Dua orang pendekar tampak sedang berjaga di mulut gua, tempat di mana para warga berlindung. Warga tampak kekuatan, berkumpul dengan sanak saudara masing-masing, saling memeluk satu sama lain. Api unggun yang berada di tengah-tengah mereka sama sekali tidak bisa memberikan apa pun selain rasa panas.Tak jauh dari dalam gua, para pendekar yang terluka dibariskan di atas tanah beralas daun. Beberapa tabib tampak sibuk mengobati mereka. Teriakan kesakitan terdengar beberapa kali di tengah hening dan tegangnya keadaan. Dua orang pendekar tiba-tiba mendekat pada pemimpin pendekar di perkampungan ini. Salah satu dari mereka, kemudian berkata, “Kami sudah mengirimkan pesan pada tempat penjagaan terdekat bahwa Wintara dan Nilasari datang menyerang. Pesan itu akan langsung diteruskan ke Jaya Tonggoh.”“Beristirahatlah sebentar, lalu bantulah para pendekar yang lain,” ujar pemimpin itu.“Baik,” jawab kedua pendekar serempak.“Keadaan perkampungan sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Rumah-rumah
“Segera tangkap dan habisi ular siluman itu!” teriak salah satu pendekar seraya mengangkat tombak tinggi-tinggi.Para pendekar mulai melompat turun dan bergerak mendekat ke arah Bedung di mana pasukan panah tetap menjaga jarak untuk kembali melakukan serangan.Bedung melayangkan serangan ekor dengan memutar tubuh ke sekeliling. Alhasil, para pendekar dan panah yang tertuju padanya berhasil dibuat mundur dan menjauh darinya.“Serang!” teriak salah satu pendekar.Para pendekar seketika menarik senjata masing-masing, di mana para pemanah kembali bersiap menyerang. Dimulai dengan hujan panah yang melesat ke arah Bedung, pertempuran pun akhirnya dimulai.Bedung bergerak cepat menyerang para pendekar. Tombak dan pedang milik para pendekar yang sudah diolesi ramuan pemusnah siluman nyatanya tidak memberikan dampak apa pun pada Bedung selain luka sobekan semata. Di saat yang sama, panah-panah yang berhasil menancap di tubuh siluman ular hitam itu tak ubahnya seperti panah biasa.Bedung melaya
“Kau benar, Nilasari. Tapi aku ingin memastikan satu hal lagi sebelum kita benar-benar bisa mencoba racun kalong setan pada diri kita,” ujar Wintara.Nilasari berdecak kesal, mengentak kaki karena geram. “Apa lagi yang kau tunggu, Kakang? Apa kau masih tidak yakin dengan khasiat racun kalong setan itu? Kita bisa menjadi lebih kuat dengan racun itu. Bukankah itu keinginan kita berdua selama ini? Aku benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikirmu.”“Apa kau masih mengingat jika racun kalong setan sama sekali tidak bisa digunakan di saat matahari masih bersinar, Nilasari?” Wintara memelotot tajam.Nilasari mendengkus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. Wajahnya semakin cemberut. “Tentu saja aku tahu, Kakang.”“Aku ingin tahu apa yang akan terjadi pada Bedung esok hari. Apakah dia tetap dalam wujud dan kekuatannya saat ini atau justru kembali ke keadaannya semula. Apa kau mengerti maksud perkataanku, Nilasari?”Nilsari membelakangi Wintara, melompat ke sebuah puncak pohon untuk m
“Apa mungkin kau adalah pendekar hitam yang sudah menolong para pendekar golongan putih dalam menghadapi Wintara dan Nilasari ketika mereka menyerang Jaya Tonggoh?” tanya salah satu pendekar.Tarusbawa diam sejenak, bergumam, “Pendekar Hitam? Menolong mereka saat di Jaya Tonggoh? Wintara dan Nilasari?”Tarusbawa berjalan mendekat, mengamati satu per satu orang yang berada di depannya melalui wajah yang hampir semuanya tertutup kain hitam, kecuali dua matanya. Mendengar nama Wintara dan Nilasari membuatnya semakin yakin jika dua musuh lamanya sudah sepenuhnya bebas. Sampai saat ini, ia berusaha mencari keduanya untuk kembali menyegel mereka.Salah satu pendekar tiba-tiba berteriak, “Jangan mendekat! Kami semua sudah terkena racun kalong setan! Akan sangat berbahaya jika kau mendekati kami! Kami tidak mungkin bisa bertahan lebih lama setelah terkena racun ini.”Pendekar lain menyahut, “Jika kau ingin menolong, tolong sampaikan pesan kami pada petinggi golongan putih di Jaya Tonggoh bahw
