Meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab oleh Malawati, Tarusbawa saat ini tengah berada di puncak pohon bersama satu tiruan Limbur Kancana. Pendekar itu mengenakan busana serba hitam yang menutupi seluruh tubuh, kecuali bagian mata saja, begitupun dengan tiruan Limbur Kancana. Berjarak cukup jauh darinya, Tarusbawa melihat satu rombongan pasukan tengah bergerak ke arah Jaya Tonggoh.“Mereka pastilah pasukan pendekar golongan hitam yang akan mengacau di Jaya Tonggoh.” Tarusbawa bergerak senyap mendekati pasukan itu. Dari tempatnya saat ini, ia bisa merasakan ilmu kanuragan milik seseorang yang cukup kuat.Tarusbawa memindai satu per satu pendekar dengan cepat. Tatapannya tiba-tiba berhenti pada seorang pendekar berikat kepala kuning yang tengah berada di atas tandu yang dibawa oleh beberapa pendekar. Tarusbawa segera menghimpun kekuatan di kedua tangan, lantas menggerakkan tangan ke atas secara serempak.“Pendekar yang sedang memegang tongkat berkepala ular itu pastilah Argaseni, s
Tarusbawa dan tiruan Limbur Kancana kembali muncul di sebuah puncak pohon. Keduanya bisa melihat sebuah rombongan pendekar yang berjalan di sebuah tanah lapang menuju wilayah Jaya Tonggoh. Iringan-iringan mereka tak sebanyak iring-iringan Argaseni.Tarusbawa menyapu pandang ke setiap pendekar. “Mereka hanyalah kumpulan pendekar golongan hitam biasa. Lalu di mana pemimpin mereka?”Tarusbawa mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Begitu merasakan embusan angin yang tidak biasa dari arah belakang, ia dengan cepat mendorong tiruan Limbur Kancana ke dalam rerimbunan pohon, lantas berbalik untuk menahan sebuah serangan.“Kapak merah.” Tarusbawa berhasil menendang kapak merah itu hingga kembali terbang ke arah sebaliknya. Ia bergegas memasuki rerimbunan pohon, memberi tanda pada tiruan Limbur Kancana untuk bersembunyi.Tiruan Limbur Kancana segera memasuki pohon sesuai tanda yang diberikan. Tak lama setelahnya, Tarusbawa bergerak senyap di dahan-dahan pohon, mendekati pasukan pendekar
“Aku pasti akan membunuh siapa pun yang berani melakukan ini padaku!” Brajawesi segera melayangkan kapak merahnya ke arah kedua rantai putih itu. Kedua senjata itu kembali berbenturan hingga mencipta angin kuat yang berembus ke sekeliling. Para pendekar yang terikat rantai dibuat terombang-ambing ke kiri dan kanan.Brajawesi mengepal tangannya kuat-kuat. Kapak merahnya mendadak menyerat dua rantai itu ke arahnya sehingga kuncian rantai pada para pasukannya mengendur. Ia segera melesat cepat ke arah pasukannya yang masih terkunci rantai, kemudian menghimpun kekuatan hingga tanduknya mendadak membesar.Tarusbawa yang menyadari hal itu segera menghilangkan kedua rantainya. Ia kemudian mengentak kedua tangan ke atas, lantas melesatkannya kembali ke bawah dengan cepat.Brajawesi terkejut ketika rantai itu tiba-tiba menghilang di tengah kepalanya yang sudah berada sangat dekat dengan pasukannya yang terkurung barusan. Karena tak mampu menghindar, pasukannya seketika terpental ke belakang d
Tarusbawa melompat ke puncak pohon yang berhadapan langsung dengan Wulung yang tengah tersenyum angkuh padanya. Ia memperhatikan pendekar bekulit hitam legam itu lekat-lekat, menjentikkan jari di belakang punggung.“Dia pastilah pendekar yang bernama Wulung,” gumam Tarusbawa dengan tatapan menyelidik, “anggota Cakar Setan yang paling kuat di antara yang lain.”Wulung terkekeh seraya mengayun-ayunkan tali cambuknya. “Aku tidak pernah menyangka jika kau akan muncul dengan sendirinya di hadapanku setelah selama bertahun-tahun lamanya aku mencarimu, Tarusbawa. Ini pastilah hari keberuntunganku. Apakah kau bersiap untuk mati?”Wulung tersenyum bengis, menatap penuh selidik. “Wajahmu sepertinya sangat buruk hingga kau tidak ingin seorang pun melihatnya. Tapi itu bukan masalah bagiku. Hal yang terpenting bagiku saat ini adalah kepalamu.”Tarusbawa melesatkan tombak perak ke arah pasukan Wulung dengan gerakan senyap.Wulung berdecak, memelotot tajam karena merasa diabaikan. “Aku pastikan aku
