Di alam lain, tepatnya di dalam gua, Lingga terus berlatih semenjak kedatangannya ke tempat ini. Pendekar muda itu terus mengasah dan menyempurnakan kemampuan penguasaan jurus auman harimau putih. Ia juga memadukan jurus tersebut dengan jurus-jurus lain yang sudah dikuasainya.Sebuah gerbang tiba-tiba muncul di atas langit. Limbur Kancana mendarat tak jauh dari gua. Dari tempatnya saat ini, ia bisa merasakan kekuatan yang berkumpul di satu titik. Beberapa kali angin berembus kencang dari mulut gua hingga membuatnya harus melompat ke samping.“Penguasan jurusmu semakin sempurna, Lingga.” Limbur Kancana segera menghimpun kekuatan di kedua tangan, lalu mengentakkan tangan kuat-kuat ke mulut gua. Kekuatannya tiba-tiba menjelma menjadi seekor harimau berukuran besar yang langsung melesat ke dalam gua.Lingga yang menyadari sebuah kekuatan memasuki gua segera menoleh ke mulut gua, Ia merasa terkejut saat melihat seekor harimau berukuran besar menerjang ke arahnya. Lingga melompat ke atas de
“Anggota Cakar Setan dan pasukannya sedang menuju Jaya Tonggoh?” Lingga terkejut ketika mendengar kabar tersebut. Matanya membulat lebar dengan kepalan tangan menguat. Kepalanya mulai dipenuhi bayangan kejadian di Ledok Beurit dan Lebak angin saat penyerangan Kartasura dan anggota Cakar Setan terjadi. Tubuhnya mendadak gemetar karena amarah.Limbur Kancana menoleh ke arah mulut gua ketika mendengar suara guntur yang menggelegar, disusul oleh embusan angin yang sangat kencang hingga memasuki ruangan gua saat ini. Saat menoleh pada Lingga, ia kembali melihat asap hitam keluar dari tubuhnya.Lingga tiba-tiba saja menampar wajahnya dengan cukup keras. “Aku harus tenang,” gumamnya kemudian.“Kita harus segera membantu para pendekar sekarang juga, Paman. Mereka semua berada dalam bahaya. Jika anggota Cakar Setan menyerang secara bersamaan, tentu saja hal buruk akan terjadi.” Lingga berkata dengan penuh kekhawatiran.Limbur Kancana membelakangi Lingga. “Tenanglah Lingga. Para petinggi golong
Di saat yang sama, Limbur Kancana hampir sepenuhnya berhasil menangkis semua serangan panah putih. Ketika panah-panah itu menghilang, Lingga sudah bersiap dengan sebuah pukulan yang diselimuti cahaya putih keemasan. Akan tetapi, sebelum pukulan itu berhasil mendarat, tubuhnya tiba-tiba tertahan di udara.“Apa yang terjadi?” Lingga terhenyak saat tubuhnya mulai dililit tongkat hingga akhirnya terkunci sepenuhnya.“Kau terlalu percaya diri hingga membuatmu lengah, Lingga.” Limbur Kancana menghantam dua pukulan ke dada Lingga hingga pemuda itu terpelanting ke arah gua.Lingga hampir saja terjatuh meski masih sempat bertahan dengan menggenggam tanah. Ia cukup kesakitan akibat serangan tersebut. Saat akan kembali menyerang, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh tongkat ke arah Limbur Kancana.“Masih butuh waktu lama bagimu untuk bisa mengalahkanku, Lingga.” Limbur tertawa saat melihat wajah cemberut Lingga. Ia menatap tongkat di tangannya lekat-lekat.Lingga menggaruk rambutnya yang tidak g
“Kembalikan kendi ini padaku sekarang juga.” Sekar Sari dengan cepat mengambil kendi miliknya dari tangan Malawati. Gadis itu buru-buru memasukkan benda itu ke dalam keranjang, lantas mendengkus kesal. Kendi itu berisi ramun penyembuh yang digunakannya tadi di ruangan para korban Wintara dan Nilasari.“Kau dengan segera mengambilnya seolah kendi itu adalah barang berharga,” sinis Malawati dengan tangan menyilang di depan dada.“Tentu saja kendi ini berharga untukku,” balas Sekar Sari tak kalah ketus, “aku membuatnya dengan kerja keras dan penuh pengorbanan.” Malawati memutar bola mata. “Aku tidak ingin mendengar kata-katamu lagi.”“Begitupun denganku.” Sekar Sari berjalan cepat meninggalkan Malawati, lalu bergabung bersama para tabib di barisan belakang. “Apa mungkin Malawati tahu kalau aku menyimpan enam kendi di dalam ruangan para korban tadi? Jika para korban dipindahkan ke tempat baru, itu berarti ada kemungkinan para pendekar atau tabib sempat melihat keenam kendi itu di ruangan
Barisan paling depan iring-iringan sudah mulai keluar dari pintu gerbang. Mereka menuruni jalan dengan pengawasan ketat para pendekar. Beberapa petinggi golongan putih berpencar dan berjaga dari titik-titik berbeda bersama pendekar lain. Di tengah matahari yang masih berada di puncak langit, tanah tiba-tiba saja berguncang cukup kuat hingga iringan-iringan berhenti bergerak. Beberapa dari para tabib terjatuh dan kuda yang membawa barang-barang meringkik bersahutan. Setelahnya, angin berembus dengan cepat ke sekeliling. Dari dalam tanah bergerak dua benda dengan sangat cepat, bersiap memberikan kejutan pada para pendekar dan tabib, khususnya para petinggi golongan putih. Iring-iringan yang sempat berhenti kembali bergerak setelah pendekar memastikan keadaan kembali aman. Sementara itu, para petinggi golongan putih mulai merasakan gelegat tidak beres. Mereka memberikan arahan pada para pendekar yang berada di dekatnya. “Aku tiba-tiba saja merasakan firasat buruk,” ucap Malawati denga
