Keenam pendekar siluman ular itu mengangguk serempak, mengentak kaki kuat-kuat, kemudian melesat cepat menuju hutan. Hanya dalam waktu cukup singkat, mereka berhasil menemukan ketiga pendekar itu.“Gawat! Kita sudah terkejar!” ujar seorang pendekar dengan tatapan tertuju ke belakang. “Pemimpin kita juga sudah berubah menjadi siluman ular.”“Kau!” tunjuk seorang pendekar yang berada paling belakang pada pendekar yang berada di depan, “bergegaslah melarikan diri. Kami berdua akan menahan mereka selama mungkin. Kau harus segera melaporkan kejadian ini pada tempat penjagaan terdekat. Kau harus memastikan jika kabar ini bisa mereka terima dengan baik.”“Ba-baiklah!” Pendekar berusia paling muda itu mengangguk setuju, mempercepat gerakannya, memilih jalur kiri untuk sampai ke tempat penjagaan. Napasnya mulai terengah-engah di mana rasa sakit di tubuhnya kembali terasa. Ia melirik ke belakang sekilas dan dengan hati yang berat terus menerobos hutan.Kedua pendekar itu tiba-tiba berhenti, men
Tarusbawa tercengang saat melihat warga yang sudah diselimuti lendir hitam berbau busuk. Salah satu anggota pendekar Sayap Putih itu bisa merasakan samar-samar hawa keberadaan Wintara, Nilasari dan pasukan siluman ularnya di tempat ini. Akan tetapi, ia kesulitan untuk bisa menemukan ke mana perginya mereka.“Kalau saja aku bisa datang lebih cepat, tentu aku bisa menyelamatkan orang-orang ini.” Tarusbawa kembali mengamati para korban yang berada di sekelilingnya. Giginya bergemelatuk saat melihat anak-anak dan bayi ikut menjadi korban. “Mereka bahkan tidak segan-segan untuk menjadikan bayi dan anak-anak sebagai korban.”“Menurut keterangan salah pendekar yang aku temui, Wintara dan Nilasari memiliki kemampuan untuk mengubah para pendekar menjadi siluman ular hanya dengan melemparkan sisik ular mereka pada para pendekar. Pendekar yang sudah menjadi siluman ular tidak bisa mengendalikan diri mereka.”“Kemampuan itu sama sekali tidak pernah mereka tunjukkan sebelumnya atau bahkan aku liha
“Menurut kabar yang beredar, pendekar golongan putih akan berkumpul di Jaya Tonggoh esok hari. Kemungkinan besar Tarusbawa akan muncul dalam perkumpulan seperti waktu perkumpulan pertama digelar. Di sisi lain, Wintara dan Nilasari juga memiliki kemungkinan untuk kembali mengacau di sana. Kita akan pergi ke Jaya Tonggoh untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi di sana.”“Jaya Tonggoh? Bukankah tempat itu adalah tempat di mana Raka memperoleh petunjuk untuk mengembalikan keadaanku dan Danuseka?” Wira memastikan. “Tapi tempat itu sangat jauh sekali dari tempat kita saat ini, Raka.”Wira menunduk sesaat, menoleh ke arah gua. “Jika kita pergi, lalu bagaimana dengan pengejaran yang kita lakukan sekarang? Kita tidak mungkin membiarkan Ganawirya dan murid-murid padepokan melarikan diri begitu saja setelah kita tahu mereka berada di kawasan ini. Bagaimanapun juga mereka pasti mengetahui di mana keberadaan Lingga dan Limbur Kancana saat ini, Raka.”“Kau tenang saja, Wira.” Kartasura menoleh
Empat pendekar yang sejak tadi mengintip Kartasura, Wira, Danuseka dan pasukan pendekar golongan hitam dari empat tempat berbeda bergegas meninggalkan tempat semula, berlari menuju jalan setapak, lalu bertemu di sebuah lorong panjang. Keempat pendekar itu berbincang mengenai apa yang dilihat dan didengarnya dari Kartasura, Wira dan Danuseka. Beruntung mereka menggunakan sebuah ramuan khusus yang mampu menghilangkan hawa keberadaan dan bau mereka sehingga tidak bisa diketahui musuh.Keempat pendekar yang tidak lain adalah Indra, Meswara, Jaka dan Arya berlari menuruni tangga berbatu, kembali melewati lorong panjang dan berkelok-kelok hingga akhirnya tiba di sebuah tempat lapang dengan sebuah kolam kecil yang berada di ujung kanan. Sinar rembulan cukup untuk menerangi keberaan Ganawirya dan para murid padepokan. “Guru,” ujar Indra seraya mendekati Ganawirya yang tengah duduk bersila di atas sebuah batu. Meswara, Jaka dan Arya mengikutinya dari belakang.Ganawirya membuka mata, berdiri
