Tali pecut Wulung berhasil mengikat tombak perak Tarusbawa seutuhnya, lalu bergerak cepat ke tangan Tarsubawa.“Kena kau, Tarusbawa!” Wulung terkekeh saat mendarat di salah satu puncak pohon, lantas dengan entakkan kaki kuat kembali melesat ke arah Tarusbawa seraya mengalirkan kekuatannya pada tali pecutnya. “Bersiaplah untuk—”Wulung tercengang ketika Tarusbawa mendadak menghilang, dan tak lama setelahnya tombak peraknya ikut lenyap. Wulung terkekeh setelahnya, terlebih ketika tali pecutnya kembali bergerak ke suatu arah. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat sekelebat bayangan bergerak di antara rimbunnya dedaunan.Wulung kembali menarik dirinya untuk mengikuti tali pecut yang terus bergerak mengejar Tarusbawa. Dalam waktu singkat ia sudah berada di dekat salah satu pendekar Sayap Putih itu. Kedua kakinya mengentak dahan pohon dengan kuat hingga patah, lalu melesat dengan satu tangan yang mendadak membesar.Wulung memberi pukulan jarak jauh ke arah Tarusbawa, disusul dengan tali
Tarusbawa melompat jauh seraya memutar tubuh ke belakang. Ia merasakan getaran dahsyat dan sapuan angin kencang yang menyebar dari tempat batu besar itu menimpa Wulung, disusul suara dentuman keras. “Masih ada dua orang lagi yang harus aku hambat pergerakannya saat ini.”Tarusbawa menoleh singkat pada tiruan Limbur Kancana yang mendekat ke arahnya. Ketika mendaratkan tangan pada tiruan itu, ia sudah berada di tempat yang berbeda. Keduanya kembali muncul di sebuah hutan yang di sisi kirinya terdapat sebuah sungai yang membentang panjang, memisahkan dua kumpulan pepohonan.Tarusbawa mengamati keadaan sekeliling dengan saksama. “Aku sama sekali tidak merasakan kehadiran seorang pendekar pun di tempat ini.”Tarusbawa melompat ke sisi sungai, membuka kain yang menutup hampir semua bagian wajah, kemudian mengamati pantulan dirinya di air yang mengalir tenang. Ia kembali mengawasi keadaan sekeliling seraya menajamkan seluruh indranya. Akan tetapi, masih tidak ada tanda-tanda keberadaan pasuk
Tarusbawa segera menyamakan langkah kaki, berlari bersisian dengan tiruan Limbur Kancana. Ia kembali mengawasi keadaan sekeliling, menatap tajam ke depan. Hawa keberadaan dua pendekar yang sempat dirinya rasakan semakin kuat dari waktu ke waktu.Tarusbawa dan tiruan Limbur Kancana melompati satu per satu dahan pohon hingga akhirnya keluar dari kungkungan pepohonan saat menerobos cahaya putih. Keduanya tiba di tanah lapang di mana tak jauh dari sana berdiri sebuah gua dengan lubang yang cukup kecil. Di atas gua tersebut tumbuh sebuah pohon besar dengan alas rerumputan hijau dan akar-akar besar yang menjuntai hingga ke mulut gua.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba mendekat ke arah mulut gua, terpejam dengan kedua tangan menyatu di depan dada. Sementara itu, Tarusbawa kembali menemukan patahan pedang, busur panah dan tombak yang berserakan di sekeliling. Selain itu, keadaan tanah tampak berlubang dan retak di beberapa tempat.“Apakah di tempat ini pernah terjadi pertarungan sebelumnya?” tan
Tarusbawa tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Pendekar itu lebih dahulu memperhatikan Indra dan Arya bergantian, lalu memusatkan perhatian pada gerakan tangan yang kedua pendekar muda itu saling berikan. “Aku adalah Tarusbawa, sahabat Limbur Kancana,” ujar Tarusbawa. Anggukan dan gerak-gerik dari tiga tiruan Limbur Kancana membuatnya yakin untuk memperkenal diri pada kedua pendekar muda di depannya, terlebih kedua pendekar itu mengetahui siapa pemilik ketiga tiruan yang berada di dekatnya.Indra dan Arya sontak terhenyak saat mendengar nama itu disebut. Keduanya kembali mengamati Tarusbawa dari atas hingga bawah, saling melirik satu sama lain, kemudian mundur beberapa langkah. Mereka menoleh pada tiruan Limbur Kancana untuk mencari jawaban. Namun, meski ketiga tiruan itu memberi anggukan, Indra dan Arya tidak lantas langsung percaya.“Kalian berdua tampaknya mengetahui sesuatu mengenai pendekar yang bernama Tarusbawa yang tidak lain adalah aku sendiri.” Tarusbawa berjalan me
