“Bagaimana mungkin Pendekar Hitam alias Tarusbawa bisa tahu jika aku sudah berada di Jaya Tonggoh?” Tarusbawa mengepal tangan kuat-kuat, mendelik tajam pada para pendekar di bawah sana. “Dia juga bisa tahu pergerakan yang dilakukan anggota Cakar Setan yang lain meski jarakku dan yang mereka terpaut sangat jauh. Dia seolah bisa pergi ke tempat yang sangat jauh dalam waktu berdekatan. Apa mungkin Tarusbawa tidak bekerja seorang diri?”Kartasura memelotot tajam di saat kedua tangannya bergetar. Ketakutan dengan cepat menyusup ke hati dan pikirannya. “Dia benar-benar lawan yang sangat merepotkan. Akan sangat sulit jika kita tidak mengetahui kemampuannya.”“Berpindah tempat dalam waktu dekat?” Wira langsung teringat dengan kemampuan seseorang. “Raka, sepertinya Tarusbawa sudah bertemu dengan Limbur Kancana. Limbur Kancana memiliki kemampuan untuk berpindah tempat dalam waktu cepat melalui tiruan-tiruannya. Bukankah cukup masuk akal jika Tarusbawa bekerja sama dengan Limbur Kancana?”Kartas
Di alam lain, tepatnya di dalam gua, Lingga terus berlatih semenjak kedatangannya ke tempat ini. Pendekar muda itu terus mengasah dan menyempurnakan kemampuan penguasaan jurus auman harimau putih. Ia juga memadukan jurus tersebut dengan jurus-jurus lain yang sudah dikuasainya.Sebuah gerbang tiba-tiba muncul di atas langit. Limbur Kancana mendarat tak jauh dari gua. Dari tempatnya saat ini, ia bisa merasakan kekuatan yang berkumpul di satu titik. Beberapa kali angin berembus kencang dari mulut gua hingga membuatnya harus melompat ke samping.“Penguasan jurusmu semakin sempurna, Lingga.” Limbur Kancana segera menghimpun kekuatan di kedua tangan, lalu mengentakkan tangan kuat-kuat ke mulut gua. Kekuatannya tiba-tiba menjelma menjadi seekor harimau berukuran besar yang langsung melesat ke dalam gua.Lingga yang menyadari sebuah kekuatan memasuki gua segera menoleh ke mulut gua, Ia merasa terkejut saat melihat seekor harimau berukuran besar menerjang ke arahnya. Lingga melompat ke atas de
“Anggota Cakar Setan dan pasukannya sedang menuju Jaya Tonggoh?” Lingga terkejut ketika mendengar kabar tersebut. Matanya membulat lebar dengan kepalan tangan menguat. Kepalanya mulai dipenuhi bayangan kejadian di Ledok Beurit dan Lebak angin saat penyerangan Kartasura dan anggota Cakar Setan terjadi. Tubuhnya mendadak gemetar karena amarah.Limbur Kancana menoleh ke arah mulut gua ketika mendengar suara guntur yang menggelegar, disusul oleh embusan angin yang sangat kencang hingga memasuki ruangan gua saat ini. Saat menoleh pada Lingga, ia kembali melihat asap hitam keluar dari tubuhnya.Lingga tiba-tiba saja menampar wajahnya dengan cukup keras. “Aku harus tenang,” gumamnya kemudian.“Kita harus segera membantu para pendekar sekarang juga, Paman. Mereka semua berada dalam bahaya. Jika anggota Cakar Setan menyerang secara bersamaan, tentu saja hal buruk akan terjadi.” Lingga berkata dengan penuh kekhawatiran.Limbur Kancana membelakangi Lingga. “Tenanglah Lingga. Para petinggi golong
Di saat yang sama, Limbur Kancana hampir sepenuhnya berhasil menangkis semua serangan panah putih. Ketika panah-panah itu menghilang, Lingga sudah bersiap dengan sebuah pukulan yang diselimuti cahaya putih keemasan. Akan tetapi, sebelum pukulan itu berhasil mendarat, tubuhnya tiba-tiba tertahan di udara.“Apa yang terjadi?” Lingga terhenyak saat tubuhnya mulai dililit tongkat hingga akhirnya terkunci sepenuhnya.“Kau terlalu percaya diri hingga membuatmu lengah, Lingga.” Limbur Kancana menghantam dua pukulan ke dada Lingga hingga pemuda itu terpelanting ke arah gua.Lingga hampir saja terjatuh meski masih sempat bertahan dengan menggenggam tanah. Ia cukup kesakitan akibat serangan tersebut. Saat akan kembali menyerang, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh tongkat ke arah Limbur Kancana.“Masih butuh waktu lama bagimu untuk bisa mengalahkanku, Lingga.” Limbur tertawa saat melihat wajah cemberut Lingga. Ia menatap tongkat di tangannya lekat-lekat.Lingga menggaruk rambutnya yang tidak g
