan yang diberikan Wirayuda, keraguan itu dengan perlahan hilang.Wirayuda mengamati kembali para pendekar. Ia mengepalkan tangan erat-erat saat melihat keraguan di wajah para pendekar di depannya menghilang. Sejujurnya, Wirayuda terbebani dengan perkataan si Pendekar Hitam yang menaruh kepercayaan padanya untuk bisa menyatukan seluruh pendekar golongan putih dalam menangani kekacauan yang diakibatkan dua siluman ular itu.Wirayuda merasa ragu pada kemampuannya sendiri, terlebih dirinya tahu bagaimana tabiat para petinggi golongan putih wilayah selatan yang lain. Tujuan mereka adalah menemukan pemuda pewaris kujang emas bernama Lingga dan menjadikannya sebagai sekutu untuk mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal itu tentu tak jauh berbed
Wintara dan Nilasari mendengkus kesal, segera mengalihkan pandangan dari Bangasera. Tanpa perlu mengucapkan pamit, keduanya dengan cepat melompat ke depan, lantas mengubah wujud menjadi ular siluman, bergerak gesit memasuki kegelapan hutan.Bangasera tersenyum kecut ketika melihat kepergian dua siluman ular itu. “Sebaiknya kalian berdua tidak membuatku kerepotan kembali. Kalau saja kalian berdua masih mau menghabiskan waktu denganku, aku tentunya akan memberi tahu kalian mengenai pergerakan yang dilakukan Wulung, Argaseni dan Brajawesi. Jika sampai kalian berdua bertemu dengan mereka, aku tidak bisa memastikan jika aku bisa membantu kalian saat itu terjadi.”Bangasera mengembus napas panjang. “Aku masih sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Kartasura saat ini? Mungkinkah dia sudah menemukan sesuatu?”Bangasera berdecak. “Menyebut namanya saja sudah membuatku sangat kesal. Aku pastikan aku tidak akan kalah darimu, Kartasura.”Bnagasera menoleh ke arah selatan. “Ular-ularku yang be