Perjalanan yang ditempuh para murid padepokan cukup panjang dan memakan waktu tidak sebentar. Mereka harus bertarung dengan rasa letih, kantuk dan ketakutan di saat bersamaan. Sesekali terasa getaran kuat yang menjalar ke dinding, atap dan tanah gua. Meski begitu, perjalanan tetap dilanjutkan hingga mereka tiba di sebuah tempat yang cukup lapang.“Kita akan beristirahat sebentar di sini,” ujar Indra pada para murid, “jebakan yang sudah kita buat di sepanjang jalan akan menjadi hambatan yang akan menyita waktu musuh. Gunakan waktu ini untuk memulihkan diri dan persiapan untuk melanjutkan perjalanan.”Para murid segera menyebar ke sekeliling tempat, menyeka keringat yang sudah menyelimuti hampir seluruh tubuh. Wajah letih mereka tampak kentara. Meski begitu mereka seakan dipaksa untuk tetap terjaga dan waspada.“Indra, Meswara, Jaka, Arya, ikuti aku,” perintah Ganawirya seraya berjalan memasuki sebuah ruangan. Ia mengintip beberapa murid yang tengah melihat kepergiannya. Keempat pendeka
Para pendekar dan para tabib berhasil memasuki wilayah Jaya Tonggoh saat waktu akan menyentuh pagi. Kentungan ditabuh keras-keras sehingga membangunkan warga lebih awal dari biasanya. Beberapa pendekar tampak memacu kuda lebih cepat melewati bangunan-bangunan warga, menimbulkan suara yang saling sahut-menyahut dengan kokok ayam hutan.Dari kejauhan, kerumunan para pendekar dan tabib tampak beriringan, memanjang seperti tengah merayakan sebuah perayaan. Para warga bergegas keluar rumah, menunggu di sisi jalan. Mereka saling berbisik-bisik ketika melihat rombongan pendekar dan tabib mulai memasuki perkampungan Jaya Tonggoh.Para pendekar yang bertugas mengamankan perjalanan para pendekar dan para tabib dari wilayah tengah bergegas memberikan kabar menyeluruh mengenai kejadian yang terjadi semalam pada pendekar yang berada di bangunan utama. Kabar tersebut terus disampaikan hingga sampai ke telinga Wirayuda.“Kita akan segera membahas hal ini dengan para petinggi golongan putih dalam per
“Memangnya apa yang sudah terjadi, Paman?” Lingga langsung menghadap Limbur Kancana, mulai menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya. Pikirannya menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pasukan-pasukan itu adalah pasukan anggota Cakar Setan yang bergerak ke Jaya Tonggoh untuk mencari keberadaannya.“Paman.” Lingga menatap Limbur Kancana lekat-lekat. Saat baru menoleh ke arah Jaya Tonggoh, tiba-tiba saja tubuhnya terdorong ke depan, hampir memasuki sebuah lubang putih yang mendadak muncul di depannya. “Lubang ini … mungkinkah ….”“Paman ….” Lingga menahan tubuhnya sekuat tenaga dengan mencengkeram tangan dan mengaitkan kaki di pinggiran lubang putih.Limbur Kancana tanpa ampun menendang bokong Lingga hingga pemuda itu memasuki lubang putih yang akan mengantarnya ke alam lain.“Paman!” teriak Lingga saat tubuhnya melesat cepat memasuki lubang putih.“Jangan pernah kembali sebelum aku memberikanmu tanda untuk kembali, Lingga!” Limbur Kancana segera menghimpun kekuatan untuk kembali pintu
Limbur Kancana segera menutup pembicaraan ketika melihat bayangan Sekar Sari. “Apa yang kau lakukan di sana, Sekar Sari?”“Ti-tidak ada, Kakang Guru.” Sekar Sari buru-buru mendekat.“Mendekatlah, kita akan segera pergi ke Jaya Tonggoh.”Limbur Kancana dan Sekar Sari segera bertukar tempat dengan seorang tiruan yang sudah berada di dalam Jaya Tonggoh. Keduanya muncul di sebuah jalan sempit di antara bangunan kayu milik warga. Dari celah yang ada, mereka bisa melihat para pendekar yang berlalu lalang di jalan.“Pergilah menuju para tabib berada bersama satu orang tiruanku.” Limbur Kancana seketika membuat seorang tiruan. Hal itu membuat jalan menjadi semakin sempit“Kakang Guru, bagaimana jika tiruan Kakang Guru yang bersamaku menghilang?” Sekar Sari bertanya dengan nada cemas, berusaha melemaskan tubuh agar bisa bergerak cukup bebas.“Aku akan membuat beberapa tiruan yang akan tersebar ke seluruh wilayah Jaya Tonggoh. Jika tiruanku yang bersamamu menghilang, kau hanya tinggal mencari t
