“A-apa yang harus kita lakukan saat ini, Kakang?” tanya Nilasari dengan suara bergetar. Ia memegang erat tangan Wintara dengan keringat yang mulai bercucuran. Bayangan masa lalu yang pernah dirinya lewati bersama Tarusbawa terus berlarian dalam benak, membuat keberaniannya sedikit demi sedikit terlucuti.Wintara berusaha mengendalikan diri dengan cara mengembus napas panjang. Pemuda itu memegang erat kendi berisi racun kalong setan, membuka tutup kendi untuk membiarkan asap hitam menyelimutinya dan Nilasari. Meski ketakutan dan bayangan masa lalu masih menghantui, ia tidak boleh gentar setelah berhadapan langsung dengan musuh yang seharusnya dirinya habisi sejak dahulu. Bukankah salah satu tujuannya saat ini adalah menghabisi dan mendapatkan kepala Tarusbawa?“Tenanglah, Nilasari.” Wintara melirik singkat. “Kita pasti bisa menghadapinya dengan kekuatan kita sekarang. Aku sudah mengeluarkan racun kalong setan. Dengan racun ini, Tarusbawa tidak akan bisa berbuat banyak.”Wintara dan Nil
Rantai putih yang berada di sekeliling Tarusbawa seketika melindunginya dari serangan tombak dan susuk hitam yang kini bergerak lebih cepat dan dalam bentuk yang lebih besar. Rantai itu kembali bergerak mengincar Wintara dan Nilasari dengan segera. Wintara dan Nilasari sontak mendongak ketika merasakan embusan angin tipis dari atas. Dua buah batu besar seketika menghujani mereka. Untungnya, sabetan ekor mereka mampu menghancurkan dan menghadang serangan tersebut. Akan tetapi, hal itu membuat mereka abai dengan serangan berikutnya. Dua rantai tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah dan dengan cepat melilit tubuh besar Wintara dan Nilasari, mencekik mereka dengan cepat. Saat hal itu terjadi, Tarusbawa meluncur turun dan bersiap untuk memberikan serangan lanjutan. Wintara dan Nilasari berusaha melepaskan kungkungan rantai putih yang lima puluh tahun lalu sempat menghancurkan kehidupan mereka. Kedua siluman ular itu menghimpun kekuatan dengan segera hingga tubuh mereka semakin membesar.
Matahari kembali hadir pertanda pagi tiba. Cahayanya berubah menjadi kemilau permata di permukaan Telaga Asri. Saat ini, Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari tengah duduk melingkar untuk sarapan pagi. Tak ada yang berbicara selama beberapa waktu, yang terdengar hanya suara debur air terjun di dekat mulut gua.“Paman,” ujar Lingga membuka pembicaraan, “semalam, aku bermimpi melihat Tarusbawa. Dia berada di sebuah perkampungan untuk menolong orang-orang yang akan dimangsa Wintara dan Nilasari.”“Bermimpi?” Limbur Kancana terdiam sesaat. “Apa kau tahu di mana Tarusbawa menolong orang-orang itu?”Sekar Sari segera menyudahi makannya, meneguk air dengan tatapan tertuju pada Lingga dan Limbur Kancana bergantian. Gadis itu mengembus napas panjang, mengembalikan gelas bambu ke tempat semula. Ia jadi teringat dengan hasil ramuan yang dirinya buat dari tanaman-tanaman yang ia dapatkan dari ruang rahasia di gua ini. Sampai saat ini ia belum memberi tahu Lingga maupun Limbur Kancana mengenai rua
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari tiba-tiba muncul di bawah sebuah pohon berukuran besar berdaun rindang. Tak lama setelah kemunculan ketiganya, sebuah rombongan yang terdiri dari kebanyakan pria dan beberapa wanita dan anak-anak hadir dengan tiga kuda dan gerobak yang berisi banyak bawaan.Limbur Kancana tiba-tiba melompat ke depan rombongan itu, menjentrikkan jari dan secara tiba-tiba muncul kilatan putih di mata orang-orang itu. Ia kemudian menoleh pada Lingga dan Sekar Sari, memberi tanda dengan anggukan untuk mendekat.Lingga dan Sekar Sari segera melompat, berdiri di samping Limbur Kancana.“Kami bertiga adalah bagian dari rombongan kalian,” ujar Limbur Kancana, “apa kalian semua mengerti?”Orang-orang itu mengangguk, kemudian kembali meneruskan perjalanan seperti tidak pernah terjadi apa pun. Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari bergerak ke samping untuk memberikan mereka jalan.“Kita akan berjalan di belakang rombongan ini.” Limbur Kancana mulai mengikuti rombongan itu be
