Di tengah perjalanan perjalanan, Wintara tiba-tiba mengubah kembali wujudnya menjadi manusia. Pemuda itu melompat ke atas puncak pohon, mengawasi keadaan sekitar.“Apa yang terjadi, Kakang?” Nilasari ikut mengubah wujud menjadi manusia, melompat ke atas puncak pohon.Bedung ikut menghentikan langkah, menaiki puncak pohon yang berada di samping siluman kembar itu, kemudian mengubah bentuk menjadi manusia.“Aku baru menyadari sesuatu, Nilasari.” Wintara menoleh singkat, menajamkan pandangan pada titik-tik kecil cahaya di depannya. Ia bisa merasakan hawa keberadaan para pendekar dari tempatnya berada saat ini. Dampak dari menyesap dan menelan racun kalong setan mampu meningkatkan kekuatannya berkali-kali lipat.“Apa itu, Kakang?” Nilasari mendadak dilanda penasaran.“Para pendekar golongan putih menjadi semakin kuat karena mereka menghimpun kekuatan setiap harinya dengan cara mengumpulkan para pendekar dari berbagai padepokan dan perguruan, termasuk mengumpulkan para tabib yang memiliki
Wintara terpejam, menajamkan seluruh indranya. Ia bisa melihat keberadaan sebuah iring-iringan dari jarak jauh di mana beberapa pendekar tampak berjaga di depan, tengah, belakang dan sekeliling mereka.“Kita akan membawa pasukan kita ke iring-iringan pasukan pendekar yang sedang menuju Jaya Tonggoh.” Wintara menoleh ke arah Bedung. “Bedung, kau akan memimpin pasukan ini untuk menyerang mereka.”Bedung setengah membungkuk. “Aku mengerti.”Wintara kembali membuka tutup kendi racun kalong setan. Ia mengayunkan tangan ke arah asap hitam yang baru saja keluar ke arah Bedung. “Isaplah asap hitam itu agar kekuatanmu bertambah dengan cepat.”Bedung mengangguk, menarik asap hitam melalui lubang hidung dan mulut yang sudah terbuka sangat lebar. Ia merasakan kekuatannya meluap-luap di mana di saat bersamaan darahnya berdesir hebat. Siluman itu tersenyum bengis, memelotot tajam.Bedung menggerakkan kedua tangan ke depan. Dalam sekejap, pasukan siluman ular yang dimunculkan Wintara dan Nilasari ke
Tarusbawa melompat tinggi untuk menghindari serangan para siluman ular itu. Ia menghimpun kekuatan dengan segera, dan secara tiba-tiba hujan batu menerjang para siluman ketika kedua tangannya dilesatkan ke bawah. Pekikan para siluman itu bersahutan dengan suara debum batu yang berjatuhan.Tarusbawa mendarat di puncak pohon, dengan cepat berbalik saat merasakan embusan angin tak biasa dari belakang. Kedua tangannya segera menyilang di depan dada untuk menahan serangan tak terduga yang dilayangkan Bedung.“Siluman ular ini juga sudah bertambah kuat berkali-kali lipat dari yang terakhir aku temui.” Tarusbawa melesatkan tendangan kiri ke pinggang samping Bedung hingga siluman ular itu terpental jauh.Para siluman ular yang melihat hal itu seketika melompat ke arah Tarusbawa. Mereka seperti semut yang sedang menyerang mangsa tanpa ampun. Namun, siluman-siluman itu tiba-tiba terpental ke sekeliling ketika Tarusbawa memutar tubuh seraya melompat ke atas.Tarusbawa mengeluarkan rantai putih d
Wintara dan Nilasari melompat turun dari atas puncak pohon setelah bersembunyi sekian lama. Keduanya mendekat ke arah dua buah batu besar yang berada di tengah jalan. “Ternyata pasukan kita masih cukup lemah, Nilasari. Terbukti dengan Tarusbawa yang dengan mudah mengalahkan mereka. Selain itu, sejak tadi aku tidak bisa merasakan hawa keberadaan Bedung. Mungkinkah dia sudah berhasil dikalahkan Tarusbawa?” Wintara menghimpun kekuatan di kedua tangan, dan dalam satu entakkan ia memukul kuat sebuah batu di depan hingga hancur berhamburan. Para siluman yang terkurung di dalamnya segera keluar. Nilasari ikut menghimpun kekuatan, menghantam pukulan bergantian hingga batu di depannya retak dan hancur berkeping-keping. Gadis itu segera mundur ketika melihat para siluman muncul dari dalam lubang. Wintara menjentikkan jari sekali dan secara tiba-tiba pasukan siluman ular di depannya berubah menjadi sisik-sisik ular yang kemudian menempel di lengannya dan juga lengan Nilasari. “Kenapa sisik-si