Perjalanan yang ditempuh para murid padepokan cukup panjang dan memakan waktu tidak sebentar. Mereka harus bertarung dengan rasa letih, kantuk dan ketakutan di saat bersamaan. Sesekali terasa getaran kuat yang menjalar ke dinding, atap dan tanah gua. Meski begitu, perjalanan tetap dilanjutkan hingga mereka tiba di sebuah tempat yang cukup lapang.“Kita akan beristirahat sebentar di sini,” ujar Indra pada para murid, “jebakan yang sudah kita buat di sepanjang jalan akan menjadi hambatan yang akan menyita waktu musuh. Gunakan waktu ini untuk memulihkan diri dan persiapan untuk melanjutkan perjalanan.”Para murid segera menyebar ke sekeliling tempat, menyeka keringat yang sudah menyelimuti hampir seluruh tubuh. Wajah letih mereka tampak kentara. Meski begitu mereka seakan dipaksa untuk tetap terjaga dan waspada.“Indra, Meswara, Jaka, Arya, ikuti aku,” perintah Ganawirya seraya berjalan memasuki sebuah ruangan. Ia mengintip beberapa murid yang tengah melihat kepergiannya. Keempat pendeka
Para pendekar dan para tabib berhasil memasuki wilayah Jaya Tonggoh saat waktu akan menyentuh pagi. Kentungan ditabuh keras-keras sehingga membangunkan warga lebih awal dari biasanya. Beberapa pendekar tampak memacu kuda lebih cepat melewati bangunan-bangunan warga, menimbulkan suara yang saling sahut-menyahut dengan kokok ayam hutan.Dari kejauhan, kerumunan para pendekar dan tabib tampak beriringan, memanjang seperti tengah merayakan sebuah perayaan. Para warga bergegas keluar rumah, menunggu di sisi jalan. Mereka saling berbisik-bisik ketika melihat rombongan pendekar dan tabib mulai memasuki perkampungan Jaya Tonggoh.Para pendekar yang bertugas mengamankan perjalanan para pendekar dan para tabib dari wilayah tengah bergegas memberikan kabar menyeluruh mengenai kejadian yang terjadi semalam pada pendekar yang berada di bangunan utama. Kabar tersebut terus disampaikan hingga sampai ke telinga Wirayuda.“Kita akan segera membahas hal ini dengan para petinggi golongan putih dalam per
“Memangnya apa yang sudah terjadi, Paman?” Lingga langsung menghadap Limbur Kancana, mulai menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya. Pikirannya menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pasukan-pasukan itu adalah pasukan anggota Cakar Setan yang bergerak ke Jaya Tonggoh untuk mencari keberadaannya.“Paman.” Lingga menatap Limbur Kancana lekat-lekat. Saat baru menoleh ke arah Jaya Tonggoh, tiba-tiba saja tubuhnya terdorong ke depan, hampir memasuki sebuah lubang putih yang mendadak muncul di depannya. “Lubang ini … mungkinkah ….”“Paman ….” Lingga menahan tubuhnya sekuat tenaga dengan mencengkeram tangan dan mengaitkan kaki di pinggiran lubang putih.Limbur Kancana tanpa ampun menendang bokong Lingga hingga pemuda itu memasuki lubang putih yang akan mengantarnya ke alam lain.“Paman!” teriak Lingga saat tubuhnya melesat cepat memasuki lubang putih.“Jangan pernah kembali sebelum aku memberikanmu tanda untuk kembali, Lingga!” Limbur Kancana segera menghimpun kekuatan untuk kembali pintu
Limbur Kancana segera menutup pembicaraan ketika melihat bayangan Sekar Sari. “Apa yang kau lakukan di sana, Sekar Sari?”“Ti-tidak ada, Kakang Guru.” Sekar Sari buru-buru mendekat.“Mendekatlah, kita akan segera pergi ke Jaya Tonggoh.”Limbur Kancana dan Sekar Sari segera bertukar tempat dengan seorang tiruan yang sudah berada di dalam Jaya Tonggoh. Keduanya muncul di sebuah jalan sempit di antara bangunan kayu milik warga. Dari celah yang ada, mereka bisa melihat para pendekar yang berlalu lalang di jalan.“Pergilah menuju para tabib berada bersama satu orang tiruanku.” Limbur Kancana seketika membuat seorang tiruan. Hal itu membuat jalan menjadi semakin sempit“Kakang Guru, bagaimana jika tiruan Kakang Guru yang bersamaku menghilang?” Sekar Sari bertanya dengan nada cemas, berusaha melemaskan tubuh agar bisa bergerak cukup bebas.“Aku akan membuat beberapa tiruan yang akan tersebar ke seluruh wilayah Jaya Tonggoh. Jika tiruanku yang bersamamu menghilang, kau hanya tinggal mencari t
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me