“Saat kami meninggalkan tempat persembunyian kami tadi malam, Guru Ganawirya dan rekan-rekan kami masih bertahan di tempat persembunyian terakhir, Tuan Guru,” jawab Indra.“Apa itu berarti Kartasura berada di tempat itu?” Tarusbawa bertanya dengan nada dingin.“Kartasura dan adiknya yang bernama Wira sudah pergi ke Jaya Tonggoh dari semalam, Tuan Guru. Akan tetapi, mereka mengerahkan pasukannya untuk tetap melakukan penyerangan terhadap guru Ganawirya dan rekan-rekan kami. Sampai saat ini, kami belum mengetahui kabar mengenai mereka.”“Pergi ke Jaya Tonggoh?” Tarusbawa menoleh sesaat pada ketiga tiruan Limbur Kancana, kemudian kembali menatap Indra dan Arya yang tampak kelelahan. “Apa yang akan kalian lakukan setelah berhasil memberikan dua ramuan itu pada Limbur Kancana?”“Kami diperintahkan untuk membantu Kakang Guru selama kami berada di Jaya Tonggoh.” Giliran Arya yang berbicara.Salah satu tiruan Limbur Kancana tiba-tiba menengadahkan tangan ke arah Indra dan Arya. Mengerti maksu
Meswara dan Jaka terpaksa mundur ketika serangan mereka dapat dihadang oleh beberapa pasukan pendekar golongan hitam. Keduanya sudah sangat kelelahan karena hampir terjaga selama semalaman, terlebih mereka sempat terkena racun kalong setan dan bertarung dengan salah satu siluman meski masih bisa disembuhkan dengan penawarnya.Sementara itu, Ganawirya masih beradu kekuatan dengan Danuseka. Serangan keduanya saling berbenturan hingga menimbulkan getaran kuat di sekeliling gua. Kedua pendekar berbeda aliran itu dengan cepat saling merenggangkan jarak, mendarat di dinding gua. Tak lama setelahnya, kaki mereka mengentak dinding hampir bersamaan, lalu melesat ke titik yang sama.Akan tetapi, ketika jarak di antara mereka nyaris menghilang, dua rantai putih tiba-tiba muncul dan langsung menyekap Danuseka serta seluruh pasukan pendekar golongan hitam yang ada di dalam gua, termasuk yang sudah tumbang sekalipun. Ganawirya, Meswara dan Jaka terkejut ketika melihat hal itu, terlebih ketika me
Perundingan antara para petinggi golongan putih wilayah selatan, wilayah tengah dan wakil dari padepokan dari dua wilayah tersebut berjalan dengan lancar sampai sejauh ini. Dari atap pertemuan, Limbur Kancana masih mengikuti jalannya perundingan. Para petinggi golongan putih dari dua wilayah itu tengah membahas mengenai kesulitan jika menghadapi musuh yang memakai racun kalong selatan. Sesuai dugaannya, nama Ganawirya kembali disebut, begitupun dengan nama Pendekar Hitam yang sempat membantu para pendekar di suatu perkampungan tempo hari.Limbur Kancana menggenggam kendi berisi ramuan penawar racun kalong setan di samping pinggangnya. Ia kembali diselimuti kebimbangan antara memberikan sedikit dari ramuan itu pada para petinggi golongan putih untuk mereka pelajari dan perbanyak atau justru tetap menjaga ramuan penawar itu padanya. Sejujurnya, Limbur Kancana masih belum sepenuhnya yakin jika para petinggi itu mampu bekerja sama dalam masalah ini. Jika ia memberikan sedikit ramuan pena
“Rasa persatuan dari kita semua?” Galisaka tiba-tiba berdiri, menarik kerah baju Wirayuda dengan kuat. “Apa maksudmu, Wirayuda?”Jatiraga dan Ekawira bersiap menarik pedang mereka, begitupun dengan tiga petinggi golongan putih dari wilayah tengah dan para pendekar yang sudah bersiap dengan senjata masing-masing. Keadaan di dalam ruangan menjadi tegang untuk sementara waktu.Limbur Kancana berdecak ketika melihat hal itu terjadi. Meski begitu, ia masih berada di atap bangunan dengan tangan yang mulai menjauh dari kendi berisi ramuan penawar racun kalong setan. Ada gurat kekecewaan yang terlintas di wajahnya ketika mendapati keadaan pertemuan yang sudah mengarah pada kekacuan.Wirayuda mengembus napas panjang, sama sekali tidak terganggu dengan cengkeraman tangan Galisaki di kerah bajunya, padahal ia tahu jika beberapa bawahannya sudah bersiap untuk membela dan membantunya.“Hal inilah yang aku takutkan.” Wirayuda berkata dengan nada tenang. “Pendekar Hitam masih ragu untuk memberikan k