“Kembalikan kendi ini padaku sekarang juga.” Sekar Sari dengan cepat mengambil kendi miliknya dari tangan Malawati. Gadis itu buru-buru memasukkan benda itu ke dalam keranjang, lantas mendengkus kesal. Kendi itu berisi ramun penyembuh yang digunakannya tadi di ruangan para korban Wintara dan Nilasari.“Kau dengan segera mengambilnya seolah kendi itu adalah barang berharga,” sinis Malawati dengan tangan menyilang di depan dada.“Tentu saja kendi ini berharga untukku,” balas Sekar Sari tak kalah ketus, “aku membuatnya dengan kerja keras dan penuh pengorbanan.” Malawati memutar bola mata. “Aku tidak ingin mendengar kata-katamu lagi.”“Begitupun denganku.” Sekar Sari berjalan cepat meninggalkan Malawati, lalu bergabung bersama para tabib di barisan belakang. “Apa mungkin Malawati tahu kalau aku menyimpan enam kendi di dalam ruangan para korban tadi? Jika para korban dipindahkan ke tempat baru, itu berarti ada kemungkinan para pendekar atau tabib sempat melihat keenam kendi itu di ruangan
Barisan paling depan iring-iringan sudah mulai keluar dari pintu gerbang. Mereka menuruni jalan dengan pengawasan ketat para pendekar. Beberapa petinggi golongan putih berpencar dan berjaga dari titik-titik berbeda bersama pendekar lain. Di tengah matahari yang masih berada di puncak langit, tanah tiba-tiba saja berguncang cukup kuat hingga iringan-iringan berhenti bergerak. Beberapa dari para tabib terjatuh dan kuda yang membawa barang-barang meringkik bersahutan. Setelahnya, angin berembus dengan cepat ke sekeliling. Dari dalam tanah bergerak dua benda dengan sangat cepat, bersiap memberikan kejutan pada para pendekar dan tabib, khususnya para petinggi golongan putih. Iring-iringan yang sempat berhenti kembali bergerak setelah pendekar memastikan keadaan kembali aman. Sementara itu, para petinggi golongan putih mulai merasakan gelegat tidak beres. Mereka memberikan arahan pada para pendekar yang berada di dekatnya. “Aku tiba-tiba saja merasakan firasat buruk,” ucap Malawati denga
“Wintara, Nilasari,” gumam Malawati dengan mata membulat lebar. Ingatannya mulai dipenuhi bayangan peristiwa saat dirinya diserang oleh kedua siluman ular itu. Sekujur tubuhnya mendadak bergetar dari ujung kepala hingga ujung kaki.Malawati menggigit bibirnya kuat-kuat, mengenyahkan ketakutan dengan segera. Gadis itu dengan cepat berdiri, mengamati keadaan sekeliling. Ia buru-buru membantu para tabib yang masih kesulitan untuk bergerak. “Tenanglah. Para pendekar akan menghadapi kedua siluman itu dengan segera. Ikuti arahan para pendekar. Mereka akan menuntun kalian ke tempat yang aman.”Malawati menoleh pada Sekar Sari dan tiruan Limbur Kancana yang baru saja bangkit. Sejujurnya, ia sangat penasaran dengan gadis berselendang merah itu karena mampu menebak kemunculan Wintara dan Nilasari hanya dengan melihat bambu yang berputar.“Cepatlah, kita tidak memiliki banyak waktu di sini.” Malawati lebih memilih membantu para tabib yang terluka, lalu mengarahkan mereka ke jalan yang harus dila
“Apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya Malawati seraya menarik tangan Sekar Sari, setengah menyeret gadis itu untuk mengikuti gerakannya. “Ayo!”Sekar Sari berdecak kesal, melemparkan salah satu bagian selendangnya untuk mengambil keranjang bambunya yang sempat terjatuh dan selendang bagian lain mengambil kendi-kendi untuk kemudian dimasukkan ke dalam keranjang.Sekar Sari menangkap keranjangnya dengan sigap, mengamati keadaan sekeliling untuk mencari keberadaan tiruan Limbur Kancana yang lain di tengah kakinya yang terus berlari menjauh dari Jaya Tonggoh. “Lepaskan aku, Malawati! Aku bisa berlari sendiri tanpa kau tarik-tarik seperti kambing. Tunjukan saja jalannya padaku.”“Kau masih saja menyebalkan!” Malawati mendengkus, berlari lebih cepat, memimpin jalan di depan. Ketika melirik ke arah Sekar Sari, ia mendapati gadis itu tengah mengawasi sekeliling dengan raut cemas. “Mana pria yang selalu bersamamu? Apa mungkin dia masih berada di tempat pertempuran saat ini?”“Lupakan saj
