Para pendekar kembali saling berbisik setelah mendengar penjabaran tersebut. Meski pada awalnya sulit menerima, tetapi setelah mengingat bantuan yang diberikan Pendekar Hitam saat pertarungan dengan Wintara dan Nilasari tempo hari serta penjelasan yang diberikan Wirayuda, keraguan itu dengan perlahan hilang.Wirayuda mengamati kembali para pendekar. Ia mengepalkan tangan erat-erat saat melihat keraguan di wajah para pendekar di depannya menghilang. Sejujurnya, Wirayuda terbebani dengan perkataan si Pendekar Hitam yang menaruh kepercayaan padanya untuk bisa menyatukan seluruh pendekar golongan putih dalam menangani kekacauan yang diakibatkan dua siluman ular itu.Wirayuda merasa ragu pada kemampuannya sendiri, terlebih dirinya tahu bagaimana tabiat para petinggi golongan putih wilayah selatan yang lain. Tujuan mereka adalah menemukan pemuda pewaris kujang emas bernama Lingga dan menjadikannya sebagai sekutu untuk mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal itu tentu tak jauh berbed
Wintara dan Nilasari mendengkus kesal, segera mengalihkan pandangan dari Bangasera. Tanpa perlu mengucapkan pamit, keduanya dengan cepat melompat ke depan, lantas mengubah wujud menjadi ular siluman, bergerak gesit memasuki kegelapan hutan.Bangasera tersenyum kecut ketika melihat kepergian dua siluman ular itu. “Sebaiknya kalian berdua tidak membuatku kerepotan kembali. Kalau saja kalian berdua masih mau menghabiskan waktu denganku, aku tentunya akan memberi tahu kalian mengenai pergerakan yang dilakukan Wulung, Argaseni dan Brajawesi. Jika sampai kalian berdua bertemu dengan mereka, aku tidak bisa memastikan jika aku bisa membantu kalian saat itu terjadi.”Bangasera mengembus napas panjang. “Aku masih sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Kartasura saat ini? Mungkinkah dia sudah menemukan sesuatu?”Bangasera berdecak. “Menyebut namanya saja sudah membuatku sangat kesal. Aku pastikan aku tidak akan kalah darimu, Kartasura.”Bnagasera menoleh ke arah selatan. “Ular-ularku yang be
“Kakang, sebaiknya kita menggunakan racun kalong setan.” Nilasari terbatuk dengan satu tangan menutup mulut. Bau dari ramuan pemusnah siluman membuatnya pening. Kedua tangannya juga bergetar di sela menepis serbuan anak panah. “Ternyata apa yang dikatakan Bangasera benar. Para pendekar itu benar-benar memberikan perlawanan serius pada kita.”“Jangan! Kita tidak boleh menggunakan racun kalong setan hanya untuk menghadapi cecunguk-cecunguk ini. Sebaiknya kita mundur untuk saat ini.”“Tapi, Kakang. Aku tidak ingin kalah dari pendekar-pendekar lemah seperti mereka. Aku masih ingin mengisap kekuatan mereka.” Nilasari mendengkus, menatap beberapa pendekar yang bersembunyi di balik pepohonan sembari terus melayangkan anak panah.“Keputusanku tetap sama. Kita akan mundur dan kembali menyerang jika waktunya tepat. Setidaknya dengan kedatangan kita ke perkampungan ini, kita sudah mengetahui bagaimana cara musuh melawan kita saat ini. Dengan begitu, kita bisa membuat rencana untuk mengalahkan me
Wintara mendongak saat melihat tiga kendi yang berada di atasnya hancur berhamburan, lalu menumpahkan cairan ramuan pemusnah siluman ke arahnya. Ia secara sekilas melihat beberapa pendekar yang bergerak cepat di antara pepohonan.“Kakang!” teriak Nilasari begitu api besar tiba-tiba muncul di atas Wintara. Saat akan mendekat, gadis itu justru terlempar ke belakang karena terjangan angin dan api hingga tubuhnya menabrak dahan pohon.“Manusia-manusia terkutuk!” maki Nilasari ketika tubuhnya merosot hingga rebah di tanah. Gadis itu tercengang saat melihat api sudah berkobar besar di depannya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari keberadaan Wintara. “Kakang!”Nilasari dengan cepat berdiri, berusaha mendekat, tetapi tubuhnya kembali ditarik mundur karena rasa panas yang mendera. Gadis itu melompat ke atas dahan pohon. Sialnya, api merembet dan terus menjalar ke arahnya, terlebih bau ramuan pemusnah siluman itu membuat semua indra-indranya menumpul dan kepalanya pening.“Kakang!” Nilasari t
