Meswara dan Jaka terpaksa mundur ketika serangan mereka dapat dihadang oleh beberapa pasukan pendekar golongan hitam. Keduanya sudah sangat kelelahan karena hampir terjaga selama semalaman, terlebih mereka sempat terkena racun kalong setan dan bertarung dengan salah satu siluman meski masih bisa disembuhkan dengan penawarnya.Sementara itu, Ganawirya masih beradu kekuatan dengan Danuseka. Serangan keduanya saling berbenturan hingga menimbulkan getaran kuat di sekeliling gua. Kedua pendekar berbeda aliran itu dengan cepat saling merenggangkan jarak, mendarat di dinding gua. Tak lama setelahnya, kaki mereka mengentak dinding hampir bersamaan, lalu melesat ke titik yang sama.Akan tetapi, ketika jarak di antara mereka nyaris menghilang, dua rantai putih tiba-tiba muncul dan langsung menyekap Danuseka serta seluruh pasukan pendekar golongan hitam yang ada di dalam gua, termasuk yang sudah tumbang sekalipun. Ganawirya, Meswara dan Jaka terkejut ketika melihat hal itu, terlebih ketika me
Perundingan antara para petinggi golongan putih wilayah selatan, wilayah tengah dan wakil dari padepokan dari dua wilayah tersebut berjalan dengan lancar sampai sejauh ini. Dari atap pertemuan, Limbur Kancana masih mengikuti jalannya perundingan. Para petinggi golongan putih dari dua wilayah itu tengah membahas mengenai kesulitan jika menghadapi musuh yang memakai racun kalong selatan. Sesuai dugaannya, nama Ganawirya kembali disebut, begitupun dengan nama Pendekar Hitam yang sempat membantu para pendekar di suatu perkampungan tempo hari.Limbur Kancana menggenggam kendi berisi ramuan penawar racun kalong setan di samping pinggangnya. Ia kembali diselimuti kebimbangan antara memberikan sedikit dari ramuan itu pada para petinggi golongan putih untuk mereka pelajari dan perbanyak atau justru tetap menjaga ramuan penawar itu padanya. Sejujurnya, Limbur Kancana masih belum sepenuhnya yakin jika para petinggi itu mampu bekerja sama dalam masalah ini. Jika ia memberikan sedikit ramuan pena
“Rasa persatuan dari kita semua?” Galisaka tiba-tiba berdiri, menarik kerah baju Wirayuda dengan kuat. “Apa maksudmu, Wirayuda?”Jatiraga dan Ekawira bersiap menarik pedang mereka, begitupun dengan tiga petinggi golongan putih dari wilayah tengah dan para pendekar yang sudah bersiap dengan senjata masing-masing. Keadaan di dalam ruangan menjadi tegang untuk sementara waktu.Limbur Kancana berdecak ketika melihat hal itu terjadi. Meski begitu, ia masih berada di atap bangunan dengan tangan yang mulai menjauh dari kendi berisi ramuan penawar racun kalong setan. Ada gurat kekecewaan yang terlintas di wajahnya ketika mendapati keadaan pertemuan yang sudah mengarah pada kekacuan.Wirayuda mengembus napas panjang, sama sekali tidak terganggu dengan cengkeraman tangan Galisaki di kerah bajunya, padahal ia tahu jika beberapa bawahannya sudah bersiap untuk membela dan membantunya.“Hal inilah yang aku takutkan.” Wirayuda berkata dengan nada tenang. “Pendekar Hitam masih ragu untuk memberikan k
Seisi ruangan perundingan mendadak riuh ketika melihat Wirayuda menyayat lehernya sendiri, terlebih saat darah terus memancur deras. Berbanding terbalik dengan para pendekar yang terkejut dan setengah berteriak, Wirayuda nyatanya tetap bersikap tenang dengan sorot mata tenang meski tak bisa dipungkiri jika lukanya memberikan rasa nyeri.“Apa sebenarnya tujuanmu, Wirayuda?” Galisaka mundur sebanyak dua langkah, menatap tajam Wirayuda yang masih saja tampak tenang di tengah darah yang mengalir deras. “Apa kau sudah benar-benar gila?”“Aku tidak akan tertipu oleh tipu muslihatmu!” tegas Jatiraga seraya mengarahkan pedangnya pada Wirayuda.“Hentikan tindakan bodohmu, Wirayuda!” Ekawira ikut berbicara, perlahan mendekat dengan tatapan mengunci pada Wirayuda. “Kau benar-benar membuatku sangat muak!”“Pertemuan ini benar-benar menjadi lebih menarik,” ujar Tapasena yang keluar dari kungkungan kursi, menatap dalam sorot mata Wirayuda, berusaha mencari kebohongan dan keraguan di sana. Ia mendad
Galisaka, Jatiraga dan Ekawira menerima pisau-pisau itu dengan tatapan tak percaya. Amarah ketiganya kembali meluap dan hampir saja meledak karena Wirayuda terus membuat keadaan mereka bertambah sulit. Galisaka, Jatiraga dan Ekawira tiba-tiba saja mengarahkan pedang pada leher Wirayuda secara bersamaan. Di luar dugaan, mereka sama sekali tidak melihat Wirayuda menjauh dari tempatnya selangkah pun atau berkedip pertanda terkejut. Suasana di dalam ruangan menjadi semakin tegang. Ketiga petinggi golongan putih dari wilayah tengah hanya diam menyaksikan peristiwa tersebut, termasuk para pendekar. Di atap bangunan, Limbur Kancana tak bisa menghilangkan senyum yang muncul sejak Wiyaruda menyayat lehernya. Kekecewaannya mendadak sirna dan si saat yang sama ia yakin untuk memberikan ramuan penawar racun kalong setan itu pada pendekar golongan putih. Ia hanya tinggal menunggu keputusan dari Galisaka, Jatiraga dan Ekawira. “Pedang ini akan menebas lehermu jika kau berani mengkhianatiku!” Gal
