Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari muncul di bawah sebuah pohon yang cukup jauh dari bangunan beratap jerami dan dedaunan tanpa dinding. Dari tempat mereka saat ini, ketiganya bisa melihat kebanyakan pendekar dan tabib terbaring beralas tanah, sisanya duduk dengan wajah pucat pasi dan pandangan kosong. Kekehan batuk dan ringisan kesakitan saling terdengar bersahutan.Lingga mendadak merasa mual, segera menutup mulut rapat-rapat, sedikit menjauh dari pohon. “Mereka benar-benar sudah terkena racun kalong setan, Paman. Aku bisa mencium bau busuk racun itu bahkan dari jarak sejauh ini.”Limbur Kancana dan Sekar Sari seketika menoleh, kembali melemparkan pandangan pada orang-orang di depan. Keduanya mengambil tongkat hitam yang berisi kekuatan Lingga. Dalam sekejap, bau busuk racun kalong setan menyerang penciuman, membuat mereka ikut menjauh dan bergabung dengan Lingga.Sekar Sari mengambil sebuah kendi kecil, membuka tutupnya, mengintip keadaan di dalam. Gadis itu seketika tercengang
Dharma dan para pendekar sempat mengendurkan kewaspadaan sesaat, menarik pedang dan senjata masing-masing karena perkataan sosok pendekar berbusana serba hitam itu. Akan tetapi, tak lama setelahnya senjata kembali tertuju pada sosok di depan mereka.“Bisa saja kau menginginkan kami membocorkan rahasia mengenai pergerakan pasukan pendekar golongan putih dengan menawarkan kami ramuan penawar racun kalong setan sebagai gantinya, lalu setelahnya kau meminta kami menjadi pasukanmu,” ucap Dharma.Limbur Kancana terdiam sesaat, mengawasi pendekar yang berujar di depannya lekat-lekat, lantas bergumam. “Dia cukup cerdas untuk ukuran pendekar yang masih muda. Apa mungkin dia adalah pemimpin pasukan ini?”“Aku bisa mendapatkan rahasia itu tanpa harus membuang-buang waktuku bersama kalian. Jika aku berniat buruk pada kalian, aku sudah melakukannya sebelum kalian bisa menyadari kehadiranku.” Limbur Kancana membuka tutup kendi ramuan penawar racun kalong setan di belakang punggungnya, membiarkan as
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari kembali ke dalam gua di Jaya Tonggoh. Dari tempat mereka saat ini, ketiganya bisa mendengar suara deburan air terjun dan suara langkah kaki dari beberapa pendekar yang berjaga di luar.“Apa yang terjadi selama kau bersama para pendekar itu, Paman?” tanya Lingga.Limbur Kancana menoleh ke arah Telaga Asri, membelakangi Lingga dan Sekar Sari. “Para pendekar itu sudah dalam keadaan yang sangat lemah. Meski begitu, mereka masih bisa memaksakan diri untuk bersiaga saat aku tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka.”“Para pendekar itu tidak langsung percaya bahwa aku adalah sosok Pendekar Hitam yang akan menolong mereka, terutama salah satu pendekar yang aku taksir sebagai pemimpin mereka. Sepertinya dia memiliki pengaruh yang sangat besar hingga pendekar lain mengikuti jejaknya tanpa ragu.”Limbur Kancana kembali berbalik. “Aku sudah memberikan mereka ramuan penawar racun kalong setan. Aku yakin keadaan mereka akan membaik dalam waktu dekat. Sayangnya,
Lingga segera mendekat pada Limbur Kancana, menatap Sekar Sari sesaat. “Paman, apakah Paman tidak menyadari kalau Sekar Sari sudah bertingkah sangat aneh sejak tadi. Dia tiba-tiba saja tersenyum sepanjang waktu, lalu menjauhiku tanpa mau berbicara denganku, dan sekarang dia tiba-tiba marah padaku, padahal aku sudah menolongnya barusan. Apa mungkin dia sudah terkena penyakit aneh karena terus bergelut dengan tanaman-tanaman obat?”Limbur Kancana segera melayangkan tendangan pada bokong Lingga dengan kuat, tetapi pemuda itu mampu menghindar dengan gesit. “Itu semua salahmu, Lingga.”“Salahku? Apa maksud, Paman?” Lingga menggaruk rambut bingung, setengah cemberut. “Setiap aku bertanya, Paman pasti selalu menyalahkanku.”Limbur Kancana mengentak tubuh, melewati jalan yang dilalui Sekar Sari. Ia bisa melihat gadis itu tengah tersenyum malu-malu. “Kau salah besar jika berharap Lingga akan peka terhadap perasaan dan tingkahmu, Sekar Sari. Lingga benar-benar bodoh jika berkaitan dengan perasa
