Argaseni dan Brajawesi saling menatap dengan penuh amarah dan dendam. Ketika angin berembus melewati keduanya, dua anggota Cakar Setan itu secara bersamaan mengentak kaki, lantas melesat cepat ke depan, bersiap menyerang.Argaseni dan Brajawesi saling menyerang satu sama lain, mengerahkan jurus dan kekuatan untuk menentukan siapa yang paling unggul dari keduanya. Kedua pendekar golongan hitam itu saling membenturkan senjata masing-masing hingga mencipta gelombang dahsyat ke sekeliling.“Sebaiknya kau menyerah, Pria Kerbau,” cibir Argaseni dengan tawa meremehkan.“Harusnya aku yang mengatakan hal itu padamu, Argaseni. Kau masih saja tetap bodoh dan lalai terhadap sekelilingmu. Jika saja kau cerdik seperti yang kau katakan, tentu kau tidak akan membiarkanku mengetahui kabar penting darimu dengan mudah.” Brajawesi balas menghina.Argaseni berdecak, menekan tongkatnya kuat-kuat ke arah Brajawesi. “Dan kau juga tetap menyedihkan seperti biasanya, Pria Kerbau. Asal kau tahu, aku sengaja mem
“Wira dan Danuseka?” gumam Argaseni dan Brajawesi dengan raut keterkejutan yang belum hilang. Selepas pertarungan di Lebak Angin dan seluruh anggota Cakar Setan kembali seperti semula, keduanya memang tidak mendapati Wira dan Danuseka kembali ke wujud semula. Kartasura juga bergegas pergi meninggalkan Lembah Mayit dengan cepat setelahnya.Argaseni memegang tongkatnya kuat-kuat, kembali bergumam, “Selepas pergi dari Lembah Mayit, Kartasura seolah menghilang dari rimba persilatan. Kabar yang kudengar, dia berusaha mengembalikan keadaan Wira dan Danuseka seperti semula, sedang pencarian pemuda bernama Lingga diserahkan pada pasukan kelelawarnya. Jika Wira dan Danuseka sudah kembali, itu berarti Kartasura sudah berhasil mengembalikan mereka. Bagaimana cara Kartasura mengembalikan dua cecunguk busuknya?”Brajawesi menimpali ucapan Wulung, “Kabar yang kudengar sama sekali tidak berguna untukku, Wulung. Hidup atau mati pun Kartasura dan dua cecunguknya tidak berarti apa-apa untukku sedikit p
Wulung memutar-mutar tali pecutnya di atas kepala, mengentak udara dengan kedua kaki untuk mempercepat pergerakannya turun. Ia melayangkan tali pecutnya pada sosok berbaju hitam di depan, tetapi sosok itu masih mampu menghindar ke samping, lalu mempercepat laju lari.Wulung berdecak, menghimpun kekuatan cukup besar pada pecutnya. Saat ia melayangkan kembali senjatanya, tali pecutnya seketika diselimuti cahaya hitam kemerahan yang bergerak cepat memburu sosok berbaju hitam itu. Di saat bersamaan, kepala ular Argaseni dan kapak merah Brajawesi mengincar sosok yang sama.Sosok pendekar berbaju hitam itu keluar dari kungkungan hutan, melewati tanah lapang, bergerak sangat cepat. Begitu menoleh ke belakang, tiga serangan dari Wulung, Argaseni dan Brajawesi sudah terarah padanya. Benturan ketiga serangan itu seketika mencipta gelombang dahsyat yang menyebar ke sekeliling hingga menumbangkan pepohonan di sekitarnya. Asap hitam seketika membungbung tinggi dari bekas ketiga serangan itu bertem
Para pendekar kembali saling berbisik setelah mendengar penjabaran tersebut. Meski pada awalnya sulit menerima, tetapi setelah mengingat bantuan yang diberikan Pendekar Hitam saat pertarungan dengan Wintara dan Nilasari tempo hari serta penjelasan yang diberikan Wirayuda, keraguan itu dengan perlahan hilang.Wirayuda mengamati kembali para pendekar. Ia mengepalkan tangan erat-erat saat melihat keraguan di wajah para pendekar di depannya menghilang. Sejujurnya, Wirayuda terbebani dengan perkataan si Pendekar Hitam yang menaruh kepercayaan padanya untuk bisa menyatukan seluruh pendekar golongan putih dalam menangani kekacauan yang diakibatkan dua siluman ular itu.Wirayuda merasa ragu pada kemampuannya sendiri, terlebih dirinya tahu bagaimana tabiat para petinggi golongan putih wilayah selatan yang lain. Tujuan mereka adalah menemukan pemuda pewaris kujang emas bernama Lingga dan menjadikannya sebagai sekutu untuk mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal itu tentu tak jauh berbed