“Dua sosok asing? Mungkinkah itu Wintara dan Nilasari?” Dharma segera berdiri meski tertatih-tatih, mengamati sosok berbaju serba hitam di depannya lekat-lekat. “Izinkan aku untuk membantumu, Pendekar Hitam.”“Jika kau ingin membantu, segeralah temui teman-temanmu dan pastikan mereka bisa bertahan lebih lama. Dengan keadaanmu saat ini, kau hanya akan menghambatku.”“Baiklah, aku mengerti. Aku sangat berhutang budi padamu. Aku pastikan aku akan membayarnya suatu saat nanti.” Dharma membungkuk hormat cukup lama.Tarusbawa maju selangkah saat mendengar suara teriakan dari depan, disusul oleh suara debam cukup keras dari lemparan batang pohon ke sembarang.“Aku pasti akan membunuhmu!” pekik Bedung menggelegar. Secara tiba-tiba, tubuh siluman ular itu semakin membesar.“Siluman itu kembali bangkit dan bertambah besar,” lirih Dharma dengan tatapan terkejut.“Pergilah!” Tarusbawa melirik Dharma singkat.“Baik.” Dharma mulai berlari dengan sesekali menoleh ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa
“A-apa yang harus kita lakukan saat ini, Kakang?” tanya Nilasari dengan suara bergetar. Ia memegang erat tangan Wintara dengan keringat yang mulai bercucuran. Bayangan masa lalu yang pernah dirinya lewati bersama Tarusbawa terus berlarian dalam benak, membuat keberaniannya sedikit demi sedikit terlucuti.Wintara berusaha mengendalikan diri dengan cara mengembus napas panjang. Pemuda itu memegang erat kendi berisi racun kalong setan, membuka tutup kendi untuk membiarkan asap hitam menyelimutinya dan Nilasari. Meski ketakutan dan bayangan masa lalu masih menghantui, ia tidak boleh gentar setelah berhadapan langsung dengan musuh yang seharusnya dirinya habisi sejak dahulu. Bukankah salah satu tujuannya saat ini adalah menghabisi dan mendapatkan kepala Tarusbawa?“Tenanglah, Nilasari.” Wintara melirik singkat. “Kita pasti bisa menghadapinya dengan kekuatan kita sekarang. Aku sudah mengeluarkan racun kalong setan. Dengan racun ini, Tarusbawa tidak akan bisa berbuat banyak.”Wintara dan Nil
Rantai putih yang berada di sekeliling Tarusbawa seketika melindunginya dari serangan tombak dan susuk hitam yang kini bergerak lebih cepat dan dalam bentuk yang lebih besar. Rantai itu kembali bergerak mengincar Wintara dan Nilasari dengan segera. Wintara dan Nilasari sontak mendongak ketika merasakan embusan angin tipis dari atas. Dua buah batu besar seketika menghujani mereka. Untungnya, sabetan ekor mereka mampu menghancurkan dan menghadang serangan tersebut. Akan tetapi, hal itu membuat mereka abai dengan serangan berikutnya. Dua rantai tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah dan dengan cepat melilit tubuh besar Wintara dan Nilasari, mencekik mereka dengan cepat. Saat hal itu terjadi, Tarusbawa meluncur turun dan bersiap untuk memberikan serangan lanjutan. Wintara dan Nilasari berusaha melepaskan kungkungan rantai putih yang lima puluh tahun lalu sempat menghancurkan kehidupan mereka. Kedua siluman ular itu menghimpun kekuatan dengan segera hingga tubuh mereka semakin membesar.
Matahari kembali hadir pertanda pagi tiba. Cahayanya berubah menjadi kemilau permata di permukaan Telaga Asri. Saat ini, Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari tengah duduk melingkar untuk sarapan pagi. Tak ada yang berbicara selama beberapa waktu, yang terdengar hanya suara debur air terjun di dekat mulut gua.“Paman,” ujar Lingga membuka pembicaraan, “semalam, aku bermimpi melihat Tarusbawa. Dia berada di sebuah perkampungan untuk menolong orang-orang yang akan dimangsa Wintara dan Nilasari.”“Bermimpi?” Limbur Kancana terdiam sesaat. “Apa kau tahu di mana Tarusbawa menolong orang-orang itu?”Sekar Sari segera menyudahi makannya, meneguk air dengan tatapan tertuju pada Lingga dan Limbur Kancana bergantian. Gadis itu mengembus napas panjang, mengembalikan gelas bambu ke tempat semula. Ia jadi teringat dengan hasil ramuan yang dirinya buat dari tanaman-tanaman yang ia dapatkan dari ruang rahasia di gua ini. Sampai saat ini ia belum memberi tahu Lingga maupun Limbur Kancana mengenai rua