Lingga mendadak menunduk begitu mendengar perkataan tersebut. Kepalan tangannya menguat bersamaan dengan hati dan pikirannya yang mulai diselimuti ketakutan dan kegelisahan. Akan tetapi, seperti yang pernah ia tanamkan dalam diri, perkataan-perkataan itu tidak akan membuatnya menyerah dalam berjuang.Lingga melirik Limbur Kancana dan Sekar Sari bergantian, menoleh ke langit biru yang luas, dan tak lama setelahnya tersenyum. Pemuda itu menyadari bahwa dirinya tidak sendiri dalam menghadapi jalan takdirnya. Ada orang-orang yang begitu peduli padanya seperti Limbur Kancana, Sekar Sari, Ganawirya, teman-teman padepokannya. Bahkan, sosok Gustri Prabu Nilakendra dan dua cahaya itu yang sampai saat ini masih sangat misterius baginya.“Kakang,” panggil Sekar Sari, “apa kau baik-baik saja?”“Aku baik-baik saja.” Lingga mempercepat langkah kaki. “Aku justru semakin bersemangat untuk berlatih saat ini.”“Ambillah.” Sekar Sari menyodorkan sebuah kendi kecil. “Ramuan ini bisa membuatmu lebih tenan
“Sepertinya sudah terjadi sesuatu sehingga para pendekar itu tampak terburu-buru,” bisik Sekar Sari, “apa mungkin ini ada hubungannya dengan berita yang kita dengar tadi?”“Sepertinya memang begitu.” Lingga menyahut dengan pandangan yang tertuju pada para pendekar yang dengan cepat menghilang dari pandangan, menyisakan debu yang masih berputar-putar di jalanan.“Kita segera antar barang-barang ini pada para pendekar dan para tabib,” ujar pemimpin rombongan sembari melambaikan tangan.Mendengar tabib disebut, Sekar Sari seketika tersenyum. “Ini kesempatanku,” gumamnya.Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari kembali mengikuti rombongan. Penghentian pertama mereka adalah sebuah ruangan cukup besar yang ditangani oleh beberapa pendekar dan warga yang membantu. Barang-barang berupa sayuran, buah-buahan, daging hewan dan ikan dalam keranjang-keranjang segera diturunkan.Beralih ke tempat kedua, rombongan menemui para tabib dan beberapa pendekar yang berjaga di tempat para korban. Keranjang-k
Limbur Kancana masih berada di kerumunan para pendekar yang berkumpul di tanah lapang. Wirayuda dan beberapa pendekar keluar dari bangunan, berdiri di hadapan seluruh pendekar, mengamati keadaan sesaat.“Ada hal penting yang harus kuberitahukan pada kalian semua,” ujar Wirayuda.Beberapa warga yang penasaran tiba-tiba mendekat ke tempat perkumpulan. Sayangnya, mereka diusir oleh pendekar yang berjaga. Meski begitu, warga tetap bersikeras melihat walau dari jarak yang cukup jauh.Wirayuda memberi tanda pada Galih Jaya yang berada di sampingnya. Pendekar muda itu mengangguk, berjalan beberapa langkah ke depan.“Beberapa saat lagi, kelompok pendekar yang akan mengawal kedatangan para pendekar dan para tabib dari wilayah tengah akan segera berangkat,” ujar Galih Jaya, “untuk itu, bagi siapa pun yang diberi tugas tersebut harap segera mempersiapkan diri.”Para pendekar segera berbisik-bisik dengan rekan di sampingnya. Limbur Kancana hanya diam seraya memperhatikan keadaan.Galih Jaya melan
Limbur Kancana tersenyum setelah mendengar kata-kata Wirayuda. “Aku tahu kau bisa diandalkan, Wirayuda. Meski sepertinya kau merasa sangat kesal.”“Persiapkan diri kalian sebaik mungkin untuk beragam kemungkinan. Bagi para pendekar yang ditugaskan untuk melakukan pencarian Wintara dan Nilasari serta para pendekar yang diberikan tugas untuk mengamankan perjalanan para pendekar dan para tabib dari wilayah tengah segeralah bersiap untuk melakukan tugas, sisanya bersiaplah untuk kembali berjaga dan membantu dalam persiapan perundingan yang akan dilakukan esok hari,” lanjut Wirayuda.Wirayuda bergegas meninggalkan kerumunan bersama para bawahannya, berjalan ke dalam bangunan, melewati lorong panjang, lantas memasuki ruangannya bersama Galih Jaya seorang. “Segera persiapkan semuanya dengan baik, Galih Jaya. Dan pastikan kita bisa mengetahui di mana keberadaan dua siluman ular itu agar kita bisa memusnahkan mereka secepatnya. Sebisa mungkin hindari pertarungan di malam hari.”“Aku mengerti.”