Ukuran tubuh Wintara dan Nilasari dalam wujud siluman bertambah besar dua kali lipat dari bentuk semula. Ekor mereka berubah menjadi palu godam berukuran besar. Di sisi lain, sisik ular mereka bertambah keras di mana tubuh bagian atas mereka diselimuti api merah dari kepala hingga ekor. Di saat yang sama, taring besar muncul dari mulut keduanya. Bangunan warga yang terbuat dari bambu, kayu dan rumput kering seketika terbakar saking panasnya pancaran yang dikirimkan Wintara dan Nilasari. Para pendekar segera bangkit dan menjauh dari kedua siluman itu, menatap penuh ketidakpercayaan dan ketakutan. “Dua siluman ular itu ... mungkinkah Wintara dan Nilasari?” tanya salah satu pendekar yang kemudian jatuh terduduk, menunjuk dengan tangan bergetar. “Tapi bentuk tubuh siluman mereka sudah jauh berbeda dibandingkan saat berada di Jaya Tonggoh,” ujar pendekar lain yang tanpa sadar mundur perlahan. Pemimpin pendekar di perkampungan itu menoleh pada pendekar di sampingnya satu per satu. Ia bis
Kelima pendekar itu tiba-tiba menjerit ketika sisik ular yang dilemparkan Nilasari memasuki tubuh mereka. Mereka berguling-guling di tanah dengan wajah yang mulai memerah seperti kehabisan napas. Para warga yang melihatnya hanya bisa bergerak mundur dengan tatapan penuh ketakutan, sedang di saat yang sama Wintara dan Nilasari justru tersenyum.Sekujur tubuh kelima pendekar itu mendadak berubah menjadi merah kehitaman dan tak lama setelahnya berubah kaku. Nilasari mengamati kelima pendekar itu dengan tatapan tajam, menunggu selama beberapa waktu dengan perasaan tak menentu.“Apa yang kau tunggu, Nilasari?” tanya Wintara, “kelima pendekar itu sebentar lagi mati. Tubuh mereka bahkan sudah tidak bergerak lagi. Dibandingkan menunggu, sebaiknya kita segera mengisap kekuatan mereka.”Wintara maju selangkah, tetapi langsung dihalangi Nilasari.“Aku mohon tunggu sesaat lagi, Kakang.” Nilasari berbicara tanpa mengalihkan tatapan dari kelima pendekar yang sudah berkalang tanah. Gadis itu mengepa
Keenam pendekar siluman ular itu mengangguk serempak, mengentak kaki kuat-kuat, kemudian melesat cepat menuju hutan. Hanya dalam waktu cukup singkat, mereka berhasil menemukan ketiga pendekar itu.“Gawat! Kita sudah terkejar!” ujar seorang pendekar dengan tatapan tertuju ke belakang. “Pemimpin kita juga sudah berubah menjadi siluman ular.”“Kau!” tunjuk seorang pendekar yang berada paling belakang pada pendekar yang berada di depan, “bergegaslah melarikan diri. Kami berdua akan menahan mereka selama mungkin. Kau harus segera melaporkan kejadian ini pada tempat penjagaan terdekat. Kau harus memastikan jika kabar ini bisa mereka terima dengan baik.”“Ba-baiklah!” Pendekar berusia paling muda itu mengangguk setuju, mempercepat gerakannya, memilih jalur kiri untuk sampai ke tempat penjagaan. Napasnya mulai terengah-engah di mana rasa sakit di tubuhnya kembali terasa. Ia melirik ke belakang sekilas dan dengan hati yang berat terus menerobos hutan.Kedua pendekar itu tiba-tiba berhenti, men
Tarusbawa tercengang saat melihat warga yang sudah diselimuti lendir hitam berbau busuk. Salah satu anggota pendekar Sayap Putih itu bisa merasakan samar-samar hawa keberadaan Wintara, Nilasari dan pasukan siluman ularnya di tempat ini. Akan tetapi, ia kesulitan untuk bisa menemukan ke mana perginya mereka.“Kalau saja aku bisa datang lebih cepat, tentu aku bisa menyelamatkan orang-orang ini.” Tarusbawa kembali mengamati para korban yang berada di sekelilingnya. Giginya bergemelatuk saat melihat anak-anak dan bayi ikut menjadi korban. “Mereka bahkan tidak segan-segan untuk menjadikan bayi dan anak-anak sebagai korban.”“Menurut keterangan salah pendekar yang aku temui, Wintara dan Nilasari memiliki kemampuan untuk mengubah para pendekar menjadi siluman ular hanya dengan melemparkan sisik ular mereka pada para pendekar. Pendekar yang sudah menjadi siluman ular tidak bisa mengendalikan diri mereka.”“Kemampuan itu sama sekali tidak pernah mereka tunjukkan sebelumnya atau bahkan aku liha