“Kembalikan kendi ini padaku sekarang juga.” Sekar Sari dengan cepat mengambil kendi miliknya dari tangan Malawati. Gadis itu buru-buru memasukkan benda itu ke dalam keranjang, lantas mendengkus kesal. Kendi itu berisi ramun penyembuh yang digunakannya tadi di ruangan para korban Wintara dan Nilasari.“Kau dengan segera mengambilnya seolah kendi itu adalah barang berharga,” sinis Malawati dengan tangan menyilang di depan dada.“Tentu saja kendi ini berharga untukku,” balas Sekar Sari tak kalah ketus, “aku membuatnya dengan kerja keras dan penuh pengorbanan.” Malawati memutar bola mata. “Aku tidak ingin mendengar kata-katamu lagi.”“Begitupun denganku.” Sekar Sari berjalan cepat meninggalkan Malawati, lalu bergabung bersama para tabib di barisan belakang. “Apa mungkin Malawati tahu kalau aku menyimpan enam kendi di dalam ruangan para korban tadi? Jika para korban dipindahkan ke tempat baru, itu berarti ada kemungkinan para pendekar atau tabib sempat melihat keenam kendi itu di ruangan
Barisan paling depan iring-iringan sudah mulai keluar dari pintu gerbang. Mereka menuruni jalan dengan pengawasan ketat para pendekar. Beberapa petinggi golongan putih berpencar dan berjaga dari titik-titik berbeda bersama pendekar lain. Di tengah matahari yang masih berada di puncak langit, tanah tiba-tiba saja berguncang cukup kuat hingga iringan-iringan berhenti bergerak. Beberapa dari para tabib terjatuh dan kuda yang membawa barang-barang meringkik bersahutan. Setelahnya, angin berembus dengan cepat ke sekeliling. Dari dalam tanah bergerak dua benda dengan sangat cepat, bersiap memberikan kejutan pada para pendekar dan tabib, khususnya para petinggi golongan putih. Iring-iringan yang sempat berhenti kembali bergerak setelah pendekar memastikan keadaan kembali aman. Sementara itu, para petinggi golongan putih mulai merasakan gelegat tidak beres. Mereka memberikan arahan pada para pendekar yang berada di dekatnya. “Aku tiba-tiba saja merasakan firasat buruk,” ucap Malawati denga
“Wintara, Nilasari,” gumam Malawati dengan mata membulat lebar. Ingatannya mulai dipenuhi bayangan peristiwa saat dirinya diserang oleh kedua siluman ular itu. Sekujur tubuhnya mendadak bergetar dari ujung kepala hingga ujung kaki.Malawati menggigit bibirnya kuat-kuat, mengenyahkan ketakutan dengan segera. Gadis itu dengan cepat berdiri, mengamati keadaan sekeliling. Ia buru-buru membantu para tabib yang masih kesulitan untuk bergerak. “Tenanglah. Para pendekar akan menghadapi kedua siluman itu dengan segera. Ikuti arahan para pendekar. Mereka akan menuntun kalian ke tempat yang aman.”Malawati menoleh pada Sekar Sari dan tiruan Limbur Kancana yang baru saja bangkit. Sejujurnya, ia sangat penasaran dengan gadis berselendang merah itu karena mampu menebak kemunculan Wintara dan Nilasari hanya dengan melihat bambu yang berputar.“Cepatlah, kita tidak memiliki banyak waktu di sini.” Malawati lebih memilih membantu para tabib yang terluka, lalu mengarahkan mereka ke jalan yang harus dila
“Apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya Malawati seraya menarik tangan Sekar Sari, setengah menyeret gadis itu untuk mengikuti gerakannya. “Ayo!”Sekar Sari berdecak kesal, melemparkan salah satu bagian selendangnya untuk mengambil keranjang bambunya yang sempat terjatuh dan selendang bagian lain mengambil kendi-kendi untuk kemudian dimasukkan ke dalam keranjang.Sekar Sari menangkap keranjangnya dengan sigap, mengamati keadaan sekeliling untuk mencari keberadaan tiruan Limbur Kancana yang lain di tengah kakinya yang terus berlari menjauh dari Jaya Tonggoh. “Lepaskan aku, Malawati! Aku bisa berlari sendiri tanpa kau tarik-tarik seperti kambing. Tunjukan saja jalannya padaku.”“Kau masih saja menyebalkan!” Malawati mendengkus, berlari lebih cepat, memimpin jalan di depan. Ketika melirik ke arah Sekar Sari, ia mendapati gadis itu tengah mengawasi sekeliling dengan raut cemas. “Mana pria yang selalu bersamamu? Apa mungkin dia masih berada di tempat pertempuran saat ini?”“Lupakan saj