“Jadi kau adalah sosok Pendekar Hitam yang terkenal itu. Akhirnya aku bisa bertemu denganmu,” ujar Kolot Raga dengan tatapan mata terkunci pada Limbur Kancana, “kau memiliki ilmu kanuragan yang paling tinggi dari siapa pun di tempat ini. Dengan kekuatanku sekarang, tampaknya aku tidak akan bisa mengalahkanmu.”Tapasena dan Baktijaya ikut tercengang saat melihat sosok Pendekar Hitam yang seringkali disebut oleh para pendekar. Salah satu tujuan mereka datang ke tempat ini tidak lain adalah untuk bertemu dengannya. Sesuai dengan perkataan Kolot Raga barusan, sosok Pendekar Hitam yang mereka lihat merupakan pendekar terkuat di tempat ini. Limbur Kancana melirik satu per satu tiga petinggi golongan putih wilayah tengah itu, kemudian mengangkat sedikit dagu dengan kedua tangan yang menurunkan dua kendi.Wirayuda memberi tanda dengan gerakan tangan. Semua pendekar kembali duduk di tempat semula dalam waktu singkat, sedang Limbur Kancana masih berada di tempat yang sama, di tengah-tengah p
Limbur Kancana sendiri sudah mendengar kabar tersebut dari Tarusbawa, ditambah ia sudah memegang kendi berisi para korban yang gagal menjadi siluman ular, termasuk memegang kendi yang berisi siluman ular yang merupakan bawahan Wintara dan Nilasari. Namun, ia tidak menyangka jika para petinggi golongan putih justru terlambat mengetahuinya.“Apa ada lagi kabar yang ingin kau sampaikan, Galih Jaya?” Wirayuda bertanya dengan raut berubah sedikit tegang. “Beberapa tempat penjagaan tiba-tiba diserang oleh pasukan Wintara dan Nilasari sehingga kabar mengenai hal ini sempat terkendala. Saat ini, pendekar yang menjadi saksi Wintara dan Nilasari mengubah para pendekar menjadi siluman ular baru tiba di Jaya Tonggoh bersamaku. Dia sedang berada dalam pengobatan para tabib. Setelah dia sadar, aku dan pasukanku akan bertanya padanya untuk mengetahui kabar lebih lanjut.”“Lalu bagaimana dengan tim pencarian Wintara dan Nilasari yang kau pimpin, Galih Jaya?” Wirayuda bertanya kemudian.“Mereka sud
Pemuda pewaris kujang emas menjadi kalimat yang mendadak banyak dibicarakan oleh pendekar di tempat ini. Kemunculannya tiba-tiba menghilangkan keterkejutan dari rentetan kabar yang diberikan oleh sosok Pendekar Hitam, padahal sangat jelas sekali jika berita mengenai penyerangan yang bisa kapan saja terjadi menjadi hal yang harus diutamakan saat ini.“Tepat seperti yang ada dalam pikiranku.” Kolot Raga menanggapi ucapan Tapasena dengan raut serius. Tatapannya beralih pada Limbur Kancana. “Aku sangat penasaran dari mana kau mengetahui bahwa anggota Cakar Setan dan pasukannya sedang menuju wilayah Jaya Tonggoh, Pendekar Hitam?”Limbur Kancana masih diam di tempat yang sama, melirik si Kolot Raga sekilas. Si pendekar berjenggot panjang itu nyatanya cukup cermat dalam memahami perkataannya sehingga mampu menyimpulkan dengan cepat.Limbur Kancana membalas dengan tenang, “Kalian tidak perlu tahu bagaimana aku mengetahui hal tersebut. Aku hanya memiliki kewajiban untuk memberi tahu pergerakan
Langit sore berubah gelap, pertanda malam yang panjang akan tiba. Terlihat titik kecil yang terhampar luas di atas, ditambah bulan yang nyaris sempurna. Angin berembus kencang, menggoyangkan daun ke kiri dan kanan. Beberapa buah berjatuhan dari tangkai, menjadi makan malam untuk beberapa hewan. Para murid mulai keluar dari gubuk masing-masing, berjalan menuju ruangan makan, bergerombol. Mereka saling berbincang dan tertawa.Lingga keluar dari gubuk, tersenyum saat angin berembus. “Semua persiapanku sudah selesai. Aku harus menikmati malam ini dengan baik karena malam besok adalah hari ujianku. Aku merasa sangat tegang sekarang.”Panji Laksana muncul dari pintu yang terbuka, menutup pintu. Ia melihat para murid yang berjalan beriringan menuju ruangan makan. “Pemandangan ini sangat luar biasa untukku. Sejak dahulu, aku ingin merasakan menjadi murid padepokan.”Lingga menoleh sesaat, menuruni tangga. “Padepokan ini adalah tempat yang menyenangkan. Selain belajar untuk menjadi seorang pe
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b