Tali pecut Wulung berhasil mengikat tombak perak Tarusbawa seutuhnya, lalu bergerak cepat ke tangan Tarsubawa.“Kena kau, Tarusbawa!” Wulung terkekeh saat mendarat di salah satu puncak pohon, lantas dengan entakkan kaki kuat kembali melesat ke arah Tarusbawa seraya mengalirkan kekuatannya pada tali pecutnya. “Bersiaplah untuk—”Wulung tercengang ketika Tarusbawa mendadak menghilang, dan tak lama setelahnya tombak peraknya ikut lenyap. Wulung terkekeh setelahnya, terlebih ketika tali pecutnya kembali bergerak ke suatu arah. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat sekelebat bayangan bergerak di antara rimbunnya dedaunan.Wulung kembali menarik dirinya untuk mengikuti tali pecut yang terus bergerak mengejar Tarusbawa. Dalam waktu singkat ia sudah berada di dekat salah satu pendekar Sayap Putih itu. Kedua kakinya mengentak dahan pohon dengan kuat hingga patah, lalu melesat dengan satu tangan yang mendadak membesar.Wulung memberi pukulan jarak jauh ke arah Tarusbawa, disusul dengan tali
Tarusbawa melompat jauh seraya memutar tubuh ke belakang. Ia merasakan getaran dahsyat dan sapuan angin kencang yang menyebar dari tempat batu besar itu menimpa Wulung, disusul suara dentuman keras. “Masih ada dua orang lagi yang harus aku hambat pergerakannya saat ini.”Tarusbawa menoleh singkat pada tiruan Limbur Kancana yang mendekat ke arahnya. Ketika mendaratkan tangan pada tiruan itu, ia sudah berada di tempat yang berbeda. Keduanya kembali muncul di sebuah hutan yang di sisi kirinya terdapat sebuah sungai yang membentang panjang, memisahkan dua kumpulan pepohonan.Tarusbawa mengamati keadaan sekeliling dengan saksama. “Aku sama sekali tidak merasakan kehadiran seorang pendekar pun di tempat ini.”Tarusbawa melompat ke sisi sungai, membuka kain yang menutup hampir semua bagian wajah, kemudian mengamati pantulan dirinya di air yang mengalir tenang. Ia kembali mengawasi keadaan sekeliling seraya menajamkan seluruh indranya. Akan tetapi, masih tidak ada tanda-tanda keberadaan pasuk
Tarusbawa segera menyamakan langkah kaki, berlari bersisian dengan tiruan Limbur Kancana. Ia kembali mengawasi keadaan sekeliling, menatap tajam ke depan. Hawa keberadaan dua pendekar yang sempat dirinya rasakan semakin kuat dari waktu ke waktu.Tarusbawa dan tiruan Limbur Kancana melompati satu per satu dahan pohon hingga akhirnya keluar dari kungkungan pepohonan saat menerobos cahaya putih. Keduanya tiba di tanah lapang di mana tak jauh dari sana berdiri sebuah gua dengan lubang yang cukup kecil. Di atas gua tersebut tumbuh sebuah pohon besar dengan alas rerumputan hijau dan akar-akar besar yang menjuntai hingga ke mulut gua.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba mendekat ke arah mulut gua, terpejam dengan kedua tangan menyatu di depan dada. Sementara itu, Tarusbawa kembali menemukan patahan pedang, busur panah dan tombak yang berserakan di sekeliling. Selain itu, keadaan tanah tampak berlubang dan retak di beberapa tempat.“Apakah di tempat ini pernah terjadi pertarungan sebelumnya?” tan
Tarusbawa tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Pendekar itu lebih dahulu memperhatikan Indra dan Arya bergantian, lalu memusatkan perhatian pada gerakan tangan yang kedua pendekar muda itu saling berikan. “Aku adalah Tarusbawa, sahabat Limbur Kancana,” ujar Tarusbawa. Anggukan dan gerak-gerik dari tiga tiruan Limbur Kancana membuatnya yakin untuk memperkenal diri pada kedua pendekar muda di depannya, terlebih kedua pendekar itu mengetahui siapa pemilik ketiga tiruan yang berada di dekatnya.Indra dan Arya sontak terhenyak saat mendengar nama itu disebut. Keduanya kembali mengamati Tarusbawa dari atas hingga bawah, saling melirik satu sama lain, kemudian mundur beberapa langkah. Mereka menoleh pada tiruan Limbur Kancana untuk mencari jawaban. Namun, meski ketiga tiruan itu memberi anggukan, Indra dan Arya tidak lantas langsung percaya.“Kalian berdua tampaknya mengetahui sesuatu mengenai pendekar yang bernama Tarusbawa yang tidak lain adalah aku sendiri.” Tarusbawa berjalan me