Limbur Kancana sendiri sudah mendengar kabar tersebut dari Tarusbawa, ditambah ia sudah memegang kendi berisi para korban yang gagal menjadi siluman ular, termasuk memegang kendi yang berisi siluman ular yang merupakan bawahan Wintara dan Nilasari. Namun, ia tidak menyangka jika para petinggi golongan putih justru terlambat mengetahuinya.“Apa ada lagi kabar yang ingin kau sampaikan, Galih Jaya?” Wirayuda bertanya dengan raut berubah sedikit tegang. “Beberapa tempat penjagaan tiba-tiba diserang oleh pasukan Wintara dan Nilasari sehingga kabar mengenai hal ini sempat terkendala. Saat ini, pendekar yang menjadi saksi Wintara dan Nilasari mengubah para pendekar menjadi siluman ular baru tiba di Jaya Tonggoh bersamaku. Dia sedang berada dalam pengobatan para tabib. Setelah dia sadar, aku dan pasukanku akan bertanya padanya untuk mengetahui kabar lebih lanjut.”“Lalu bagaimana dengan tim pencarian Wintara dan Nilasari yang kau pimpin, Galih Jaya?” Wirayuda bertanya kemudian.“Mereka sud
Pemuda pewaris kujang emas menjadi kalimat yang mendadak banyak dibicarakan oleh pendekar di tempat ini. Kemunculannya tiba-tiba menghilangkan keterkejutan dari rentetan kabar yang diberikan oleh sosok Pendekar Hitam, padahal sangat jelas sekali jika berita mengenai penyerangan yang bisa kapan saja terjadi menjadi hal yang harus diutamakan saat ini.“Tepat seperti yang ada dalam pikiranku.” Kolot Raga menanggapi ucapan Tapasena dengan raut serius. Tatapannya beralih pada Limbur Kancana. “Aku sangat penasaran dari mana kau mengetahui bahwa anggota Cakar Setan dan pasukannya sedang menuju wilayah Jaya Tonggoh, Pendekar Hitam?”Limbur Kancana masih diam di tempat yang sama, melirik si Kolot Raga sekilas. Si pendekar berjenggot panjang itu nyatanya cukup cermat dalam memahami perkataannya sehingga mampu menyimpulkan dengan cepat.Limbur Kancana membalas dengan tenang, “Kalian tidak perlu tahu bagaimana aku mengetahui hal tersebut. Aku hanya memiliki kewajiban untuk memberi tahu pergerakan
Limbur Kancana tiba-tiba melemparkan kendi berisi penawar racun kalong setan pada Wirayuda. Semua yang melihat gerakannya mendadak tercekat untuk sesaat.“Ternyata kau memiliki banyak kendi yang menarik, Pendekar Hitam.” Si Kolot Raga kembali duduk di kursi. “Kali ini apa yang kau berikan pada kami?”“Kendi itu berisi ramuan penawar racun kalong setan yang kalian butuhkan,” ujar Limbur Kancana dengan tatapan serius, “jangan sampai aku menyesal karena aku sudah memberikan penawar berharga itu pada kalian.”Semua pendekar yang berada di dalam ruangan seketika terkejut, mengamati kendi yang berada dalam genggaman Wirayuda lekat-lekat. Satu per satu dari mereka berdiri, menatap kendi, Wirayuda dan Limbur Kancana bergantian. Wajah mereka menunjukkan ketidakpercayaan yang sangat kentara.“Bagaimana mungkin kau ….” Galisaka buru-buru memutuskan kata-katanya.“Apa yang akan kau lakukan saat ini, Wirayuda?” tanya Kolot Raga.Semua perhatian kembali tertuju pada Wirayuda. Suasana berubah menjad
Perundingan terus berjalan meski tanpa kehadiran sosok Pendekar Hitam. Para petinggi golongan putih dan perwakilan pendekar dari dua wilayah sedang merancang sebuah rencana untuk bertahan dari gempuran serangan yang dilancarkan Wintara, Nilasari dan pasukannya di tengah penawar racun kalong setan yang masih belum bisa dipelajari oleh para tabib dan ramuan pemusnah siluman yang tidak bisa lagi menghadang serang siluman-siluman ular itu.Selain itu, mereka disibukkan dengan cara melindungi warga yang bisa saja menjadi sasaran amukan Wintara, Nilasari dan pasukan siluman ularnya. Permasalahan lain yang harus segera diatasi adalah bagaimana cara mengembalikan keadaan para pendekar yang sudah menjadi siluman kembali ke keadaan semula.Selain bertarung dengan Wintara, Nilasari serta pasukannya yang didukung oleh Bangasera, para pendekar golongan putih juga sedang bertarung dengan waktu yang semakin menipis. Jika dalam waktu dekat mereka tidak ditemukan cara atau langkah yang tepat, sudah di
Galih Jaya kembali mengacungkan pedang ke atas. Dalam waktu cukup singkat, para tabib kembali diam, menghadap ke depan. Sekar Sari mundur perlahan hingga akhirnya kembali berada di barisan paling belakang.“Ada kabar lain yang harus aku sampaikan pada kalian.” Galih Jaya menjeda sejenak, mengamati para tabib di dekatnya. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada Sekar Sari yang berada di barisan paling belakang. Alisnya sedikit tertekuk karena melihat gadis itu sedang termenung dengan dua buah kendi dalam genggamannya hingga abai dengan perkataannya.“Kau, tabib berselendang merah,” tunjuk Galih Jaya dengan pedangnya ke arah Sekar Sari, “apa yang sedang kau lakukan?”Semua tabib seketika menoleh ke belakang, mengamati Sekar Sari, kemudian saling berbisik. Barisan mereka terbagi menjadi dua bagian saat Galih Jaya berjalan ke belakang.“Kenapa kau tidak memperhatikanku?” Galih Jaya berkata dengan suara agak keras.Sekar Sari seketika menoleh ketika merasa diperhatikan oleh semua orang. Gad