“Bukankah Bangasera mengatakan jika dengan racun kalong setan itu kekuatan para siluman akan bertambah berkali-kali lipat? Jika dengan membiarkan racun kalong setan itu menyelimuti tubuh kita, kita bisa bertambah kuat, lalu bagaimana jika kita menyesap dan menelannya? Aku tahu jika ada bebatuan di dalam kendi racun kalong setan itu. Selain itu, racun kalong setan juga memiliki kemampuan untuk menyingkirkan dampak atau khasiat dari ramuan apa pun.”Wintara menyimak saksama.“Bagaimana jika kita mencobanya sekarang, Kakang? Aku yakin cara ini akan berhasil.”“Menyesap dan menelan racun kalong setan?” ulang Wintara.“Benar, Kakang. Dengan adanya racun kalong setan di tubuh kita, kita bisa menjadi lebih kuat tanpa takut pada ramuan apa pun atau pendekar manapun. Itu sama saja membawa racun kalong setan setiap waktu.” Nilasari meyakinkan.“Tapi, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kita ketika benar-benar menyesap dan menelannya, Nilasari. Setahuku, tidak pernah ada yang pernah melakukann
“Katakan, kenapa kau bisa berada di sungai dalam keadaan yang hampir tewas,” pinta Wintara dengan tatapan tajam tertuju pada Bedung.“Aku mendapat luka fatal setelah aku terlibat dalam pertarungan dengan Wulung dan pasukannya. Hanya sedikit dari teman-temanku yang berhasil selamat dan melarikan diri, sedang sisanya harus tewas merengang nyawa. Karena lukaku bertambah parah, teman-temanku justru membuangku ke sungai agar aku tewas dan tidak merepotkan mereka, padahal aku mati-matian berusaha menyelamatkan mereka saat penyerangan terjadi,” jelas Bedung dengan pancara dendam di bola mata.“Wulung? Siapa dia?” tanya Wintara.“Wulung adalah salah satu anggota Cakar Setan.”“Anggota Cakar Setan?” Wintara dan Nilasari berujar bersamaan, saling menoleh, kemudian kembali menatap Bedung yang masih hanyut dalam dendam.“Bisa dikatakan Wulung adalah anggota Cakar Setan yang paling kuat di antara anggota Cakar Setan yang lain. Dia bertubuh tinggi dengan kulit hitam legam. Senjatanya adalah sebuah
Dua orang pendekar tampak sedang berjaga di mulut gua, tempat di mana para warga berlindung. Warga tampak kekuatan, berkumpul dengan sanak saudara masing-masing, saling memeluk satu sama lain. Api unggun yang berada di tengah-tengah mereka sama sekali tidak bisa memberikan apa pun selain rasa panas.Tak jauh dari dalam gua, para pendekar yang terluka dibariskan di atas tanah beralas daun. Beberapa tabib tampak sibuk mengobati mereka. Teriakan kesakitan terdengar beberapa kali di tengah hening dan tegangnya keadaan. Dua orang pendekar tiba-tiba mendekat pada pemimpin pendekar di perkampungan ini. Salah satu dari mereka, kemudian berkata, “Kami sudah mengirimkan pesan pada tempat penjagaan terdekat bahwa Wintara dan Nilasari datang menyerang. Pesan itu akan langsung diteruskan ke Jaya Tonggoh.”“Beristirahatlah sebentar, lalu bantulah para pendekar yang lain,” ujar pemimpin itu.“Baik,” jawab kedua pendekar serempak.“Keadaan perkampungan sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Rumah-rumah
“Segera tangkap dan habisi ular siluman itu!” teriak salah satu pendekar seraya mengangkat tombak tinggi-tinggi.Para pendekar mulai melompat turun dan bergerak mendekat ke arah Bedung di mana pasukan panah tetap menjaga jarak untuk kembali melakukan serangan.Bedung melayangkan serangan ekor dengan memutar tubuh ke sekeliling. Alhasil, para pendekar dan panah yang tertuju padanya berhasil dibuat mundur dan menjauh darinya.“Serang!” teriak salah satu pendekar.Para pendekar seketika menarik senjata masing-masing, di mana para pemanah kembali bersiap menyerang. Dimulai dengan hujan panah yang melesat ke arah Bedung, pertempuran pun akhirnya dimulai.Bedung bergerak cepat menyerang para pendekar. Tombak dan pedang milik para pendekar yang sudah diolesi ramuan pemusnah siluman nyatanya tidak memberikan dampak apa pun pada Bedung selain luka sobekan semata. Di saat yang sama, panah-panah yang berhasil menancap di tubuh siluman ular hitam itu tak ubahnya seperti panah biasa.Bedung melaya