Wira kembali menunggangi kelelawar raksasanya. Hewan itu melesat cepat di atas jalan yang membelah hutan, mengikuti bau darah yang menguar sepanjang jalan. Kepakan sayap kelelawar itu menciptakan embusan angin pelan ke sekeliling meski dari kejauhan tidak terlihat benda apa pun yang melintas.Dalam waktu cukup singkat, Wira sudah melihat keberadaan para pendekar dan para tabib yang tengah melewati jalanan setapak. Iring-iringan mereka muncul dan menghilang dalam pandangan karena terhalang rimbunnya daun.Wira mempercepat pergerakan kelelawarnya, terbang merendah hingga berada di atas puncak pohon. Ia bisa melihat barisan panjang para pendekar dan tabib sepanjang jalan ketika mereka melewati jalan yang lebih luas. “Akan cukup sulit bagiku jika harus membunuh mereka saat ini sekaligus, terlebih para pendekar tampaknya sangat bersiaga. Aku harus segera memberi tahu Raka lebih dulu.”Wira memejamkan mata, memusatkan pikiran dengan dua tangan menyatu di depan dada. “Raka, apa kau bisa mend
Sementara itu, perhatian Sekar Sari terus tertuju pada bambu kuning di tangannya yang kembali berputar sangat cepat. “Ini gawat!”“Apa mungkin Wintara dan Nilasari sedang mengejar rombongan ini?” tanya Malawati yang berada di samping Sekar Sari. Tatapannya tertuju pada arah Jaya Tonggoh sesaat.Sekar Sari menoleh ke depan, samping dan belakang bergantian. Ia bisa melihat keberadaan tiga petinggi golongan putih. “Sepertinya memang begitu. Aku melihat tiga petinggi golongan putih meninggalkan Jaya Tonggoh dan ikut andil dalam menjaga rombongan saat ini.”“Kenapa bambu itu bisa bergerak ketika ada Wintara dan Nilasari di dekat kita?” selidik Malawati yang sejak tadi begitu penasaran.Sekar Sari mengembus napas panjang, melirik Malawati dengan jengkel. “Aku sudah membuat ramuan khusus dari beragam tanaman yang peka terhadap rangsangan kekuatan. Aku menambahkan tanah yang berisi kekuatan Wintara dan Nilasari pada ramuan itu. Jika Wintara dan Nilasari berada di dalam jarak dekat dengan kita
Tanah tiba-tiba saja berguncang hingga rombongan berhenti untuk sesaat. Beberapa tabib bahkan terjatuh hingga berguling-guling. Pepohonan bergerak ke kiri dan kanan bersamaan angin yang berembus kecang. Di samping rombongan, tiba-tiba saja tanah terbuka dari dalam dan menampilkan seekor siluman ular besar dengan mulut menganga.“Mereka datang!” ujar Sekar Sari dengan suara setengah berteriak. Bambu kuning di tangannya bergerak sangat cepat hingga mencipta angin ke sekeliling.Pepohonan seketika berterbangan dan bertumbangan, begitupun dengan beberapa tabib dan pendekar yang berada di sana. Satu per satu pendekar yang berhasil selamat melompat untuk menangkap rekan dan para tabib, sisanya berusaha menebas dan menghancurkan pohon yang terlempar ke arah rombongan.“Siluman ular!”“Siluman ular!”“Siluman ular!”“Mereka kembali datang menyerang!”“Selamatkan diri kalian!”Teriakan para tabib terdengar bersahutan. Kengerian di wajah mereka begitu tampak jelas. Suara ringkikan kuda terdenga
Wira memberi tanda pada kelelawarnya untuk terbang merendah, kemudian melayangkan serangan ke sisi kiri dan kanan dalam waktu bersamaan. Penjaga yang berada di belakang seketika terbagi dua untuk memeriksa ledakan tersebut.Saat penjagaan kosong dan lengah, Wira melompat ke balik pohon, segera berganti busana, berjalan dengan terseok-seok, lalu pura-pura terjatuh dengan tangan yang bercucuran darah. “Tolong aku ….”“Segera tolong tabib itu,” ucap salah satu pendekar yang menunggangi kuda.Salah seorang pendekar datang menghampiri Wira, lalu menempatkannya di sebuah gerobak yang penuh dengan para tabib yang terluka. Wira seketika tersenyum bengis, mengutuk para pendekar bodoh itu di dalam hatinya. Meski penjagaan tampak ketat, nyatanya mereka abai terhadap kesalahan kecil yang dilakukan barusan.“Mari kita lihat ke mana rombongan ini akan berjalan,” gumam Wira.Sementara itu di hutan yang jauh dari Jaya Tonggoh, Limbur Kancana baru saja bertukar tempat dengan tiruannya yang sedang bers