Saat ini, Limbur Kancana tengah berada di depan retakan dinding yang akan menghubungkannya ke ruangan rahasia. Tatapannya menajam, menelusup ke celah-celah retakan, berusaha menerka-nerka keadaan di dalam. Limbur Kancana mulai mengalirkan tenaga dalamnya pada retakan dinding. Ia terhenyak saat retakan itu mulai bersinar kuning keemasan, lantas bergeser dengan sendirinya hingga menampakkan sebuah jalan. Saat akan memasuki ruangan, ia mendadak diserbu angin yang berembus cukup kencang dari dalam. Limbur Kancana berjalan memasuki ruangan, dengan cepat berbalik ketika pintu kembali tertutup. Ia bisa melihat dinding gua yang ditumbuhi lumut hijau dan tanaman merambat. Begitu mendongak ke atap gua, ia bisa mendapati cahaya matahari yang terperangkap di sana. Limbur Kancana berhenti ketika angin berembus dari depan. Ia kembali berjalan menaiki jalan berbatu dengan lingkup ruangan yang menjadi lebih kecil. Sisi kiri dan kanannya tidak lagi ditumbuhi lumut dan tanaman merambat. Mendongak ke
Di tempat berbeda, Limbur Kancana kembali membuka mata setelah bersemedi cukup lama. Pendekar itu mendongak ke atas permukaan kolam, terhenyak saat kembali melihat dua sosok yang sama seperti yang pernah ia dapati di permukaan Telaga Asri. “Kini aku tahu semua yang sudah terjadi. Aji Panday, kau benar-benar membuatku terlihat bodoh selama ini.” Limbur Kancana berdiri di mana matanya tampak berkaca-kaca, sekuat tenaga menahan air mata. “Terima kasih karena kau sudah melakukan segala hal yang kau bisa untuk melindungi Lingga selama ini. Sebesar apa pun pengorbananku, aku tentu tidak bisa menandangi semua usaha dan pengorbananmu. Beristirahtlah dengan tenang sahabatku. Aku pastikan akan melindungi Lingga dengan semua hal yang aku miliki.” Limbur Kancana mengentak kaki kuat-kuat, melesat cepat menuju permukaan. Ia mendarat di sisi kolam, menghadap dua sosok yang dikenalnya. Dua sosok itu memberikan salam penghormatan padanya, kemudian menghilang dan kembali ke wujud dua cahaya. Limbur
Lingga tengah berbaring di atas batu, menatap langit-langit gua. Keadaan begitu sunyi, di mana hanya diramaikan oleh deburan air terjun. Pemuda itu bergerak ke samping kiri, beralih ke samping kanan hingga akhirnya kembali ke posisi semula yang menghadap Telaga Asri.“Aku masih sangat penasaran dengan yang sudah terjadi pada paman selama dia berada di dalam ruangan rahasia itu?” Lingga segera duduk bersila, menoleh pada arah ruangan rahasia. “Apa jika aku kembali menyelami Telaga Asri aku akan bisa memasuki ruangan rahasia itu seperti paman dan Sekar Sari?”Lingga mengembus napas panjang, kembali berbaring dengan kedua tangan sebagai bantalan kepala. Tatapannya menoleh pada Limbur Kancana dan Sekar Sari berada. “Paman dan Sekar Sari benar-benar aneh hari ini.”Lingga berusaha terpejam, menjemput kantuk. Namun, ia terus-menerus terjaga. Tatapannya kembali menoleh pada Limbur Kancana yang tengah bersemedi. Pikirannya menuntunnya pada kesimpulan yang sudah dirinya katakan sebelumnya. “Ap
“Lalu bagaimana dengan pencarian kalian mengenai Tarusbawa?” tanya Bangasera.Wintara diam sesaat, menahan Nilasari yang akan kembali bicara. Ia berusaha memikirkan pilihan yang tepat antara memberi tahu Bangasera mengenai kebenaran Tarusbawa atau memilih menyembunyikannya lebih dahulu.“Jika kami berhasil memberikan kepala Tarusbawa padamu, apakah kau akan benar-benar melepaskan kami, Bangasera?” Wintara maju beberapa langkah, kembali menahan Nilasari yang akan bicara meski ia mendapat tatapan kesal dari sang adik.“Aku bukanlah orang yang suka melanggar janji. Kalian berdua bisa mempercayai perkataanku. Bukankah dengan segala ucapan dan tingkah buruk kalian aku masih bersedia menolong kalian selama ini?” Bangasera terkekeh, tersenyum bengis.“Itu karena kau masih membutuhkan kami, Bangasera,” balas Nilasari sinis.Bangasera tertawa. “Kalian berdua akan langsung kulepaskan setelah kalian benar-benar memberikanku kepala Tarusbawa. Kalaupun di masa yang akan datang kita kembali bertemu