Wintara dan Nilasari mendengkus kesal, segera mengalihkan pandangan dari Bangasera. Tanpa perlu mengucapkan pamit, keduanya dengan cepat melompat ke depan, lantas mengubah wujud menjadi ular siluman, bergerak gesit memasuki kegelapan hutan.Bangasera tersenyum kecut ketika melihat kepergian dua siluman ular itu. “Sebaiknya kalian berdua tidak membuatku kerepotan kembali. Kalau saja kalian berdua masih mau menghabiskan waktu denganku, aku tentunya akan memberi tahu kalian mengenai pergerakan yang dilakukan Wulung, Argaseni dan Brajawesi. Jika sampai kalian berdua bertemu dengan mereka, aku tidak bisa memastikan jika aku bisa membantu kalian saat itu terjadi.”Bangasera mengembus napas panjang. “Aku masih sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Kartasura saat ini? Mungkinkah dia sudah menemukan sesuatu?”Bangasera berdecak. “Menyebut namanya saja sudah membuatku sangat kesal. Aku pastikan aku tidak akan kalah darimu, Kartasura.”Bnagasera menoleh ke arah selatan. “Ular-ularku yang be
“Kakang, sebaiknya kita menggunakan racun kalong setan.” Nilasari terbatuk dengan satu tangan menutup mulut. Bau dari ramuan pemusnah siluman membuatnya pening. Kedua tangannya juga bergetar di sela menepis serbuan anak panah. “Ternyata apa yang dikatakan Bangasera benar. Para pendekar itu benar-benar memberikan perlawanan serius pada kita.”“Jangan! Kita tidak boleh menggunakan racun kalong setan hanya untuk menghadapi cecunguk-cecunguk ini. Sebaiknya kita mundur untuk saat ini.”“Tapi, Kakang. Aku tidak ingin kalah dari pendekar-pendekar lemah seperti mereka. Aku masih ingin mengisap kekuatan mereka.” Nilasari mendengkus, menatap beberapa pendekar yang bersembunyi di balik pepohonan sembari terus melayangkan anak panah.“Keputusanku tetap sama. Kita akan mundur dan kembali menyerang jika waktunya tepat. Setidaknya dengan kedatangan kita ke perkampungan ini, kita sudah mengetahui bagaimana cara musuh melawan kita saat ini. Dengan begitu, kita bisa membuat rencana untuk mengalahkan me
Wintara mendongak saat melihat tiga kendi yang berada di atasnya hancur berhamburan, lalu menumpahkan cairan ramuan pemusnah siluman ke arahnya. Ia secara sekilas melihat beberapa pendekar yang bergerak cepat di antara pepohonan.“Kakang!” teriak Nilasari begitu api besar tiba-tiba muncul di atas Wintara. Saat akan mendekat, gadis itu justru terlempar ke belakang karena terjangan angin dan api hingga tubuhnya menabrak dahan pohon.“Manusia-manusia terkutuk!” maki Nilasari ketika tubuhnya merosot hingga rebah di tanah. Gadis itu tercengang saat melihat api sudah berkobar besar di depannya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari keberadaan Wintara. “Kakang!”Nilasari dengan cepat berdiri, berusaha mendekat, tetapi tubuhnya kembali ditarik mundur karena rasa panas yang mendera. Gadis itu melompat ke atas dahan pohon. Sialnya, api merembet dan terus menjalar ke arahnya, terlebih bau ramuan pemusnah siluman itu membuat semua indra-indranya menumpul dan kepalanya pening.“Kakang!” Nilasari t
“Bukankah Bangasera mengatakan jika dengan racun kalong setan itu kekuatan para siluman akan bertambah berkali-kali lipat? Jika dengan membiarkan racun kalong setan itu menyelimuti tubuh kita, kita bisa bertambah kuat, lalu bagaimana jika kita menyesap dan menelannya? Aku tahu jika ada bebatuan di dalam kendi racun kalong setan itu. Selain itu, racun kalong setan juga memiliki kemampuan untuk menyingkirkan dampak atau khasiat dari ramuan apa pun.”Wintara menyimak saksama.“Bagaimana jika kita mencobanya sekarang, Kakang? Aku yakin cara ini akan berhasil.”“Menyesap dan menelan racun kalong setan?” ulang Wintara.“Benar, Kakang. Dengan adanya racun kalong setan di tubuh kita, kita bisa menjadi lebih kuat tanpa takut pada ramuan apa pun atau pendekar manapun. Itu sama saja membawa racun kalong setan setiap waktu.” Nilasari meyakinkan.“Tapi, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kita ketika benar-benar menyesap dan menelannya, Nilasari. Setahuku, tidak pernah ada yang pernah melakukann
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me