“Wintara, Nilasari,” gumam Malawati dengan mata membulat lebar. Ingatannya mulai dipenuhi bayangan peristiwa saat dirinya diserang oleh kedua siluman ular itu. Sekujur tubuhnya mendadak bergetar dari ujung kepala hingga ujung kaki.Malawati menggigit bibirnya kuat-kuat, mengenyahkan ketakutan dengan segera. Gadis itu dengan cepat berdiri, mengamati keadaan sekeliling. Ia buru-buru membantu para tabib yang masih kesulitan untuk bergerak. “Tenanglah. Para pendekar akan menghadapi kedua siluman itu dengan segera. Ikuti arahan para pendekar. Mereka akan menuntun kalian ke tempat yang aman.”Malawati menoleh pada Sekar Sari dan tiruan Limbur Kancana yang baru saja bangkit. Sejujurnya, ia sangat penasaran dengan gadis berselendang merah itu karena mampu menebak kemunculan Wintara dan Nilasari hanya dengan melihat bambu yang berputar.“Cepatlah, kita tidak memiliki banyak waktu di sini.” Malawati lebih memilih membantu para tabib yang terluka, lalu mengarahkan mereka ke jalan yang harus dila
“Apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya Malawati seraya menarik tangan Sekar Sari, setengah menyeret gadis itu untuk mengikuti gerakannya. “Ayo!”Sekar Sari berdecak kesal, melemparkan salah satu bagian selendangnya untuk mengambil keranjang bambunya yang sempat terjatuh dan selendang bagian lain mengambil kendi-kendi untuk kemudian dimasukkan ke dalam keranjang.Sekar Sari menangkap keranjangnya dengan sigap, mengamati keadaan sekeliling untuk mencari keberadaan tiruan Limbur Kancana yang lain di tengah kakinya yang terus berlari menjauh dari Jaya Tonggoh. “Lepaskan aku, Malawati! Aku bisa berlari sendiri tanpa kau tarik-tarik seperti kambing. Tunjukan saja jalannya padaku.”“Kau masih saja menyebalkan!” Malawati mendengkus, berlari lebih cepat, memimpin jalan di depan. Ketika melirik ke arah Sekar Sari, ia mendapati gadis itu tengah mengawasi sekeliling dengan raut cemas. “Mana pria yang selalu bersamamu? Apa mungkin dia masih berada di tempat pertempuran saat ini?”“Lupakan saj
Wintara dan Nilasari secara bersamaan mengeluarkan tombak dan susuk ke arah para petinggi golongan putih. Tak berhenti sampai di sana, mereka juga mengeluarkan asap hitam beracun yang seketika mengelilingi sekitar.Para petinggi golongan putih dibuat mundur dan terpojok dengan serbuan serangan yang tanpa henti datang. Selain harus menghindari tombak dan susuk, disusul dengan mencari pijakan yang aman untuk bergerak, mereka juga harus dihadapkan pada asap beracun yang bisa meracuni mereka dalam waktu singkat.Tapasena, Baktijaya dan si Kolot Raga melompat tinggi ke udara, lalu secara bersamaan melayangkan serangan jarak jauh. Serangan-serangan itu kemudian menyatu menjadi serangan kuat yang seketika menerobos asap beracun hingga menghilangkannya dalam sekejap. Serangan tersebut terus bergerak ke arah Wintara dan Nilasri, tetapi sayangnya dapat dengan mudah dihadang oleh ekor palu godam mereka.Ketujuh petinggi golongan putih itu mundur beberapa tombak ke belakang, kembali berada dalam
Langit sore berubah gelap, pertanda malam yang panjang akan tiba. Terlihat titik kecil yang terhampar luas di atas, ditambah bulan yang nyaris sempurna. Angin berembus kencang, menggoyangkan daun ke kiri dan kanan. Beberapa buah berjatuhan dari tangkai, menjadi makan malam untuk beberapa hewan. Para murid mulai keluar dari gubuk masing-masing, berjalan menuju ruangan makan, bergerombol. Mereka saling berbincang dan tertawa.Lingga keluar dari gubuk, tersenyum saat angin berembus. “Semua persiapanku sudah selesai. Aku harus menikmati malam ini dengan baik karena malam besok adalah hari ujianku. Aku merasa sangat tegang sekarang.”Panji Laksana muncul dari pintu yang terbuka, menutup pintu. Ia melihat para murid yang berjalan beriringan menuju ruangan makan. “Pemandangan ini sangat luar biasa untukku. Sejak dahulu, aku ingin merasakan menjadi murid padepokan.”Lingga menoleh sesaat, menuruni tangga. “Padepokan ini adalah tempat yang menyenangkan. Selain belajar untuk menjadi seorang pe
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b