“Bukan waktunya untuk terkejut,” ujar Limbur Kancana tanpa menoleh pada ketiga petinggi golongan putih di belakangnya, “kita harus segera mengalahkannya sebelum malam menjelang.”Wirayuda, Jariraga dan Tapasena saling melempar tatapan, maju beberapa langkah.Dua harimau putih yang menyerat Wintara tiba-tiba mengaum cukup keras, lalu melemparkan siluman ular itu ke atas. Melihat hal itu, Wirayuda, Jatiraga dan Tapasena segera melesat maju, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.Dua harimau putih itu tiba-tiba melompat ke atas dengan gerakan cepat. Tubuh hewan itu mendadak berubah menjadi tali-tali putih yang seketika menjerat Wintara dari kepala hingga ekor. Limbur Kancana lantas memangil kujangnya, kemudian melesatkan serangan jarak jauh.Wintara memekik kencang di saat tubuhnya terus terjerat dan melesat turun. Sekuat tenaga ia berusaha melesatkan sisik-sisik ularnya untuk melepaskan diri. Tali-tali putih itu dibuat berguncang hebat, tetapi pada akhirnya kembali mengungkung
“Bambu-bambu kuning ini berputar dengan sangat cepat,” ucap Tapasena, “apa maksud dari semua ini? Cepat katakan!”“Galih Jaya mengatakan bahwa ada seorang tabib wanita yang membuat bambu ajaib ini. Bambu berwarna hijau memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran racun kalong setan di sekitar kita dengan tanda bambu akan menjadi hitam, sedang bambu berwarna kuning memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran Wintara dan Nilasari. Bambu yang berputar-putar itu menjadi tanda jika Wintara atu Nilasari berada di dekat kita,” jelas salah satu pendekar.“Apa?” Wirayuda, Jatiraga, Tapasena, bahkan Limbur Kancana sekalipun dibuat terkejut ketika mendengarnya.“Galih Jaya memerintahkan kami untuk memberikan bambu-bambu ajaib ini pada para petinggi golongan putih. Selain itu, tabib wanita itu juga berjanji akan mengajari para tabib untuk membuat bambu ajaib ini lebih banyak.”“Dengan adanya penawar racun kalong setan dan bambu-bambu ajaib ini di tangan kita, tidak mustahil kita bisa mengalahkan
Wirayuda, Jatiraga dan Tapasena menjauh dari kubah merah setelah selesai memasang jebakan. Ketiganya sempat terkejut ketika melihat kubah sekaligus penjara bagi Wintara itu bergetar beberapa kali. Keberadaannya sempat menghilang, lalu kembali muncul.Wirayuda tercengang ketika melihat bambu berwarna hijau mulai dipenuhi oleh titik-titik hitam di beberapa bagian yang semakin bertambah banyak seiring waktu berjalan. “Gawat! Siluman itu mulai menggunakan racun kalong setan.”Jatiraga dan Tapasena menoleh pada bambu hijau yang sama-sama mulai menampilkan titik-titik hitam, kemudian membentuk sebuah noda di beberapa bagian.“Bambu ini ternyata benar-benar dapat merasakan kehadiran racun kalong setan di sekitar kita. Kita beruntung karena sudah menjauh dari kubah itu. Selain itu, kita juga beruntung karena memiliki bambu ini di tangan kita,” ujar Tapasena.“Tapi sepertinya kita akan dihadapkan pada masalah besar jika Wintara sampai bisa meloloskan diri,” sambung Jatiraga, “kita bertiga cuku
“Apa?” Kolot Raga terkejut ketika mendengar hal itu. “Bagaimana mungkin hanya dengan melihat bambu ini kalian tahu bahwa siluman ular itu sedang menggunakan racun kalong setan? Dan benda apa sebenarnya bambu-bambu ini?”Ekawira memberikan dua bambu pada Kolot Raga. “Dua Bambu ini dibuat oleh seorang tabib wanita dengan kegunaan yang berbeda. Bambu hijau mampu merasakan kehadiran racun kalong setan di sekeliling kita dengan memberikan tanda hitam pada permukaan bambu, sedang bambu kuning mampu menunjukkan keberadaan dua siluman ular itu dengan memberikan tanda bambu yang berputar. Semakin dekat jaraknya, semakin cepat pula putarannya.”“Itu benar-benar luar biasa. Dua bambu ini sangat membantu kita dalam menghadapi dua siluman ular itu,” puji si Kolot Raga.“Tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk memuji.” Galisaka menunjuk Nilasari yang tiba-tiba bergerak maju dengan mulut terbuka lebar.Ratusan susuk hitam seketika menerjang ke arah Ekawira, Galisaka dan Kolot Raga. Ketiga