Para petinggi golongan putih dan perwakilan para pendekar mengunjungi kumpulan para tabib untuk menyerahkan satu kendi berisi ramuan penawar racun kalong setan. Sesuai dengan kesepakatan, para tabib akan dibagi ke dalam empat kelompok yang memiliki tugas berbeda.Kelompok pertama akan bertugas untuk mempelajari penawar racun kalong setan. Kelompak kedua bertugas mempelajari dan memperbanyak ramuan penyembuh untuk korban Wintara dan Nilasari, kelompok ketiga bertugas untuk membuat ramuan untuk mengembalikan keadaan para pendekar yang sudah berubah menjadi siluman menjadi manusia kembali, dan kelompok terakhir akan bertugas untuk menyiapkan semua perlengkapan ramuan dan obat-obatan untuk para pendekar dan warga yang membutuhkan.Sesuai dengan rencana, Sekar Sari dan tiruan Limbur Kancana yang bersamanya akan bergabung dengan kelompok pertama. Kelompok ini akan dijaga ketat oleh para pendekar dan menjadi kelompok dengan jumlah terbanyak dibandingkan kelompok lain.“Jadi mereka adalah par
Sekar Sari terdiam sesaat, mengalihkan pandangan ke sisi lain. Matanya terpejam sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Malawati. “Aku tidak sengaja mendengar seseorang memanggil namamu.”“Benarkah?” Malawati menatap penuh selidik, melirik tiruan Limbur Kancana yang mendekati Sekar Sari. “Biar kutebak, pria ini pasti bernama … Aditara.”Sekar Sari menjatuhkan kedua tangan di depan dada, menatap Malawati saksama. Ia menjadi curiga karena gadis di depannya menebak dengan sempurna nama samaran Limbur Kancana. Ingatannya mendadak terbang ke masa silam ketika Malawati kembali mengingat dirinya, Lingga dan Limbur Kancana setelah ingatannya sempat dihapus.Sekar Sari menunduk sesaat, menghindari tatapan Malawati. “Apa mungkin Malawati sebenarnya sudah kembali mengingatku, Kakang Lingga dan Kakang Guru? Bisa jadi saat ini dia hanya berpura-pura. Aku tidak boleh masuk dalam permainannya.”Sekar Sari berdeham, segera menarik tangan tiruan Limbur Kancana. “Kami harus segera bersiap-siap.”Malaw
Kartasura terdiam sesaat, merasa bodoh karena mengabaikan pernyerangan itu, padahal hal itu sama pentingnya dengan tindakan yang dilakukannya dan Wira saat ini. “Danuseka sama sekali belum mengirimkan kabar apa pun lagi padaku. Terakhir kali dia mengirimkan kabar sebelum matahari terbit. Dia memberitahuku bahwa dua pendekar yang sering bersama Ganawirya tiba-tiba saja menghilang.”“Apa mungkin yang Danuseka maksud adalah dua dari empat teman-teman padepokanku?” Wira memelotot sesaat, menoleh ke arah wilayah Jaya Tonggoh. “Jika benar, maka ada kemungkinan jika mereka pergi ke suatu tempat atas perintah Ganawirya.”Kartasura berdecak, memukul dahan pohon di sampingnya. Giginya bergemelatuk di mana matanya memancarkan kemarahan yang berkobar. Pikirannya mendadak buntu dengan keadaanya saat ini. Selain kesulitan memasuki Jaya Tonggoh karena ketatnya pejagaan, ia juga dihadapkan dengan hilangnya kabar dari Danuseka dan ketidaktahuannya mengenai pergerakan anggota Cakar Setan yang lain.“Ka
Langit sore berubah gelap, pertanda malam yang panjang akan tiba. Terlihat titik kecil yang terhampar luas di atas, ditambah bulan yang nyaris sempurna. Angin berembus kencang, menggoyangkan daun ke kiri dan kanan. Beberapa buah berjatuhan dari tangkai, menjadi makan malam untuk beberapa hewan. Para murid mulai keluar dari gubuk masing-masing, berjalan menuju ruangan makan, bergerombol. Mereka saling berbincang dan tertawa.Lingga keluar dari gubuk, tersenyum saat angin berembus. “Semua persiapanku sudah selesai. Aku harus menikmati malam ini dengan baik karena malam besok adalah hari ujianku. Aku merasa sangat tegang sekarang.”Panji Laksana muncul dari pintu yang terbuka, menutup pintu. Ia melihat para murid yang berjalan beriringan menuju ruangan makan. “Pemandangan ini sangat luar biasa untukku. Sejak dahulu, aku ingin merasakan menjadi murid padepokan.”Lingga menoleh sesaat, menuruni tangga. “Padepokan ini adalah tempat yang menyenangkan. Selain belajar untuk menjadi seorang pe
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b