Brajawesi memanggil kapak merahnya dengan segera. Senjata itu bergetar beberapa kali dan nyaris lepas dari genggaman. Pendekar bertanduk kerbau itu mendengkus kesal, lalu dengan cepat melepas kapak merahnya yang langsung melesat cepat.“Apa kau akan kembali menghinaku dengan cara curangmu, Tarusbawa?” Brajawesi memelotot tajam, mengepalkan tangan kuat-kuat.Kapak merah itu berputar-putar di sekeliling pasukannya beberapa kali, meluncur ke atas, lalu bergerak ke sebuah arah. Brajawesi menoleh pada pasukannya, kemudian berkata, “Teruskan perjalanan kalian. Kita harus bisa mencapai Jaya Tonggoh sebelum malam menjelang.”Pemimpin pasukan segera memberi tanda untuk mempercepat langkah kaki, sedang Brajawesi melesat cepat menuju kapak merahnya bergerak.“Aku tidak akan jatuh dalam rencana licikmu untuk kedua kalinya, Tarusbawa!” Brajawesi berdecak, menghimpun kekuatan di kedua tangan, kemudian melesatkan serangan ke berbagai arah dengan membabi buta. Kekuatannya lumayan terkuras karena sera
Pertarungan antara Kartasura dan Kolot Raga masih terus berlanjut. Keduanya bagai dua bayangan yang saling bertumbukan di udara, saling melempar jurus dan beradu kekuatan.Kartasura dan Kolot Raga saling merenggang jarak, mendarat di puncak pohon yang berhadapan. Keduanya mengawasi keadaan masing-masing.“Kakek tua itu benar-benar merepotkan.” Kartasura berdecak dengan mata memelotot. Ia melesatkan kembali kuku- kuku beracunnya dan sialnya dapat dengan mudah ditepis oleh Kolot Raga dengan pedangnya.Kartasura menoleh ke langit yang mulai menampilkan warga jingga. Ia bisa merasakan benturan kekuatan dari dua tempat berbeda. “Apa yang dilakukan Wira saat ini? Apa dia sudah berhasil menyusup ke rombongan para tabib? Pendekar tua itu sama sekali tidak memberikanku kesempatan untuk menghubungi Wira.”Di saat yang sama, Kolot Raga menyadari jika hari mulai beranjak sore, terlebih kekuatannya sudah mulai terkuras dalam menghadapi Kartasura. “Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini sec
Kartasura dan kelelawarnya tiba-tiba tertarik ke atas dengan sangat cepat, lalu terlempar sangat jauh dari tempat si Kolot Raga berada. Ia berusaha melepas kungkungan rantai, tetapi sialnya sangat sulit dilakukan. Kelelawarnya menghilang dan kembali ke bentuk cincin di jarinya.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Kartasura mengerahkan kekuatannya kembali. Saat menoleh ke depan, ia tiba-tiba tercekat ketika melihat seorang pria berbaju serba hitam sudah berada di depannya. Dari telapak tangan sosok itulah kedua rantai yang melilitnya berasal.“Siapa kau?” Kartasura memelotot tajam, kembali berusaha melepas jeratan rantai. Saat mulutnya terbuka, tiba-tiba seseorang dengan pakaian serba hitam muncul dari balik seorang pendekar berbaju hitam yang sedang menjeratnya.Tarusbawa membawa Kartasura berpindah tempat dengan bantuan tiruan Limbur Kancana.“Aku berpindah tempat?” Kartasura tercengang hebat ketika melihat sekelilingnya sudah berubah. Ia bisa melihat sebuah pasukan tengah berjalan menuju
Kartasura tersenyum licik. Ia tentu tidak akan memberi tahu Argaseni bahwa para pendekar dan para tabib sudah melarikan diri dari Jaya Tonggoh, terlebih mengatakan bahwa Tarusbawa sudah memberikan ramuan penyembuh dan ramuan penawar racun kalong setan pada para petinggi golongan putih. Kabar tersebut terlalu berharga untuk dibagikan secara percuma.“Sepertinya Tarusbawa kembali ke Jaya Tonggoh untuk membantu para petinggi golongan putih.” Kartasura mendongak ke langit yang sudah diselimuti langit sore.Kartasura memanggil kembali kelelawar raksasanya, kemudian melompat ke atas punggung makhluk bersayap itu. “Tidak ada gunanya lagi aku bersama orang bodoh sepertimu, Argaseni.”“Kau!” Argaseni melompat seraya melayangkan tongkatnya yang mendadak memanjang.Kartasura pergi bersama kelelawarnya dengan cepat. Sapuan angin kuat seketika tercipta hingga mendorong tongkat Argaseni sekaligus mengenai pasukannya hingga terseret ke belakang.“Sepertinya Kartasura masih menyembunyikan sesuatu dar