“Pendekar Hitam?” ujar Ekawira, Galisaka dan Kolot Raga bersamaan. Ketiganya kembali berkumpul dalam satu barisan, menatap penuh keterkejutan atas apa yang baru saja dilakukan Pendekar Hitam terhadap siluman ular yang sedang mereka lawan.Sisa-sisa pasukan siluman ular Nilasari mendadak menghilang bersamaan dengan dirinya yang terperangkap dalam kubah merah. Sementara itu, Nilasari mendadak menjerit bersamaan dengan usahanya untuk lepas dari jerat tali putih.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Nilasari mendengkus kesal, menatap ke arah empat harimau yang tengah menggigit tubuhnya. “Kenapa racun kalong setan dalam tubuhku sama sekali tidak mampu menghapus kubah sialan dan harimau-harimau putih itu? Padahal aku bisa merasakan racun itu menyebar ke sekeliling kubah. Selain itu, Kekuatanku terus terisap oleh kubah ini.”Nilasari dengan susah payah menoleh pada sosok Pendekar Hitam yang baru saja mendarat cukup jauh dari tempat kubah merah berada. “Apa hubungannya dengan pendekar bernama Adita
Kartasura melesat dengan cepat bersama kelelawar raksasa ke arah Jaya Tonggoh. Beberapa kali ia terbatuk darah karena luka dari hasil pertarungan singkatnya dengan sosok Pendekar Hitam. Selama dalam perjalanan, ia juga berusaha menghubungi Wira untuk mengetahui keberadaannya. Akan tetapi, tidak ada sahutan meski sudah dicoba berkali-kali.“Aku akan sangat kesulitan jika menghadapi Tarusbawa secara langsung, terlebih dengan keadaanku saat ini. Aku tidak memiliki harapan untuk menang melawannya, terlebih dia bisa saja memiliki penawar racun kalong setan.”Kartasura menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Ia memacu kelelawarnya untuk terbang lebih cepat. Tatapannya mengedar ke sekeliling dan terkejut ketika kawanan pasukan kelelawarnya memberi tahu pergerakan dari Argaseni, Brajawesi, Wulung serta pasukan mereka ke arah Jaya Tonggoh.“Ini gawat!” Kartasura mendengkus kesal, memelotot tajam dan tak lama setelahnya tersenyum. “Jika aku tidak bisa memanfaatkan kedatangan mereka denga
“Dinding apa itu sebenarnya?” gumam Argaseni dengan tatapan terkejut. Kepalan tangannya menguat di tongkatnya. “Jika dinding itu adalah dinding penghalang, kenapa dinding itu justru dapat dengan muda ditembus olehku, tongkatku dan pasukanku?”Argaseni tercenung selama beberapa waktu hingga akhirnya menyadari apa yang terjadi. “Dinding itu menghalangiku dan pasukanku untuk menuju Jaya Tonggoh dengan cara membuatku dan pasukanku terus berputar-putar di hutan ini.”Argaseni segera mengirimkan kekuatannya pada tongkatnya yang masih menempel pada dinding. Dinding menjulang itu bergetar beberapa kali, tetapi pada akhirnya kembali berdiri kokoh.Argaseni kembali menarik tongkatnya. Asap racun kalong setan masih menyelimuti tongkatnya. “Dinding itu benar-benar kokoh. Bahkan masih bisa bertahan meski sudah diselimuti racun kalong setan.”Argaseni menoleh pada pasukannya, kemudian berkata, “Kita kembali bergerak.”Argaseni dan pasukannya kembali berjalan memasuki deretan pohon di kanan, kiri da
Di alam lain, Lingga masih berkutat dengan latihan untuk menyempurnakan jurus auman harimau putih dan jurus angkat bumi. Pendekar muda itu kembali berlatih setelah kepergian Limbur Kancana hingga saat ini. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Ia seperti tidak mengenal lelah dalam berlatih karena merasa memiliki kewajiban untuk bertambah kuat setiap waktunya.Lingga menarik napas dalam, mengembuskan perlahan bersamaan dengan latihan yang akan segera diakhiri. Meski berlatih terbilang sangat penting, tetapi mengistirahatkan raga juga tidak kalah penting. Bisa dikatakan jika beristirahat adalah bagian dari kebijaksaan seorang pendekar untuk bersyukur dan mencintai diri sendiri.Lingga mengamati sekeliling seraya berjalan menuju dinding gua. Waktu terasa berjalan sangat cepat. Lima tahun yang lalu ia hanya seorang pelayan di sebuah padepokan kecil, tetapi saat ini dirinya adalah seseorang yang kehadirannya sangat dinantikan dan diperebutkan. Di dinding gua itulah perjalanan panjangnya dimul