Wintara dan Nilasari secara bersamaan mengeluarkan tombak dan susuk ke arah para petinggi golongan putih. Tak berhenti sampai di sana, mereka juga mengeluarkan asap hitam beracun yang seketika mengelilingi sekitar.Para petinggi golongan putih dibuat mundur dan terpojok dengan serbuan serangan yang tanpa henti datang. Selain harus menghindari tombak dan susuk, disusul dengan mencari pijakan yang aman untuk bergerak, mereka juga harus dihadapkan pada asap beracun yang bisa meracuni mereka dalam waktu singkat.Tapasena, Baktijaya dan si Kolot Raga melompat tinggi ke udara, lalu secara bersamaan melayangkan serangan jarak jauh. Serangan-serangan itu kemudian menyatu menjadi serangan kuat yang seketika menerobos asap beracun hingga menghilangkannya dalam sekejap. Serangan tersebut terus bergerak ke arah Wintara dan Nilasri, tetapi sayangnya dapat dengan mudah dihadang oleh ekor palu godam mereka.Ketujuh petinggi golongan putih itu mundur beberapa tombak ke belakang, kembali berada dalam
“Ke mana perginya dua siluman itu?” tanya Wirayuda dengan tatapan yang dengan cepat mengawasi keadaan sekeliling. Kepalan tangannya menguat dengan sangat keras ketika ia hanya menyaksikan kulit ular berukuran besar di dalam tanah.“Mereka masih berada di sekitar sini,” ujar Kolot Raga dengan pedang yang menancap di tanah. Matanya terpejam selama beberapa waktu.Para petinggi golongan putih bersiaga penuh kewaspadaan. Kepalan tangan mereka pada senjata masing-masing bertambah kuat seiring waktu. Gerakan sekecil apa pun tidak luput dari pengamatan dan pengawasan mereka. Ketika tanah yang dipijak mereka bergetar, mereka dengan cepat melompat dan menjauh dari lubang.Wintara dan Nilasari tiba-tiba muncul dari dalam tanah. Keduanya seketika megeluarkan asap beracun dari mulut mereka. Tak sampai di sana, mereka saling melilit tubuh satu sama lain, lantas bergerak memutar dengan ekor yang terayun ke sekeliling dan mulut yang melayangkan susuk da
Getaran dahsyat dan kuat yang berasal dari Jaya Tonggoh menyebar ke sekeliling. Kartasura dan Wira yang tengah berada di dalam tunggangan kelelawar raksasa mereka seketika menjauh sesaat, kemudian kembali mendekat ke sumber guncangan itu berasal. Keduanya terkejut saat melihat kubah pelindung Jaya Tonggoh menghilang, ditambah dengan asap kuat yang menyebar ke lingkup sekitar.“Raka,” ujar Wira seraya menunjuk ke arah depan, tepatnya pada seekor siluman ular besar yang tengah bertarung dengan tiga pendekar.Kartasura tercekat sesaat, lalu tersenyum setelahnya. “Siluman ular itu sepertinya adalah siluman ular bawahan Bangasera yang sudah membuat kekacauan selama ini. Lalu ketiga orang itu pastilah tiga petinggi golongan putih. Jika dilihat dari beberapa lubang besar yang menganga di Jaya Tonggoh, siluman ular itu sepertinya memasuki Jaya Tonggoh melalui bawah tanah.”“Tapi aku sama sekali tidak melihat satu siluman ular yang lain, Raka.” Wira memberi tanda pada kelelawar tunggangnya unt
Wira kembali menunggangi kelelawar raksasanya. Hewan itu melesat cepat di atas jalan yang membelah hutan, mengikuti bau darah yang menguar sepanjang jalan. Kepakan sayap kelelawar itu menciptakan embusan angin pelan ke sekeliling meski dari kejauhan tidak terlihat benda apa pun yang melintas.Dalam waktu cukup singkat, Wira sudah melihat keberadaan para pendekar dan para tabib yang tengah melewati jalanan setapak. Iring-iringan mereka muncul dan menghilang dalam pandangan karena terhalang rimbunnya daun.Wira mempercepat pergerakan kelelawarnya, terbang merendah hingga berada di atas puncak pohon. Ia bisa melihat barisan panjang para pendekar dan tabib sepanjang jalan ketika mereka melewati jalan yang lebih luas. “Akan cukup sulit bagiku jika harus membunuh mereka saat ini sekaligus, terlebih para pendekar tampaknya sangat bersiaga. Aku harus segera memberi tahu Raka lebih dulu.”Wira memejamkan mata, memusatkan pikiran dengan dua tangan menyatu di depan dada. “Raka, apa kau bisa mend