Sekar Sari berbalik, mau tak mau bergabung dengan para tabib yang semakin banyak berkerumun. Gadis itu berada di deretan belakang, sedikit berjinjit, mengawasi keadaan di depan. Kebanyakan para tabib dari wilayah tengah juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama.Salah satu tabib dari wilayah tengah kembali berbicara, “Di tengah perjalan, para pendekar kembali diserang oleh seorang siluman ular yang sangat tangguh. Siluman ular itu juga meracuni para pendekar dengan racun kalong setan. Untungnya Pendekar Hitam muncul dan berhasil mengalahkan siluman ular itu dan mengobati para pendekar sebelum racun itu menyebar. Siluman ular itu ditengarai adalah siluman ular bawahan Wintara dan Nilasari yang pernah menyerang salah satu perkampungan beberapa waktu lalu.”“Pendekar Hitam? Penawar Racun Kalong Setan?” Sekar Sari tertegun sesaat, segera keluar dari kerumunan para tabib, menjauh dari kumpulan. “Bukankah semalam Kakang Guru berada di dalam gua? Aku masih ingat jika dia mengatakan bahwa par
Meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab oleh Malawati, Tarusbawa saat ini tengah berada di puncak pohon bersama satu tiruan Limbur Kancana. Pendekar itu mengenakan busana serba hitam yang menutupi seluruh tubuh, kecuali bagian mata saja, begitupun dengan tiruan Limbur Kancana. Berjarak cukup jauh darinya, Tarusbawa melihat satu rombongan pasukan tengah bergerak ke arah Jaya Tonggoh.“Mereka pastilah pasukan pendekar golongan hitam yang akan mengacau di Jaya Tonggoh.” Tarusbawa bergerak senyap mendekati pasukan itu. Dari tempatnya saat ini, ia bisa merasakan ilmu kanuragan milik seseorang yang cukup kuat.Tarusbawa memindai satu per satu pendekar dengan cepat. Tatapannya tiba-tiba berhenti pada seorang pendekar berikat kepala kuning yang tengah berada di atas tandu yang dibawa oleh beberapa pendekar. Tarusbawa segera menghimpun kekuatan di kedua tangan, lantas menggerakkan tangan ke atas secara serempak.“Pendekar yang sedang memegang tongkat berkepala ular itu pastilah Argaseni, s
Tarusbawa dan tiruan Limbur Kancana kembali muncul di sebuah puncak pohon. Keduanya bisa melihat sebuah rombongan pendekar yang berjalan di sebuah tanah lapang menuju wilayah Jaya Tonggoh. Iringan-iringan mereka tak sebanyak iring-iringan Argaseni.Tarusbawa menyapu pandang ke setiap pendekar. “Mereka hanyalah kumpulan pendekar golongan hitam biasa. Lalu di mana pemimpin mereka?”Tarusbawa mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Begitu merasakan embusan angin yang tidak biasa dari arah belakang, ia dengan cepat mendorong tiruan Limbur Kancana ke dalam rerimbunan pohon, lantas berbalik untuk menahan sebuah serangan.“Kapak merah.” Tarusbawa berhasil menendang kapak merah itu hingga kembali terbang ke arah sebaliknya. Ia bergegas memasuki rerimbunan pohon, memberi tanda pada tiruan Limbur Kancana untuk bersembunyi.Tiruan Limbur Kancana segera memasuki pohon sesuai tanda yang diberikan. Tak lama setelahnya, Tarusbawa bergerak senyap di dahan-dahan pohon, mendekati pasukan pendekar
“Aku pasti akan membunuh siapa pun yang berani melakukan ini padaku!” Brajawesi segera melayangkan kapak merahnya ke arah kedua rantai putih itu. Kedua senjata itu kembali berbenturan hingga mencipta angin kuat yang berembus ke sekeliling. Para pendekar yang terikat rantai dibuat terombang-ambing ke kiri dan kanan.Brajawesi mengepal tangannya kuat-kuat. Kapak merahnya mendadak menyerat dua rantai itu ke arahnya sehingga kuncian rantai pada para pasukannya mengendur. Ia segera melesat cepat ke arah pasukannya yang masih terkunci rantai, kemudian menghimpun kekuatan hingga tanduknya mendadak membesar.Tarusbawa yang menyadari hal itu segera menghilangkan kedua rantainya. Ia kemudian mengentak kedua tangan ke atas, lantas melesatkannya kembali ke bawah dengan cepat.Brajawesi terkejut ketika rantai itu tiba-tiba menghilang di tengah kepalanya yang sudah berada sangat dekat dengan pasukannya yang terkurung barusan. Karena tak mampu menghindar, pasukannya seketika terpental ke belakang d